Aku sedang membersihkan kolam renang dari daun-daun yang berjatuhan. Biasanya ada tukang kebun yang membersihkan, tetapi Pak Jajang sedang tidak masuk karena istrinya sedang sakit. Jadi, Bunda memintaku untuk membersihkannya.
"Inara.."
Aku langsung berbalik Ketika mendengar suara Regi dan aku hampir saja masuk ke dalam kolam renang jika Regi tidak memegang tanganku dengan cepat.
"Ya ampun, hampir aku mandi lagi." Ucapku langsung. "Hmm, makasih." Sambil menarik tanganku dari genggaman Regi.
Hati ini berdetak sangat cepat, membuat otakku tidak bisa bekerja dengan baik dan aku tidak tau harus apa.
"Aku mau ngomong sama kamu." Ucap Regi pelan.
Aku tau, Regi pasti merasa tidak enak denganku. Mungkin kalau aku jadi Regi, aku juga akan seperti itu. Biar bagaimanapun aku menyukainya dan bagaimanapun Bu Indah melarangku pergi tapi satu yang pasti Elsa adalah calon istrinya. Wanita yang akan menemaninya sampai nanti.
"Aku mau minta maaf soal permintaan Elsa."
Aku tersenyum, "Nggak kenapa-napa."
Regi menggeleng, "Kamu nggak usah pindah, aku nanti omongin sama Elsa lagi."
Aku menarik napas, "Pasti ada alasan Elsa nggak mau aku di sini. Kalau dipaksa nanti kamu sama Elsa malah berantem dan aku lebih nggak enak lagi. Jadi, nggak usah diambil hati." Ucapku, "Kamu nggak usah pikirin aku ataupun bunda apalagi mikir nggak enak segala macem. Udah jelas juga Bunda akan lebih bela kamu dibanding aku."
Dari dulu, entah kenapa Bunda selalu menomor satukan Regi dibanding aku dan Raka. Mungkin karena aku dan Raka bisa bermain sedangkan Regi hanya diam. Regi lebih suka baca buku dan berada di kamar. Membuatku dan Raka lebih sering ditegur supaya mau mengajak Regi bermain.
"Aku nggak enak sama Bunda."
Aku berdecak, "Kamu tuh udah kenal Bunda berapa lama? Lagipula aku beberapa hari kemarin udah bahas tentang ini. Bener kata kamu, jarak rumah sakit pulang ke rumah memang jauh, aku sempat minta sama Bunda untuk tinggal di dekat rumah sakit tapi belum dijawab. Ini malah jadi kesempatan untuk aku kan?"
Aku masih melihat wajah Regi yang tidak enak. Ingin sekali menepuk bahunya dengan cara memeluk dan mengatakan semua akan berjalan baik-baik saja.
Aku langsung menyadarkan diri dengan keinginan mustahil dan liarku. Bisa-bisanya aku berpikiran untuk memeluk Regi?
"Yaudah, aku masuk dulu ke dalem. Nggak usah dipikirin, Gi. Sekarang yang harus kamu pikirin acara pernikahan kamu." Ucapku sambil menaruh tongkat yang aku gunakan untuk mengambil daun, "Oh ya, selamat ya." Ucapku lagi lalu menjauh dari Regi yang masih berdiri membeku.
Aku tersenyum bangga dengan diriku sendiri. Aku mampu tersenyum dan mengendalikan diriku saat hati aku benar-benar terasa tercabik dan terluka.
*
Aku sudah mulai membereskan barang-barangku untuk pindah. Aku mendapatkan kos-kosan kecil dekat dengan rumah sakit. Ditambah Bunda juga sudah mengijinkan aku tinggal disana. Sebenarnya Bunda menginginkan tempat lebih baik. tapi akhirnya Bunda mengalah membiarkan aku pindah dulu nanti pelan-pelan mencari tempat yang cocok untukku lagi.
Aku tau kenapa Bunda membiarkan aku pindah dengan cepat. Aku tersenyum melihat Bunda kesal karena sebenarnya sulit untuk memancing agar Bunda untuk menggerutu dan emosi seperti itu.
Elsa setiap wanita itu datang ke rumah selalu saja membahas tentang diriku yang tidak pindah-pindah pada Bunda. Ya, meskipun tidak berbicara sinis tetap saja Bunda jadi kesal karena selalu membahas.
Padahal semenjak pembahasan hari itu Pak Buana, Bu Indah bahkan Regi tidak pernah membahasnya lagi. Lagi pula baru selang satu minggu tetapi Elsa selalu memburu-burui aku untuk segera keluar.
Setelah semua barangku beres, Bunda mengajakku untuk betemu dengan Pak Buana dan Bu Indah mumpung mereka sedang minum the bersama.
"Pak Bu." Ucap Bunda,
Pak Buana dan Bu Indah langsung melihat ke arah Bunda dan menyuruh kami berdua duduk.
"Inara mau pamit, Pak Bu." Ucap Bunda pelan.
Bu Indah mengerutkan keningnya, "Pamit kemana?"
"Inara udah dapet kos-kosan deket rumah sakit. Saya juga udah lihat tempatnya."
Bu Indah menggeleng, "Nggak. Regi nikah masih lama kok udah pindah sekarang." Suara Bu Indah agak meninggi, "Inara pindah harusnya saya ikut survey tempatnya, Yu. Kok kamu sendirian gitu? Kamu udah nggak saya, Yu?"
Aku hanya diam meski bibir ini ingin terseyum, inilah aslinya Bu Indah agak drama dan suka melebih-lebihkan. Sekarang Bunda seperti mati kutu tidak bisa menjawab.
"Saya mau lihat tempatnya, kalau saya nggak suka Inara nggak boleh tinggal sana. Ayo tunjukin tempatnya."
Bu Indah sudah masuk ke dalam kamar dan mengambil tas lalu mengajak Bunda pergi.
Sedangkan aku dan Pak Buana hanya diam mengikuti Bu Indah. Pak Buana itu sayang banget sama Bu Indah, sehingga apapun yang Bu Indah inginkan pasti dikabulkan.
Pak Buana juga sering menyuruh Inara menemani Bu Indah untuk melakukan segala hal karena kedua anaknya laki-laki jadi Bu Indah jadi lebih protektif pada Inara.
Setelah sampai di kos-kosan rawut muka Bu Indah sudah tidak enak, Bu Indah berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala pada Bunda lalu mengajak pulang dengan cepat.
"Pikiran kamu dimana sih, Yu? Biarin Inara tinggal di kos-kos kecil gitu?"
"Hanya untuk tidur cukup, Bu." Kali ini aku membela Bunda.
Bu Indah menggeleng, "Nggak, Ibu nggak mau kamu tinggal di sana."
"Untuk sementara sampai dapet tempat lebih enak lagi, Bu." Jawab Bunda.
Bu Indah menghembuskan napas kesal, "Yu, gimanapun Inara udah aku anggap anak sendiri. Aku nggak mau Inara tinggal disana."
"Saya sudah bayar, Bu." Ucap Bunda lagi.
Bu Indah makin kesal, "Kamu tuh udah nggak anggap saya lagi ya, Yu? Kamu nyari tempat tinggal terus bayar tanpa ngomong. Pindah main pindah."
Pak Buana mengelus bahu istrinya, "Sudah, sudah. Gini saja, Yu. Sebenarnya saya dan Indah sudah membeli satu unit apartemen dekat dengan rumah sakit. Apartemennya hanya beda tower dengan Regi, lebih baik di sana. Lebih aman, Yu."
Bunda menggeleng, "Inara nggak usah dimanja seperti itu, Pak."
Pak Buana menggeleng, "Saya beli pakai uangmu yang waktu itu kamu kasih, Yu. Nama juga udah nama Inara."
Bunda sudah nangis sesunggukan, Bu Indah juga langsung memeluk Bunda.
"Yu, biar gimanapun aku nggak akan biarin Inara hidup nggak jelas di luar sana. Membiarkan Inara pergi aja udah buat aku ngerasa salah, ditambah Inara harus tinggal di tempat kaya gitu aku makin ngerasa salah, Yu."
"Saya nggak tau lagi harus gimana membalas kalian." Ucap Bunda akhirnya.
Aku melihat Bu Indah tersenyum, "Gimana kalau nikahin Raka sama Inara?"
Bunda, Pak Buana dan aku langsung melihat ke arah Bu Indah.
"Ma." Suara Pak Buana memperingati Bu Indah.
"Usaha, Pa. usaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cherry On The Cake
RomanceMenjadi dokter hanya sebuah angan-angan bagi Inara. Tapi ternyata keinginannya tercapai berkat keluarga Admaja. Keluarga Admaja yang baik hati pada keluarganya yang membuat Inara sendiri bingung harus membalas keluarga Admaja seperti apa. Ditambah...