Semenjak pulang dari Singapore, aku menjadi lebih sering melamun dan tertawa sendiri ketika kembali memikirkan apa yang aku dan Regi lewati disana.
Setelah dari Garden Bay The Bay aku dengan lantang mengajak Regi untuk berjalan kaki untuk ke Merlion. Dari Garden Bay The Bay untuk ke Marina Bay Sands saja sudah membuatku cukup lelah. Mungkin aku memang harus lebih banyak olahraga karena jalan sedikit sudah lelah.
Yang aku lebih heran lagi, Regi mengiyakan keinginanku. Harusnya dia melarang karena itu jauh bahkan selama jalan aku beberapa kali berhenti karena capek. Untungnya aku dan Regi bisa berbagi cerita dan tertawa bersama. Kenangan indah sebelum benar-benar Regi jadi milik Elsa.
Apalagi pernikahan mereka akan berlangsung kurang dari dua bulan lagi. Dua bulan itu bukan waktu yang sebentar dan bukan waktu yang lama. Masalahnya bisakah aku siap ketika melihat Regi akan mengucapkan janji seumur hidup dengan Elsa?
Pintu apartemenku terbuka, sosok Bunda masuk selalu dengan tas yang memenuhi tangannya membuatku beranjak dari kasur lalu mengambil tas-tas yang Bunda bawa.
"Aku udah bilang nggak usah kaya piknik kalau ke sini, Bun." Ucapku sambil membuka tas-tas yang aku taruh di atas meja.
Isinya ada roti, makanan siap santap, frozen food, kue-kue dan lain-lainnya yang sungguh apartemenku jika dipikir-pikir makanan lebih banyak dibanding barang berharga.
"Bunda nggak mau kamu kelaparan. Lagipula kalau kamu pulang malam dari rumah sakit kamu bisa langsung goreng atau panaskan langsung makan." Ucap Bunda sambil membenahi beberapa makanan dingin ke dalam kulkas.
Bu Indah dan Pak Buana bukan memberikan apartemen saja, mereka juga sudah mengisinya dengan berbagai perabotan yang sebenarnya tidak perlu.
Eksistensi beberapa barang itu hanya untuk pajangan dibandingkan untuk kegunaan. Pelengkap rumah agar tidak kosong.
"Kok Bunda tumben jam segini udah sampai?"
Aku melihat dinding, ini baru jam 5 sore. Biasanya Bunda akan sampai sini jika sudah jam 7 atau 8 ketika pekerjaan beres atau setidaknya setelah jam makan malam.
Bunda menghembuskan napas kasar seakan beban di pundaknya sangat berat, "Di rumah suasana lagi nggak enak, Ra." Jawab Bunda, "Udah 3 hari Bunda nggak masak makan malam. Sarapan aja cuma Pak Buana sebelum ke kantor."
"Loh, Bu Indah?"
Bunda berdecak, "Bu Indah lagi stress berat."
"Kenapa, Bun?" ucapku sambil menyuap kue yang Bunda bawa.
"Elsa batalin pernikahannya padahal Bu Indah udah siapin semuanya."
Aku langsung tersedak kue yang baru saja masuk ke mulutku. Bunda sampai harus menepuk punggungku dan memberikan aku air putih. Tersedak itu benar-benar tidak enak.
"Hah, gimana-gimana?"
Bunda berdecak, "Semua udah dipesan sama Bu Indah. bulan depan udah tinggal lamaran tapi tiba-tiba Elsa batalin." Ucap Bunda, "Kamu tau kan semenjak kamu pindah, Regi itu dipaksa sering-sering ke rumah untuk renovasi kamarnya agar Elsa lebih leluasa. Eh, tapi malah Elsa memutuskan sepihak."
Aku masih berdeham, berusaha agar kue yang tersangkut di tenggorokanku cepat turun tapi tetap saja rasa sakit tidak berkurang.
"Terus gimana?"
Bunda mengangkat kedua bahunya, "Regi juga udah 3 hari nggak pulang. Habis kasih kabar Elsa batalin pernikahan udah Regi nggak pernah ke rumah lagi. Tiap Bu Indah coba telpon selalu sibuk."
"Elsanya?"
"Nggak berani angkat telpon Bu Indah."
Bunda masih berdecak dan beberapa kali mengusap dadanya, "Bunda nggak tega sama Bu Indah dan Regi." Ucap Bunda lagi, "Untung aja undangan dan souvenir belum dicetak sama Bu Indah."
Aku mengangguk, "Aku juga nggak ngerti harus komentar apa, Bun."
*
Hari ini aku mampir ke rumah, Bunda bilang Bu Indah memintaku untuk pulang karena ada hal penting yang akan dibicarakan olehnya.
Ketika aku sampai di rumah, aku melihat mobil Regi juga ada di sana. Mungkin suasana sudah kembali normal. Kemarin Regi dan Elsa hanya bertengkar biasa dan sekarang sudah kembalikan?
Aku masuk ke dalam rumah melihat Regi, Bunda, Bu Indah dan Pak Buana sedang duduk dengan wajah tegang. Yang aku heran, Bunda ngapain disitu?
"Inara sudah sampai?" tanya Bu Indah, "Sini duduk."
Aku duduk di sebelah Bunda menatapnya dengan heran seakan berharap Bunda mengerti arti dari tatapanku.
"Regi nggak jadi menikah, Ra."
Aku hanya melihat Regi yang duduk dengan tenang di hadapanku. Aku mengangguk memberi jawaban aku sudah mengetahuinya.
Bu Indah mengambil napas dan menghembuskan kencang, "Semua kerabat sudah Ibu kasih kabar dan mereka udah siap-siap untuk pernikahan Regi. Sekarang harus batal, Ibu udah nggak tau mau dimana lagi muka Ibu harus di pajang." Ucap Ibu Indah, "Kemarin-kemarin, Ibu sudah tanya yakin mau menikah, Regi jawab yakin. Sekarang sampai batal begini siapa yang repot? Ibukan?"
Aku hanya diam mendengarkan, terkadang jika kita marah dan melampiaskan bukan jawaban yang ingin kita dengar. Kita hanya butuh orang mendengarkan dan disinilah aku mendengarkan Bu Indah yang melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya.
"Ibu bukan sekali atau dua kali tanya tentang keyakinan sama Elsa, Regi selalu jawab iya iya Cuma iya. Lihat sekarang siapa yang repot?"
"Ma. Sudah, Regi juga banyak pikiran." Jawab Pak Buana.
Bu Indah berdecak, "Pikiran yang dibikin sendiri sama dia, Pa. Coba sekarang Mama harus ngapain?"
"Yaudah, tinggal umumin kalau acaranya ditunda."
Bu indah berdecak, "Kamu jangan belain anak terus. Regi harus belajar tanggung jawab."
"Terus Regi harus gimana, Ma?" jawab Pak Buana lagi, "Kejar Elsa?"
Bu Indah berdecak, "Papa pikir habis begini, Elsa masih Mama restui jadi menantu?" ucap Bu Indah, "Inara kamu mau nikah sama Regi nggak?"
Aku membulatkan mataku, begitu juga dengan Regi yang melihat ke arahku datar tanpa ekspresi.
"Udah Regi nikah sama Inara aja atau nggak udah Inara sama Raka aja." Ucap Bu Indah.
"Nggak bisa gitu dong, Ma. Kamu kaya ngelemparin semuanya ke Inara."
"Papa lupa kalau Rudi udah berpesan kalau Inara bakal nikah dengan salah satu anak kita? Kamu ingatkan, Yu? Ucapan Rudi di rumah sakit sebelum meninggal." Cecar Bu Indah, "Jawab, Yu. Kamu mau Inara nikah dengan Regi atau dengan Raka."
Aku melihat Bunda hanya diam seakan semua ucapan Bu Indah benar.
"Oh, Aku ingat Rudi berpesan kalau Inara sama Regi aja."
"Ma, kamu harus tanya anak-anak setuju atau nggak. Rudi ngomong itu karena dia takut Inara menikah dengan orang yang salah. Kamu tanya Regi juga mau apa nggak."
Bu Indah melihat ke arah Regi, "Terakhir dia mau menikah dengan pilihannya terus salah, Pa. Lebih baik kali ini dia nurut karena Cuma ini cara dia menyelesaikan masalah yang dia buat." Ucap Bu Indah bangkit berdiri disusul Pak Buana yang mengejar Bu Indah ke kamar.
Meninggalkan kami bertiga yang hanya diam mematung di ruang tamu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cherry On The Cake
RomanceMenjadi dokter hanya sebuah angan-angan bagi Inara. Tapi ternyata keinginannya tercapai berkat keluarga Admaja. Keluarga Admaja yang baik hati pada keluarganya yang membuat Inara sendiri bingung harus membalas keluarga Admaja seperti apa. Ditambah...