3 hati yang harus dijaga

3.5K 557 12
                                    

Hari ini rumah Bu Indah lebih terasa hidup. Raka yang membangkitkan suasana. Raka memang sangat bisa membuat Bu Indah bertebaran senyum dan bisa membuat Pak Buana bertebaran emosi karena jika mengingat dirinya yang tidak ingin masuk kedokteran tensi Pak Buana akan semakin meninggi.

"Papa kira kamu sudah lupa rumah." Ucap Pak Buana.

"Nggak mungkin lah, pa." jawab Raka, "Ra, sini aja ikutan ngobrol."

Baru saja aku ingin melarikan diri setelah mengantarkan minum, tanganku ditarik oleh Raka sehingga aku duduk.

"Ranti kemana, Ra? Kok kamu yang anter minumnya?" tanya Bu Indah.

"Lagi makan, Bu."

Bu Indah mengangguk, "Kamu tuh jangan kasar-kasar sama Inara."

Raka tertawa, "Inara kalo nggak Abang paksa ngelakuin sesuatu mah diem aja dia, Ma."

"Mama kalo kamu yang minta lakuin sesuatu juga, Mama akan curiga daripada nurutin, Ka."

Raka hanya tertawa.

"Eh, Regi?"

Aku langsung berdiri mendengar nama Regi disebut. Regi ada disitu. Regi datang untuk makan malam tetapi ia tidak sendiri. Ada wanita yang pernah aku lihat di apartemennya di sampingnya saat ini.

Regi dengan santai duduk di salah satu sofa yang kosong dan mengajak Elsa duduk disana juga.

"Saya permisi dulu." Ucapku pamit.

Aku langsung menuju dapur, di sana ada Bunda sedang memasak.

"Ada apa, Ra? Kok kaya lihat hantu?"

Aku menggeleng, "Habis lihat anaknya hantu."

"Huss! Sembarangan. Sana bantu Ranti nata meja makan dulu."

Dengan muka yang mesam-mesem aku tetap membantu Bunda dan Ranti menyiapkan makanan. Di luar boleh gelarku dokter, tapi di rumah mau sehebat apapun aku tetap saja anaknya harus nurut pada Bunda.

Ketika aku menaruh makanan di meja, mereka sudah berkumpul di meja makan.

"Kamu yakin, Gi? Nikah itu nggak bisa cepet-cepet gitu." Ucap Bu Indah.

Aku langsung menelan ludah dengan susah. Regi mau nikah?

"Raka gimana? Kamu mau langkahin Raka?"

Raka menggeleng, "Jangan tunggu aku. Regi kalau mau nikah duluan ya silahkan. Jangan jadiin aku tumbal, Ma."

Bu Indah melirik pedes pada Raka.

"Kamu yakin, Gi?" tanya Bu Indah sekali lagi.

Aku melihat Regi mengangguk, di sebelahnya Elsa senyum-senyum malu.

"Kalau nunggu Bang Raka, emang sekarang abang ada calonnya?" tanya Regi pada Raka.

Raka menggeleng lalu berdeham, "Inara mau nggak sama Abang?"

Aku langsung melihat horror pada Raka.

"Emang Inara mau sama kamu, Ka?" tanya Bu Indah pada Raka, "Kamu mau Inara kalau disuruh nikah sama Raka?" tanya Bu Indah pada Raka.

Aku tersenyum sinis pada Raka lalu menggeleng pada Bu Indah.

"Inara lagi diincer sama teman Regi, Ma. Ituloh Dokter muda yang cukup oke di rumah sakit, aku pernah cerita sama kamu kok." Ucap Pak Buana menambahi, "Oh, Dokter Adit."

"Yah..." ucap Bu Indah pelan.

Aku hanya bergegas menyelesaikan pekerjaanku dan meninggalkan meja makan itu. Bisa gila jika aku terus disana. Bisa-bisa Raka menggodaku karena Regi akan menikah.

Regi akan menikah? Aku membuang napas pelan. Kenapa cepat sekali? Memangnya dia sudah yakin pada Elsa-Elsa itu?

*

Aku sedang membantu bunda yang sedang memilih beberapa sayuran yang akan dimasak besok.

Meskipun sudah sampai di bungalow sendiri, Bunda tetap saja memikirkan keluarga Admaja. Terutama apa yang akan mereka santap besok pagi, siang dan malam.

"Kita nggak akan pernah bisa tinggal di rumah sendiri dan pergi dari sini ya, Bun?" tanyaku iseng-iseng penuh makna.

Bunda menghentikan kegiatannya lalu melihat ke arahku, "Bunda akan tetap disini. Kamu ingatkan pesan Ayah terakhir kali?"

Aku berdecak, "Iya, aku ingat. Tapi, sampai kapan kita bakal disini? Bunda nggak capek kerja terus?"

"Hutang tidak tertulis lebih besar dibanding hutang tertulis, Inara." Ucap Bunda, "Bagi bunda sekarang, kamu yang terpenting. Tinggal tunggu kamu menikah saja. Beban yang bunda bawa sekarang hanya menunggu kamu menikah. Bahkan, Ketika kamu menikah nanti Bunda akan tetap berada disini."

Aku melihat Bunda sedikit kesal, "Bunda lebih milih tinggal disini dibanding sama aku nanti?"

Bunda mengangguk mantap, "Bunda nggak akan jadi beban kamu. Bunda bersyukur bisa bertemu keluarga Admaja. Bunda terlahir miskin tetapi Bunda bisa meninggal dengan kamu yang sudah menjadi dokter. Entah kebaikan apa yang Bunda lakukan di masa lalu sampai Tuhan bisa baik sama Bunda."

Aku hanya diam saja tidak akan membahas pindah-pindah lagi dengan Bunda. Bunda kalau disenggol dikit langsung bawaanya mellow.

"Kamu tanya-tanya, memangnya kamu mau nikah?"

Aku melihat Bunda kaget, "Emang harus nikah dulu baru pindah?"

"Ya jelas. Kamu nggak mungkin Bunda kasih tinggal sendiri. Hidup di luar itu banyak godaannya."

Aku berdecak, "Kan aku Cuma tanya aja lagian. Bunda yang memperpanjang."

"Inaraaaa...."

"Itu ada Nak Raka. Sana keluar."

Aku lagi-lagi berdecak lalu beranjak keluar. Melihat Raka berdiri di depan pintu sambil tersenyum-senyum.

"Kenapa?"

Raka menggeleng, "Ngobrol yuk."

Aku mengikuti Raka yang jalan mendahului dan duduk di kursi taman dekat kolam renang. Aku duduk di kursi satunya.

"Regi mau nikah."

Aku mengerutkan alis, "Iya tadi aku udah denger. Kan ada aku beresin meja makan."

"Kamu nggak keberatan?"

Aku menggeleng, "Kenapa harus?"

"Setidaknya biarin Regi tau kamu suka dia gitu?"

Aku menggeleng pelan, "Nggak."

Raka berdecak, "Siapa tau dia berubah pikiran."

Aku tertawa, "Siapa aku coba bisa ubah pikiran dia. Jangan aneh-aneh deh." Ucapku, "Kalau Regi yakin aku Cuma bisa doain aja."

"Harusnya kamu kejar dia, Ra. Bukan begini. Mungkin aja dia juga suka kamu kan?"

"Mungkin saja itu keberhasilannya nggak banyak. Berhasil nggak, malu iya. Nggak mau." Ucapku.

Aku tidak akan mengaku jika aku menyukai Regi. Bukan apa, malunya itu aku tidak bisa bayangkan jika ditolak. Aku serumah dan satu tempat kerja. Meskipun sekarang Regi lebih suka di apartemen tetap saja sewaktu-waktu ia bisa kembali ke rumah.

"Ra..." bujuk Raka lagi.

"Bang, aku itu Cuma anak aisisten rumah tangga kalian. Lagian, abang rela adeknya sama aku?" ucapku sinis akhirnya.

Raka berdecih, "Mau kamu anak siapa juga kalau cinta bisa apa sih, Ra?"

Aku bangkit berdiri, "Udah , Bang. Aku nggak akan pernah maju untuk Regi. Mau kamu bilang kaya gimana juga aku tetep tau dimana posisi aku." Ucapku lalu meninggalkan Raka yang masih diam di tempat.

Aku nggak pernah tau apa jalan pikiran Raka. Dari dulu, Raka selalu berusaha menjodohkanku dengan Regi yang berakhiran Regi cuek dan seperti kesal padaku.

Aku harus lebih tahu diri kan? 

The Cherry On The CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang