1 hal yang sulit dibalas

7K 589 11
                                    

Wah Tuan hebat banget bisa obtain Bang Raka, nanti Inara besar mau kaya Tuan bisa sembuhin orang.

"Dokter Inara.... Dok... Dokter Inara.."

Aku kembali ke dunia nyata Ketika bayangan masa lalu kembali menyeruak ke dalam pikiranku. Kata-kata dimana semua menjadi kenyataan. Yang awalnya hanya angan-angan semata tetapi bisa menjadi kenyataan karena ucapan singkat tidak bermakna.

"Iya?"

"Sudah tidak ada pasien, dok. Tapi, dokter dipanggil ke ruangan Pak Buana sekarang juga."

"Oke, saya segera ke sana. Terima kasih ya."

Aku segera membereskan ruanganku dan bergegas menuju ruangan Pak Buana. Pak Buana itu direktur sekaligus pemilik rumah sakit dimana aku bekerja.

Aku mengetuk pintu ruangan Pak Buana, Ketika suara menyahut di dalam aku membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Inara, kamu ikut kan pertemuan dokter-dokter yang akan diadakan 3 bulan lagi di Singapore?"

Pertanyaan ini sebenarnya tidak sama sekali meminta jawabanku karena aku yakin, Pak Buana sudah mendaftarkan namaku disana.

"Saya sudah daftarkan namamu dan Regi. Pertemuan ini sangat penting dan banyak manfaat. Banyak dokter-dokter hebat membagi pengalaman mereka dalam menangani pasien."

"Baik, pak." Jawabku.

"Ngomong-ngomong kenapa Ibu suruh kamu pulang cepet hari ini?"

Inara menggeleng, "Ibu Cuma pesen itu saja tadi pagi."

"Ya sudah, kamu sudah selesaikan? Segeralah pulang, jangan buat Ibu menunggu dan urusan lebih panjang."

Inara mengangguk lalu keluar dari ruangan Pak Buana. Lalu menghembuskan napas kasar. Entah sampai kapan hidupnya akan seperti ini.

Bunda Inara, Ayu sudah bekerja dengan Pak Buana semenjak bunda dan Ayah masih muda. Bunda dan Ayah bahkan bekerja dengan Pak Buana dan Ibu Indah dari mereka awal menikah sampai sekarang.

Ayah bahkan pernah berpesan pada Bunda jangan pernah meninggalkan Pak Buana dan Ibu Indah apapun yang terjadi. Ayah merasa, ia berhutang banyak pada mereka.

Apalagi Ketika Ayah meninggal dan Pak Buana mau membiayaiku untuk kuliah kedokteran. Bunda semakin merasa hutang di pundaknya semakin banyak. Ayah bahkan bekerja dengan Pak Buana sampai akhir hayatnya. Pak Buana juga yang telah membantu segala urusan penguburan Ayah.

Keluarga ini terlalu banyak emmbantu keluargaku membuat aku dan Bunda semakin berat untuk meninggalkan keluarga ini.

Aku juga merasa tidak enak sama Bu Indah, meskipun Bunda bekerja disana tapi sekarang Bunda tidak pernah diberikan pekerjaan berat. Pekerjaan Bunda hanya mengajari asisten rumah tangga lainnya bekerja dan semuanya sudah ada bagian masing-masing yang sebenarnya tidak usah Bunda perhatikan.

Bunda bahkan bilang, ia mengikuti Ibu Indah dan Pak Buana dari rumah kecil sampai seperti sekarang. Rumah yang sangat besar dan mewah. Bahkan, aku dan Bunda diberikan bungalow kecil di belakang rumah mereka.

Jika seperti ini, akulah yang menjadi susah. Susah untuk bergerak. Setiap Langkah yang ingin aku ambil selalu saja tertahan karena aku takut membuat keluarga mereka tidak suka.

Ketika aku sampai di rumah, aku sudah melihat Ibu Indah yang sudah sibuk sendiri di ruang tamu. Aku cepat-cepat menghampiri dan membantu.

"Ra, kamu ngapain?" tanya Bu Indah Ketika aku membantunya Menyusun bunga-bunga berserakan di meja.

"Bantu Ibu misahin."

Ibu Indah menggeleng, "Nggak. Ibu mau minta tolong kamu ini." Ucap Bu Indah mengambil sesuatu di dapur.

Ibu Indah datang membawa satu tas agak besar dan menyerahkan padauk. Aku mengerutkan kening sedikit, bingung.

"Kamu bawa ini ke Regi ya. Dia tadi minta Ibu bawain. Tapi, Ibu males keluar karena bunga-bunga sampai tadi siang."

Aku mengangguk, lalu Ibu Indah juga memberikan kartu akses apartemen Regi.

"Ini kartu akses liftnya. Kalau unitnya kamu ketuk aja ya." Ucap Bu Indah, "Oh ya, minta Pak Dadang anter aja biar cepet kamunya. Soalnya masih banyak bunga di belakang." Aku hanya mengangguk dan pamit pada Ibu dan Bunda.

Regi Admaja itu anak kedua dari Pak Buana dan Bu Indah. Sedangkan, Pak Buana dan Bu Indah sendiri memiliki 2 anak. Raka dan Regi. Raka lebih tua 4 tahun dibanding aku dan Regi. Tapi, kepribadian mereka jelas berbeda. Raka lebih humoris dan lebih bersahabat dibanding Regi.

Meskipun, satu sekolah dengan Regi dan satu rumah kami tidak pernah dekat. Regi terlalu cuek dan jutek jika berhadapan denganku. Mungkin Regi kesal karena Pak Buana menyekolahkan dan menguliahkanku sama dengan Regi yang notabennya anaknya sendiri.

Sedangkan Raka, anak sulung keluarga ini selalu beda sendiri. Raka bahkan tidak mengambil kedokteran dan keluar jalur mengambil photography lalu membuat Pak Buana murka. Raka bahkan memilih untuk tinggal di Bali Bersama neneknya, Ibu dari Ibu Indah dibanding harus mendengar Pak Buana yang mengomelinya tiap hari.

Dari kecewa dengan Raka, aku menjadi sasaran berikutnya Pak Buana. Setelah mendengar Inara ingin menjadi dokter Pak Buana bahkan mau menanggung biaya kuliahku.

"Saya ada uang untuk biaya kuliah Raka. Raka tidak pakai untuk Inara saja. Lebih berguna."

Kata-kata Pak Buana Ketika aku dan Bunda sedang mencari universitas untuk diriku sendiri. Bu Indah bahkan mendukung, aku sendiri heran dengan pasangan itu. Membiarkan uang keluar begitu banyak untuk aku yang bukan siapa-siapa.

"Saya nggak mampu Pak untuk menggantikan uang Bapak nantinya." Ucap bunda kala itu.

"Inara bisa mengganti pelan-pelan nanti setelah benar-benar jadi dokter. Raka juga tidak gunakan, kalau Inara meminta ijin pada Raka, dia pasti senang dan mengiyakan." Ucap Ibu Indah.

Aku hanya melihat Bunda yang menangis berterima kasih. Siapa yang menyangka aku anak seorang asisten rumah tangga bisa menjadi dokter? Siapa yang menyangka aku yang hanya berbicara asal ingin menjadi dokter benar-benar menjadi dokter?

Menjadi dokter ini yang sebenarnya beban untuk diriku sendiri. Aku harus menjadi lulusan terbaik Ketika kuliah, aku juga harus menjadi salah satu dokter terbaik agar bisa membalas budi setidaknya sedikit memberikan rasa terima kasihku pada keluarga Admaja.

Keluarga yang membantuku bisa sampai ke titik ini dan keluarga ini juga yang membuat aku harus berpikir keras bagaimana membalasnya.

Terlalu banyak hal yang harus dibalas sampai aku sendiri bingung apakah wajar mereka memperlakukan kami terlalu baik? Aku tau keluarga Admaja memang sangat baik tapi aku.... Aku hanya bisa membuang napas kasar. Selalu seperti itu Ketika mengingat mereka.

Memang Pak Buana dan Bu Indah tidak pernah sama sekali menuntut atau memintaku melakukan sesuatu ini atau sesuatu itu. Tapi, rasanya sekali mereka memintaku sesuatu aku tidak akan pernah bisa menolak.

Dan itu yang aku takutkan, Ketika tidak bisa mengatakan tidak pada mereka. 

The Cherry On The CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang