TOUKE

22 0 0
                                    


Lelaki itu menatap barang rongsokan yang telah lama terbengkalai, tepatnya ia tinggalkan sejak lama. Mungkin waktu yang akan membersihkan barang-barang itu hingga menghilang ketika mata terbuka di pagi hari. Ia menghela nafas panjang. Tapi, rasanya tak mungkin. 

Ia terpaku cukup lama hingga kedatangan orang lain tak bisa mengusik jiwanya yang sedang melalang buana, memasuki dimensi lain. Sebuah ingatan yang sulit terhapuskan. Hanya beralih dari permulaan lalu kembali kepada akhir yang menguras air mata. 

Teriakan-teriakan itu masih terdengar jelas. Tatapannya masih tercetak betul dalam ingatan. Lenguhan dan sekarat kerap mampir pada saat hening malam. Ia coba mengubah auranya, tetapi yang terjadi kemudian ia terjebak terlalu dalam. 

"Ayah tolong...?" suara itu melolong, membangkitkan luka yang terkubur dalam dan memaksa untuk dikembalikan secara sukararela. 

"Papa Lari!, kau harus melanjutkan perjuangan." Kata-kata istrinya masih saja mampir jika rindu kian memuncak. Bukan pada birahi, tetapi pelukan hangat yang menguatkan. Untuk bergerak pada episode berikutnya. 

Huru hara adalah perang kecil yang dibuat untuk menguntungkan dan harus ada yang dirugikan. Mereka sekolompok orang yang membuang segala bentuk moral dan menggantinya dengan moral baru agar selamat, aman, dan berjaya. 

Ingatannya lompat dan kabur semakin liar. 

Saat istri dan anak gadisnya keluar dari pasar, sekelompok masa menuding-nuding tak sopan dan menghalau apa saja yang memuaskan rasa laparnya. Mereka beringas hanya untuk sekardus Mie instan atau karung-karung beras. Mereka yang berparas dan berkulit serba hitam mengacungkan kemarahan tanpa mengurung rasa kemanusiaan. 

Pasar dan pertokoan mencekam. Mereka jadi sasaran empuk bagi mata yang lapar dan perut yang keroncongan. Korban-korban mulai bergulingan di tanah dan tanah dibuat semerah buah naga. 

Mata Touke nanar melihat kedua orang yang dicintainya menjadi korban kebencian yang tersulut secara mendadak. Ia bisa saja menolong tapi suasana terlalu mencekam. Ia kerap berhenti sejenak untuk menghalau kekerdilannya di masa silam. 

Istrinya menggeleng gelengkan kepala. Sementara anak gadisnya menjadi "mainan" tangan-tangan tak bermoral. 

"Ayah tolong..." telinganya memanas, begitu juga matanya. 

"Lari papi, lari!" suara istrinya makin parau. 

Ia bersembunyi di balik mobil Carry warna biru. Kepalanya mulai dingin. Lemparan batu yang mengenai kaca mobilnya ikut melukai keningnya. 

Touke lari tunggang langgang menghindari pemangsa yang lebih buas dari binatang. Ia sesekali menengok kebelakang untuk memastikan sesuatu. Rupanya warna merah di mana-mana, sebuah pemandangan yang mengerikan. Baju Istri dan anaknya juga berubah semerah buah naga. Kantong berisi belanjaan berhamburan centang perenang. Mayat-mayat mulai bergelimpangan seperti dedaunan. 

Matanya tak kuat menatap. Sebuah suara datang memotong. Ia seperti mengkonfirmasi sesuatu. Bukan keluar dari leher istri dan anaknya, tetapi dari arah lain yang membuatnya terjaga. 

"Bos!" panggil Kendit. "Anda baik-baik saja"

"Kapan kau datang," Tanya touke. 

"Dua puluh tiga menit yang lalu," jawab kendit. 

"Siang ini kau ke rumah Linda ya, pesananku sudah ada." 

Kendit mengambil sepeda jengki dan mulai mengayuh menuju sebuah rumah yang di diami oleh gadis bertama sipit itu. Ia seperti magnet yang menarik-narik. Memancar dan menimbulkan ketenangan. 

Pagi ini, Kendit seperti menemukan tujuan.  

SEMUSIM TELAH BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang