Suasana Jembatan

28 2 0
                                        

Sambil mengunyah permen tape, kendit menuntut sepeda jengki warisan ayahnya. Jalanan menurun yang telah ia hafal sejak kecil menguntungkan baginya. Anak tangganya telah menempel pada batang otaknya. Tak perlu lagi ia meraba satu persatu. Toh tak ada pelita yang terpasang di tepi jalan. Cahaya senter sudah cukup untuk meneranginya, meski tak begitu terang.

Ia lepas sendal jepit yang seminggu lalu di belinya dari warung tetangga. Kalau dipakai bunyinya seperti tumpukan kertas kering, basah, lalu kering lagi. Seperti bunyi orang ditampar. Plak-plak. Kalau musim hujan, ia mampu mengambil air dari ujungnya, mengotori ujung celana. Ujung jemari kakinya mencengkram kuat-kuat jembatan bambu yang tersusun mengerikan. Sementara sepeda jengkinya tak mau di tinggal begitu saja.

Kendit melangkah hati-hati meski ia telah lama lulus ujian meniti jembatan. Meski ia pandai berenang tak juga jumawa, bersiul-siul menantang penghuni air. Siapa tahu ada buaya yang terdampar, sedang mengintai dirinya yang mirip musuh bebuyutannya. Kancil, si licik.

Ekosistem air yang telah berkali-kali dikhianati oleh tangan berbau tahu menjadi tampak muram. Ikan-ikan tak mau singgah, mabok, atau bermigrasi mencari sumber sungai yang lebih cocok baginya. Air sungai yang diperkosa tiap hari oleh lelehan dan cairan dari ampas tahu dan tempe membuatnya tak lagi sedap di mata. Atau mereka tak tahu cara mengolah limbah tahu secara "aman", karena mereka terlatih mengamankan tiap hari, hanya untuk memperpanjang perut, menambah perabotan, dan mendirikan tembok-tembok yang keras lagi licin.

Penghuni bambu juga segan untuk sekedar mencicipi sungai yang telah cacat. Mungkin hantupun ikut pindah mencari tempat yang manusianya bisa ditakut-takuti. Karena mereka tak lagi takut pada hantu-hantu yang mendiami pohon bambu. Mereka penduduk pinggir sungai lebih takut pada perut merak yang tak terisi, jemari tak berhias emas, dan masa depan yang sulit tergambarkan.

Kendit berhenti di ujung jembatan. Merogoh saku depan dan mengambil permen tape yang ketiga. Ada sisa permen tape yang ingin ia berikan kepada kedua adiknya. Kasa dan Kisi. Mereka tak lagi anak-anak, tetapi mereka tetap menunggu barang yang dibawa oleh kakaknya.

Ia merindukan lantai tanah rumahnya yang mengeras, kamar yang berhembus angin dari celah-celah berdinding bambu, dan asap dari pawon sekaligus pemanas di pagi hari. 

SEMUSIM TELAH BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang