11 Hadiah berjudi adalah komitmen

3.9K 582 13
                                    

Aku mengerjapkan mataku mencoba kembali ke dunia nyata dari dunia mimpiku ketika ketukan suara pintu menganggu tidurku. Aku harus berjalan menuju pintu dengan mata masih enggan terbuka.

Aku berdecak kesal, bagaimana tidak. Aku sudah mengabari Bunda jika datang tidak perlu ketuk pintu dulu langsung saja masuk karena semalam aku harus begadang menyelesaikan laporan-laporan yang belum ku selesaikan.

Sekarang, bahkan aku harus berjalan melewati beberapa file laporan yang masih berserakan.

Kemarin termasuk hari yang tidak menyenangkan untukku. Sudah ditinggal oleh Regi lalu setelah sampai rumah baru ingat tumpukan laporan yang harus diselesaikan.

Aku mengambil kunci dan membuka pintu. Aku hanya menurunkan gagang pintu membiarkan Bunda masuk sendiri. Sungguh, aku masih butuh tidur. Mataku masih perih jika dipaksa buka.

"Kenapa sih Bun pake ketok pintu, aku udah bilang langsung masuk." Ucapku berjalan kembali menuju kamar setelah mendengar pintu terbuka.

"Bunda suruh aku bawa ini."

Mataku yang tadinya mengantuk dan tidak bisa terbuka saat ini terbuka lebar ketika mendengar suara Regi. Aku tidak berani membalikkan tubuh karena saat ini tidak bisa dibilang tertutup.

Aku dengan kesadaran yang sudah kembai pulih seutuhnya langsung lari ngibrit ke kamar dan mengganti pakaian ku dengan pakaian layak tidak lupa merapikan diri agar bisa terlihat sedikit manusia.

Setelah yakin penampilan ku sudah bisa dilihat, aku kembali ke luar. Melihat Regi sudah duduk di sofa, menyingkirkan laporan-laporan ke samping dirinya.

"Berantakan ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan lalu mengambil kantung yang Regi bawa.

Regi hanya berdeham sedikit.

"Ini udah aku ambil." Ucapku pelan, "Kamu nggak berencana pulang?"

Regi menatap ku yang berdiri agak jauh darinya lalu menggeleng, "Mama suruh ajak kamu coba gaun pengantin."

"Hah?"

"Jangan hah hah hah terus. Cepet mandi, kamu berantakan banget."

Bukannya bergegas mandi, aku malah mendekat dan duduk di dekatnya.

"Kamu yakin mau nikah sama aku, Gi?" ucapku tenang, "Nikah itu bukan perkara hanya gaun pengantin, perkenalan kedua keluarga atau perayaan pernikahan. Pernikahan itu seumur hidup."

Regi melihat kearahku membuatku sedikit salah tingkah. Hanya diam, memperhatikan aku yang mulai benar-benar bingung harus apa.

"Aku yakin untuk menikahi kamu, Inara."

Aku berkedip berkali-kali makin salah tingkah karena ucapan Regi, jantungku bahkan berdetak tidak karuan. Ucapan Regi barusan benar-benar membuat otakku diam dan tidak bekerja.

Aku menarik napas lalu menghembuskan membiarkan oksigen masuk ke dalam otakku.

"Gi, mending kamu gagal nikah satu kali daripada dua kali. Maksain nikah sama aku nggak baik juga untuk kamu."

Bukannya aku tidak senang dengan keputusan yang diambil oleh Regi tapi rasanya kurang pas saja ketika Regi memaksakan menikah karena gagal dengan Elsa.

"Aku mau menikahi kamu, Inara."

"Atas dasar apa, Gi? Cinta?"

"Berapa lama sih cinta bakal bertahan, Ra?"

"Hah?"

Regi menghembuskan napas, "Yang selama ini aku pelajarin dari pernikahan, pernikahan itu butuh komitmen. Komitmen lebih berguna dari pada cinta. Menurut kamu?"

Aku melihat Regi sinis, "Menikah itu banyak aspek yang dibutuhin, bukan Cuma cinta atau komitmen. Masih banyak hal yang harus diperlukan sedangkan apa sih yang kita punya, Gi?"

Regi terdiam, "Kamu bisa pegang ucapan aku dan komitmen aku, Ra."

Aku kembali mendengus, "Mending kamu pulang sekarang, Gi. Kamu cari udara segar dan pikirin semuanya dengan baik-baik." ucapku akhirnya.

Regi berdiri dengan terpaksa ketika ia sampai di depan pintu aku kembali berbicara, "Kamu tau pasti kalau aku nggak akan pernah bilang nggak atau ngecewain orang tua kamu. Orang tua kamu terlalu baik untuk aku. Kamu tau sendiri gimana ngebantunya orang tua kamu sama keluarga aku. Jadi, semua keputusan ada di kamu. Sekarang, aku Cuma nggak mau kamu menyesal di kemudian hari, Gi. Biar gimanapun aku nggak mau ngiket kamu ketika kamu mengambil keputusan lagi labil dan emosi kaya gini."

Aku tau Regi ingin berbalik sebelum itu aku melanjutkan ucapanku, "Jangan puter badan kamu, Gi. Aku nggak bisa lihat kamu. Aku, aku nggak mau bikin kamu malu dengan bersanding dengan anak pembantu. You deserve better than me. Meskipun kita tumbuh bareng bukan berarti kita akan cocok dalam pernikahan."

"Inara." Ucap Regi tanpa berbalik sedangkan setelah mengucapkan semua hal, air mataku terjatuh tanpa bisa aku cegah, "Aku nggak bisa janjiin bisa selalu kasih kamu kebahagiaan selamanya, semua pasti ada cobaan. Tapi, aku akan selalu berusaha buat kamu selalu bahagia dan melakukan yang terbaik buat kamu, Ra." Aku mendengar napas Regi berhembus kasar, "Kamu sama aku sama-sama mikir. Bukan Cuma aku karena ini menyangkut kita berdua. Kalau gitu, aku pulang dulu, Ra."

Setelah itu Regi benar-benar menghilang dari pandanganku. Aku langsung terduduk di lantai, sepertinya semua tenaga dan kemampuanku berpikir sudah hilang. Memegang kepalaku sendiri padahal tidak sakit.

Apa sih yang harus aku lakukan ke depannya?

*

"Kamu tau bangetkan, Ra? Aku bisa bantu kamu kabur dari sini kalau kamu mau berubah pikiran?" ucap Raka bersender sambil melipat tangannya di kaca meja rias depanku.

"Kamu jangan aneh-aneh."

Raka berdecak, "Kamu yang aneh. Tiba-tiba aja aku denger kabar kalian akan menikah. Apa nggak gila?" tanya Raka sedikit keras.

Saat ini hanya aku berdua dengan Raka, make up artist yang meriasku sedang ke toilet berdua dengan penata rambutku.

"Nggak tiba-tiba. Semua udah ada direncanain."

Raka berdecak, "Terus kamu kira aku percaya? Sebelum aku ke Balu, yang mau nikah itu Regi dan Elsa. Kenapa setelah aku balik lagi jadi kamu dan Regi sih?" ucap Raka mengebu-gebu, "Aku tau kamu suka sama Regi, tapi ini nikah Inara. Kamu yang bener aja."

Suara Raka terdengar putus asa, seputus asa diriku yang tidak bisa menolak lamaran Regi beserta dengan Pak Buana dan Bu Indah.

Bagaimana aku bisa menolak jika Regi dengan yakin meminta tanggung jawab atas diriku pada Bunda? Apalagi ditambah dukungan Bu Indah yang terlalu bersemangat.

"Terus kamu mau aku gimana?"

"Kamu harus pikirin kebahagian kamu lebih dulu dibanding mikirin bisa membuat orang lain kecewa. Kamu nggak mau orang lain kecewa kan? Terus kalau diri kamu yang kecewa gimana? Siapa yang bertanggung jawab?"

Aku tersenyum, "Regi. Dia udah minta tanggung jawab sama Bunda kok." Ucapku enteng.

"Inara.."

"Raka, sekarang udah terlambat untuk aku bilang nggak. Sekarang yang penting, mending kamu doain aku sama Regi aja gimana?"

Raka berdecak, "Terserah kamu ajalah." Ucap Raka meninggalkan diriku sendiri.

Aku melihat pantulan diriku sendiri di cermin, mungkin memang benar tidak ada cinta. Aku hanya mengandalkan ucapan Regi. Aku sendiri sadar, aku seperti main judi. Entah aku akan menang atau justru aku akan kalah. Yang seharusnya aku tidak bisa mempertaruhkan kehidupanku apalagi menyangkut hati. Tapi, entah mengapa hati kecilku selalu berkata untuk mencoba.

Mencoba mengikat komitmen antara kita berdua dan berharap cinta akan tumbuh untukku. Bisakan? Harusnya bisa dan mudah-mudahan bisa.  

The Cherry On The CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang