Sudah hampir 2 bulan aku tinggal di apartemen. Semua berjalan dengan baik dan lancar. Bu Indah dan Bunda sering mengunjungiku sedangkan aku hanya sesekali.
Semenjak pindah aku jadi jarang untuk ke rumah. Aku menghindar dari Regi dan Elsa setidaknya sampai mereka menikah. Aku tidak ingin jadi masalah untuk Regi, jika Elsa lebih suka seperti ini aku bisa apa?
Tapi, Bu Indah memulai dramanya lagi sehingga aku jadi bingung harus bagaimana. Beberapa kali alasan karena pulang malam dari rumah sakit masih bisa Bu Indah terima tapi waktu aku mendapatkan libur pasti aku mau tidak mau harus ke rumah.
Hari ini aku bersiap untuk pergi ke Singapore untuk mengikuti seminar yang Pak Buana sudah daftarkan. Sambil menunggu jam keberangkatan yang masih agak lama aku melihat kembali barang yang aku bawa.
Aku hanya membawa koper berukuran kecil yang berisi baju untuk 3 hari dan perlengkapan lainnya.
Tok.. tok... tok...
Aku mengerutkan kening, Bunda datang? Ngapain? Aku sudah pamit padanya semalam dan banyak rentetan nasihat untukku padahal aku hanya pergi seminar bukan pergi kemana-mana.
Tapi, Bunda tidak perlu mengetuk pintu. Bunda dan Bu Indah sudah memiliki kunci apartemen ini tanpa aku berikan mereka selalu inisiatif.
Aku bergegas membuka pintu dan melihat Regi berdiri di depan pintu. Ini pertama kalinya Regi ke apartemen ini. Aku mengigit bibir bawahku karena sesungguhnya aku merindukan sosok yang ada di hadapanku ini.
Semenjak menghindari Elsa dan Regi, aku benar-benar membatasi diri untuk tidak bertemu dengannya. Bahkan jika di rumah sakit aku benar-benar seperti tidak terlihat.
"Sudah siap?"
Aku mengerutkan kening, "Siap kemana?"
Regi memiringkan kepalanya dan melihat ke dalam, "Mana koper kamu?"
Ah, aku mengangguk. Tapi kenapa Regi bertanya soal koperku ya?
"Kenapa emangnya? Kamu ngapain di sini?"
"Mama suruh aku pergi bareng kamu ke bandara."
Aku mengembungkan mulutku dan mengangguk, sudah pasti ulah Bu Indah. Siapa lagi yang bisa berbuat seperti ini selain Bu Indah?
Aku menggaruk leherku yang tidak gatal, jujur aku bingung harus berbuat apa. Usahaku untuk melupakan Regi selama dua bulan seperti hancur hanya dalam beberapa menit. Sia-sia usahaku untuk menghindarinya selama dua bulan ini. Tidak ada hasil.
"Ayo, kamu udah siapkan?"
Aku mengangguk dan mengikuti Regi. Melihat kembali ke dalam unitku jika semua sudah rapi dan beres. Mengunci pintu dan berjalan menyusul Regi yang sudah lebih dulu berjalan menuju lift.
"Aku padahal udah bilang bisa pergi sendiri."
Regi mengangguk, "Tau. Bunda juga ngomong gitu."
"Terus?"
Regi mengangkat kedua bahunya, "Mama bilang suruh aku coba dulu lihat ke unit kamu. Kamu udah berangkat belum, kalau belum bareng aja."
"Kamu dari rumah ke apartemen lagi?"
Jarak bandara itu lebih dekat dari rumah dibanding harus ke apartemen lagi. Kalau begini aku jadi nggak enak sama Regi membuatnya harus berputar-putar.
Regi mengangguk, "Untung kamu masih ada jadi nggak sia-sia."
"Harusnya kamu telpon dulu."
Regi melihatku membuatku harus menahan napas, "Ponsel kamu bukannya Cuma untuk pajangan?"
Aku berdecak, ponselku memang jarang sekali aku pegang. Disaat semua orang tidak bisa lepas dari ponsel aku malah suka melupakan benda itu.
"Semenjak di apartemen, aku udah nggak boleh jauh-jauh dari ponsel. Bu Indah sama Bunda nggak henti-hentinya telpon dan whatsapp."
Regi mengerutkan keningnya, "Kamu punya whatsapp sekarang?"
Aku berdecak, "Jangan remehin aku deh."
Regi tertawa membuatku tersenyum. Aku menarik napas dan membuangnya kasar, sepertinya memang tidak akan semudah itu melupakan Regi.
Sesampainya di bandara, sudah banyak beberapa dokter yang mengikuti seminar tersebut termasuk Adit.
Adit langsung menghampiri aku dan Regi, "Kalian bareng?" tanya Adit.
Regi hanya mengangguk.
"Kemarin kamu nggak mau bareng aku, Ra. Kok sekarang malah bareng Regi?" tanya Adit membuatku bingung harus jawab apa.
"Nyokap gue suruh gue jemput Inara. Tadi gue juga langsung dateng tanpa tau dia udah berangkat apa belum." Ucap Regi.
Adit menganggukkan kepalanya. Setelah itu berjalan meninggalkan dua orang itu dan check in. Berada di antara mereka berdua membuat diriku seperti terjepit.
*
Sesampainya di hotel aku langsung merebahkan diri dan menutup mata. Tadi, setelah turun dari pesawat Adit mengajakku untuk pergi makan dan berjalan-jalan sekitar hotel. Jelas aku menolak dengan alasan ingin tidur karena belum sempat tidur.
Baru saja selesai mandi dan bel kamarku berbunyi membuatku harus cepat-cepat lari ke kasur. Berharap Adit tidak mendengar langkahku dan bena-benar menganggapku tidur.
"Ini Regi."
Aku langsung duduk dan berjalan gontai menuju pintu dan membukanya.
Regi berdiri di sana masih dengan baju yang tadi, sedangkan aku sudah mandi dan wangi. Darimana saja Regi sampai belum mandi?
Regi itu manusia paling bersih yang aku kenal. Jika habis keluar rumah Regi pasti membersihkan tubuhnya.
Regi mengulurkan tangannya yang berisi kantung plastik. Aku mengerutkan kening menandakan aku bingung.
"Makanan." Ucap Regi, "Kamu belum makankan?"
Aku menggeleng.
"Makan dulu baru tidur."
Setelah itu Regi pergi menuju kamarnya membiarkan aku mematung di depan pintu beberapa saat. Aku membalikkan tubuhku dan menutup pintu dengan lemas.
Aku melihat kantung plastik di hadapanku dengan khusyuk. Gara-gara benda ini hatiku sedikit tergelitik yang gilanya lagi menimbulkan beberapa persen hati ini pada Regi. Beberapa persen yang sudah berhasil aku lupakan kini kembali lagi.
Aku menarik napas keras, mungkin bagi Regi ini bukan apa-apa. Makan lalu membelikan untuk diriku itu hal biasa untuknya. Tapi, apa Regi pernah berpikir efeknya untuk diriku?
Apa setiap wanita akan seperti ini jika sedang mencoba melupakan seseorang? Cobaan yang diterima sangat luar biasa. Maju mundur dan turun naik emosi sangat dipermainkan.
Mungkin harapan tidak akan pernah ada tapi bukannya progress melupakan jadi terdengar sia-sia?
Dua bulan.
Dua bulan bukan waktu singkat untukku untuk menghindar dan mencoba melupakan Regi. Banyak hal yang aku lakukan untuk menjauhi Regi berharap perasaan ini akan pudar tapi nyatanya semua sia-sia. Hanya dengan Regi datang dengan plastik ini semua seperti tidak berguna.
Padahal sebelumnya aku sudah sangat percaya diri jika aku berhasil terbiasa tanpa Regi dan rasa yang aku miliki sudah memudar. Merelakannya menikah dan bahagia dengan Elsa.
Usaha yang sia-sia membuatku harus menyerah melupakan. Biarkan saja perasaan ini ada dan belajar menerima kenyataan sepertinya lebih baik.
Melupakan Regi lebih sulit dibanding harus lulus ujian. Ujian aku diberikan bahan untuk bisa lulus, sedangkan melupakan Regi? Aku harus menemukan bahanku sendiri dan menerapinya sendiri.
Adakah buku atau modul untuk melupakan seseorang?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cherry On The Cake
RomanceMenjadi dokter hanya sebuah angan-angan bagi Inara. Tapi ternyata keinginannya tercapai berkat keluarga Admaja. Keluarga Admaja yang baik hati pada keluarganya yang membuat Inara sendiri bingung harus membalas keluarga Admaja seperti apa. Ditambah...