Aku benar-benar masih tidak menyangka jika sekarang aku berada di kamar Regi dan menunggu giliran untuk menggunakan kamar mandi di kamar ini.
Biasanya aku masuk ke dalam kamar ini jika ada perlu, seperti memanggil Regi atau menaruh baju yang sudah disetrika setelah itu sudah. Tidak pernah lama untuk berada di sini.
Sekarang, aku duduk di depan meja rias yang entah kapan berada di kamar ini dan sedang membuka tatanan rambut setelah acara tadi.
Acara pernikahan yang berjalan dengan lancar meskipun aku tau beberapa teman Regi datang dengan wajah heran dan bingung. Terlebih jika mereka tau siapa aku dan kenapa bisa aku mungkin sebelumnya mereka tau calon Regi adalah Elsa.
Aku sendiri sudah tidak memikirkan itu, setelah menerima lamaran Regi dan menjadi calon istrinya kemarin aku sudah memikirkan resiko yang akan aku terima dari segala keputusan. Baik atau buruk akan selalu ada, hanya tinggal aku saja bagaimana menanggapinya dan aku memutuskan untuk tidak peduli tentang itu.
Aku bahkan lebih memikirkan bagaimana situasi aku dan Regi setelah menikah, sepertinya akan lebih canggung lagi. Aku menghela napas.
Pintu kamar mandi terbuka, Regi keluar sambil menggosokkan handuk ke rambutnya. Tidak ada adegan Regi keluar dengan handuk di pinggang. Tidak. Regi bukan tipe laki-laki seperti itu kayanya.
"Mandi dulu, nggak usah keramas. Udah malem, besok aja. Sekalian ada yang perlu aku omongin sama kamu."
Perasaanku mulai tidak enak, ini Regi nggak berubah pikiran dengan mengajakku nikah kontrak dan memberikanku surat kontrak seperti di film-filmkan?
Aku mulai membersihkan diri ketika ingin membasuh rambutku, aku mengingat ucapan Regi. Otomatis bibirku terangkat tipis, membuatku tersenyum. Perhatian pertama Regikan?
Setelah selesai, aku keluar kamar mandi dan melihat Regi sudah duduk di atas kasur dengan santai melihat ponselnya.
"Sini." Ucap Regi sambil menepuk kasur sebelahnya.
Rasanya detak jantungku sudah tidak memiliki nada dan irama yang merdu. Berjalan mendekati Regi, semakin tidak karuan pula reaksi tubuhku ini.
"Ada yang mau omongin sama kamu."
Aku hanya diam memandang Regi sambil menetralkan tubuhku yang tidak biasa ini.
"Awalnya, aku mau ajak kamu langsung tinggal di apartemen." Ucap Regi tanpa basa-basi, "Cuma Mama minta kita tinggal di rumah sebentar kan?"
Aku mengangguk, aku berakhir di kamar Regi atas permintaan Bu Indah memang. Bu Indah meminta aku dan Regi tinggal di rumah setidaknya seminggu.
"Cuma aku pikir-pikir kemarin, kayanya aku harus memberikan kamu tempat lebih layak."
"Hah?"
"Aku udah lihat-lihat rumah yang cukup bagus untuk kita berdua, Cuma masalahnya uang aku nggak cukup untuk beli langsung. Jadi, aku harus jual apartemen aku dulu. Kamu keberatan nggak kalau kita numpang di rumah ini dulu? Sambil kita cari rumah yang kamu sama aku cocok. Cuma kalau kamu mau kita mandiri, nanti aku pikirin lagi."
Aku tersenyum kecil, "Semenjak aku setuju nikah sama kamu, aku harus ikutin kamu dan nurut. Cuma aku mau bilang makasih, kamu tanya pendapat aku dulu sebelum memutuskan."
Regi berdecak, "Yaiya, kita tinggal berdua nggak mungkin aku nggak tanya kamu. Maksain kamu ini itu. Jadi, menurut kamu gimana?"
"Aku untuk tinggal di sini sementara setuju, Cuma kalau aku boleh saran. Aku nggak apa tinggal di apartemen dulu atau aku bisa kok bantu keuangan kamu. Emang sih uang aku nggak banyak."
Regi menggeleng, "Aku masih mau usaha sendiri, Cuma mungkin aku nggak bisa kasih kamu uang bulanan banyak. Kamu nggak apa?"
"Nggak apa. Aku cukup kok dengan gaji aku. Kamu sendiri gimana? Jangan terlalu maksain, aku tinggal dimana bisa kok."
Regi mengacak rambutku dengan lembut, jantungku yang sudah mulai normal kembali tidak baik lagi. Meskipun sudah sah menjadi istri sah Regi tetap saja aku masih belum terbiasa di dekatnya begini.
"Aku juga mau minta maaf"
Aku mengerutkan kening, "Maksud kamu?"
Regi terkekeh sedikit, "Aku harusnya ajak kamu diskusi ini sebelum nikah, Cuma aku takut kamu malah tolak aku. Jadi mending kamu udah terlanjur sama aku dulu baru tanya kamu begini-begini. Aku nggak nyangka menikah butuh banyak pemikiran gini."
Aku mengerutkan keningku, "Kamu jebak aku? Emangnya waktu sama Elsa kamu nggak mikirin?"
Regi menggeleng cuek, "Elsa kan mintanya tinggal di sini. Aku nggak usah mikirin. Kalau kamu, Mama pasti gerecokin aku kalau kamu tinggal di sini. Aku juga nggak mau kamu nggak nyaman. Kamu sendiri tau Mama kaya gimana kan?"
Aku nggak tau harus bereaksi apa sebenarnya. Tau jika Regi memikirkan kenyamanan aku dan sedikit menjebakku sebenarnya.
Hanya saja, tidak menyangka jika Regi memikirkan bagaimana ke depannya bersamaku membuat perutku tergelitik dan ada rasa bangga pada Regi, ia benar-benar bertanggung jawab atas diriku. Ya, meskipun aku tidak pernah menuntut apapun.
"Yuk, tidur. Aku capek banget." Ucap Regi sambil menarikku untuk berbaring lalu memelukku dengan erat, "Nyamannya."
"Aku nggak pernah mikir kalau aku bakal tidur di sini sama kamu." Ucapku.
Regi mengecup rambutku.
"Aku belum keramas." Ucapku pelan.
"Nggak apa, wangi hair spray."
Aku berdecak kesal, "Kan kamu sendiri yang suruh aku nggak keramas."
"Aku juga nggak bilang bau, Ra."
"Tapii..."
"Sssst, tidur aja. Udah malem, balikin tenaga yang udah terkuras hari ini. Besok kita masih ada agenda panjang."
Besok memang Bu Indah mengajak semua orang untuk berlibur di villa Bandung bersama keluarga yang sudah jauh-jauh untuk menghadiri acara pernikahan kami. Cuma entah mengapa aku benar-benar tidak tertarik dengan acara itu.
"Tidur, Inara. Sebelum aku berubah pikiran untuk tidak tidur." Ucap Regi pelan tetapi membuatku langsung menutup mataku.
Satu tahap baru di hidupku sudah dimulai bersama orang yang tidak pernah aku bayangkan bisa menemaniku sekarang dan memelukku dengan erat tanpa canggung.
Meskipun menyimpan perasaan cukup lama pada Regi tapi aku tidak pernah berani berpikir untuk bisa berada seperti ini sekarang dengan Regi.
Tapi lagi-lagi aku sendiri tidak pernah tau apa yang bisa terjadi di masa depan seperti sekarang. Hanya bisa menikmati dan mudah-mudahan aku selalu bisa tetap waras meskipun rasanya otakku sudah tidak bekerja seperti seharusnya. Membuatku mengambil keputusan yang tidak pernah otakku mengerti.
Dan sekarang, aku baru sadar apa arti otak dan hati tidak pernah selaras dalam mengambil keputusan karena aku sendiri sudah mengalaminya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cherry On The Cake
RomansaMenjadi dokter hanya sebuah angan-angan bagi Inara. Tapi ternyata keinginannya tercapai berkat keluarga Admaja. Keluarga Admaja yang baik hati pada keluarganya yang membuat Inara sendiri bingung harus membalas keluarga Admaja seperti apa. Ditambah...