Raksasa Kerdil

36 0 0
                                        

Ia tak menggubris ocehan Kendit yang berbau formal itu. Ocehannya seperti kentut yang keluar buru-buru. Mengeluarkan aroma sebusuk mayat, yang telah dikebiri hak-haknya. Lalu terkubur sia-sia bersama bakat yang tak pernah ditemukan oleh pemandu bakat sehebat apapun. 

Pria berwajah merah menenggak sari buah lontar dari gelas bambu hitam. Jakunnya naik turun. Nafasnya tertahan sejenak. Lalu ia menghembuskan nafas. "Ah..." terasa betul ia menikmatinya. 

"Minuman ini bisa menjauhkan kamu dari impotensi, dan jumlah sperma kamu makin banyak. camkan itu baik-baik, kelak kalau sudah menikah, banyak-banyaklah minum legen," ucap pria berwajah merah. 

"Kau tak mau Dit," tawarnya. 

"Itu sudah lewat satu minggu guru, tak baik untuk kesehatan."

"Maaf, aku sudah lupa hari."  kali ini ia mendengarkan. 

Pria berwajah merah tiba-tiba menatapnya tajam. Kendit berusaha latah, ditatapnya orang yang telah mengejakan huruf perhuruf agar menimbulkan bunyi kata-kata. Ia juga yang telah membangkitkan mimpi-mimpi besar, cita-cita, juga menceritkan kisah-kisah abadi. Seragam yang dulu ia pakai, berganti dengan pakaian sederhana. Tak lagi terselip pena di saku bajunya. Yang ada sekarang wajah merah yang menggusarkan. 

"Maaf," ucap pria berwajah merah. 

Kendit menghapus air mata yang turun tiba-tiba, menyeka dengan jempolnya. Mungkin terlalu lama beradu pandang dengan gurunya sendiri. Lelaki yang memilih jalan lain. Sebuah jalan terlalu terjal, tak biasa, dikecam, bahkan dituduh tak bertuhan. 

"Kendit waktu istirahat sudah habis, nanti kau dicari Touke," ucap pria berwajah merah. Melihat satu-satunya murid yang mau berbicara dengannya. Ratusan murid telah ia ajar, tetapi selalu buang muka ketika berpapasan di jalan, pasar, terminal, puskesmas, bahkan di sekolah. Tempat yang dimuliakan.

Belasan tahun silam pria berwajah merah menjelma raksasa yang ditakuti. Kepalanya besar, wajahnya tak presisi, kulitny kasar, hidungnya besar, telinganya panjang, dan menimbulkan kegaduhan setiap ia jalan menelusuri lorong-lorong kelas.

"Bapak perlu istirahat sejenak," kata Kendit. Orang-orang sudah mulia mendiktenya dengan  suara-suara sumbang, menyakitkan, merendahkan dan berbagai gunjingan yang menohok.

"Tak usah," ucapnya. "Ketahuilah, kita tidak selalu baik di cerita orang lain, seperti penulis yang yang bermaksud mengucapkan JALAN, pembacanya menafsirkannya GURUN. aku tak bisa menghentikan semua lidah itu, tatapan itu, dan tentu saja ucapan itu." tambahnya.

Kendit tak menjawab sepatah kata. Ia sakit, tapi bukan badannya yang sakit. Nuraninya telah dipenuhi berbagai kilatan pedang dan sayatan sembilu.

Ia menatap wajah yang dulu dirindukan, sederhana, tetapi menggema. Raksasa yang kalem, tuturnya menyentuh, dan jalannya tak membuat bising seisi ruang kelas. Kini pria berwajah merah menyusut, akalnya juga kesehatannya. Ia tampak kurus dan mengecil. Bahkan orang-orangnya mulai memakinya dengan Raksasa Kerdil.

"Kau tak perlu bersedih. Aku punya cara hidupku sendiri, kamu juga. Kita sama-sama hidup dengan cara masing-masing," ucap pria berwajah merah.

Kendit menatapnya pilu. Ia harus menyaksikan orang yang dicintainya telah dikucilkan hingga makin mengecil. Rumah yang dirintis dengan segenap jiwa kini menolaknya, bahkan sampai bau tubuhnya.

Ia masuk kedalam gua, sebagai rumah baru yang tak pernah menolaknya. Ia tak peduli dengan keangkeran dan mistis. Hewan-hewan buas mungkin jadi teman setianya. 

Kendit pulang. Kakinya kuat melangkah. Pikirannya melayang. Panas matahari yang menyengat, tak juga melepuhkan.  Ia ingin merebahkan sejenak bersama segala yang keropos, tak bertulang, juga meluruskan prasangka-prasangaka. 

SEMUSIM TELAH BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang