Wajah Merah

41 3 0
                                    

Kendit mengelap keringat yang membanjiri mukanya. Handuk kecil hijau berubah warna, deterjen telah mengurainya pelan-pelan.

Tanco yang dioleskan pada rambutnya ada yang berhasil lolos hingga bergelantungan pada ujung rambut.

Ia memperhatikan Tauke yang berkali-kali membetulkan kacamata yang berkali-kali lolos dari hidungnya yang tampak licin.

Ini waktu istirahat yang paling ditunggu. Tauke itu sudah berulangkali menenggak es limun yang dipesannya dari pedagang depan tokonya.

Sebentar senyap, sebentar tegang. Bunyi musik mencekam itu pelan-pelan mendekati mereka.

"Mereka telah kembali, berapa banyak pengikut mereka," Guman Tauke.

"Tidak tahu bos." Jawab Kendit.

"Sekolompok orang telah memenggal nurani di sepanjang Jalan."

Jalanan tampak ramai, orang-orang bernyanyi-nyanyi seperti lelucon kesiangan. Orang tak lagi malu untuk menyemprot sana menyemprot sini. Tangannya mengacung-acungkan ke langit. Atau mungkin menantang langit. Seberapa pantaskah dia.

Kendit menatap kerumunan itu sekilas. Nampak matanya membelalak, ia menubruk sebongkah wajah yang ia kenal saat masih mengeja huruf di bangku sekolah. Wajahnya tampak merah. Atau karena ia sering meminum darah, padahal marus atau apapun itu tak baik, bahkan di jauhkan sejauh-jauhnya. Haram.

Mungkin hanya riasan yang membuatnya tampak semerah saga, atau jiwanya telah karam oleh darah. Atau betul-betul menenggelamkan diri pada lautan merah, meski hanya semata kaki. Walau hidungnya tak mau berbohong, ia telah mencium bubuk mesiu seharian. Bersama dengan genangan merah, atau ia tak sengaja merias wajahnya, hingga tampak semerah darah.

Kendit mengolah sendiri informasi yang masuk barusan. Barisan orang-orang di jalan raya itu mulai menghilang, suaranya hanya sayup-sayup saja. 

SEMUSIM TELAH BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang