Para penjual yang terlihat semangat menantang matahari, kini terangguk-angguk dalam selimut-selimut fantasi. Ada yang menggulungkan diri menjadi sebuah bola, melindungi diri dari pemangsa yang miskin welas asih. Memeluk kelembaban dengan atap kemurahan hati pemilik toko yang mengizinkan mereka membuat lelelahan air liur yang meliuk-liuk pada sudut bibir yang merindukan ayam goreng, telor balado, atau sate kambing muda pinggir jalan.
Yang lain mungkin sibuk mencari cara agar memperoleh tape sebanyak mungkin untuk mengelabui mata telanjang yang tidak awas, mereka sekelompok pengemis yang tetap gagah dibalik baju dan aksesoris yang kumal.
Ayam jantan enggan berkokok, mungkin tak ada ruang untuk sekedar buang hajat. Atau telinga-telinga sudah kehilangan kepekaan mengenali gelombang-gelombang. Ia mungkin melihat sekelompok orang berseragam sibuk dan tergesa-gesa melakukan kegiatan yang ganjil menjelang fajar, tetapi kawan, fajar masih tak mau cepat-cepat mengintip. Mungkin menutup mata dari tindak kesenonohan para otak yang mentalnya sedikit mengalami kegoncangan.
Jalan-jalan bagus itu terlalu sunyi untuk para pejalan kaki yang ingin membeli barang belanjaan di pasar gelap sana, matahari saja masih meringkuk. Pada sudut yang lain tampak wajah yang damai tak tersentuh beringas dan niat jahat, mereka kaum yang merindukan kesempatan memperbaiki ekonomi keluarganya, tanpa harus melacurkan apapun.
Tidak untuk jalan besar dengan rumah-rumah mentereng, diapit oleh kemewahan pada tiap sudutnya. Sebentar lagi akan ada genangan kesedihan yang memerahkan wajah siapa saja. Teriakan dan tangisan adalah detik terpanjang untuk mencoba melupakan dan memaafkan atas semua kengerian yang entah siapa yang memberi perintah.
Seekor kucing lari terbirit-terbirit. Ia berhenti dan melihat kendaraan tempur berhenti, tetapi ia agak shock melihat para kumpulan orang berseragam dengan wajah-wajah dingin, sebagian beringas, sebagian lagi tak tahu apa yang sedang dikerjakan.
Kucing itu sampai berak padahal ia belum sempat mengais-ngais tanah. Ia tak sempat mencakar-cakar tanah yang gembur, karena tak ada tanah sejengkalpun yang bisa ia gunakan untuk buang hajat.
Dengan terpaksa ia berhenti dan mulai mematung. Sementara kumpulan orang berseragam itu mulai mengatur siasatnya mengepung rumah orang yang seharusnya dilindungi, atau paling tidak dihormati. Tak perlu bentak membentak, dan dorong mendorong.
Lima puluh lima menit akhirnya kucing itu pergi dengan tubuhnya yang gontai menatap tuannya sekarang tak berdaya dan menghiba saja tak bisa. Ia menyaksikan tubuh tuannya yang tiap hari memberinya makan, dilempar seperti remah-remah roti kedalam kendaraan tempur yang tak bisa menolak.
Ia ingin mengabarkan pada Tuan yang lain, tetapi ia harus menyelinap dan mengelabui agar bisa bersembunyi di balik tumpukan barang. Ia teringat jaraknya tidak seperti ketika ia melompat dari pagar satu ke pagar yang lainnya. 358,8 km bukan jarak pendek bisa ditempuh dalam sekali hentakan. Jarak itu tentunya memerlukan keringat dan kebesaran hati.
Firasatnya agak tumpul, tetapi ia berharap Tuan-Tuan yang lain tidak menjadi reruntuhan seperti majikannya. Ia berharap Tuan-Tuan gagah yang sering main ke rumah majikannya bisa melindungi keluarga sang majikan. Kalau tidak selamat, ada banyak luka yang terus menyibukan tukan jahit, mereka kewalahan merajut dan menyulam benang di atas lelehan kecemasan. Sedikit sekali ruang untuk kedamaian.
Rumah sang majikan kini riuh rendah oleh pekik dan teriakan. Sedikit mata yang ingin menolong, tetapi mereka takut akan bau mesiu, sesudahnya bau kematian merenggut orang terdekat atas keberaniannya. Mereka bersembunyi untuk menyembunyikan keberanian yang tertahan oleh organisasi yang berlapis-lapis itu.
Ketika fajar mengurai gelap. Ada banyak tangis dan sedu sedan. Banjir air mata yang terus memenuhi setiap ruang. Mungkin saling curiga menjadi salah satu bentuk pertahanan yang mudah rapuh, tapi ampuh.
Malam yang kelam untuk Tuan yang bersimbah merah membuat sang kucing tak pernah lagi singgah di rumah Tuannya. Ada banyak kebahagian di sana, hingga setitik malam kelam itu telah membunuh kenangan indahnya.
Ia perlu mencari majikan yang baru, sekedar untuk bernaung dari kebimbangan yang tiba-tiba saja menyergap pada tiap penghujung malam.
Ia menoleh sambil menjilat bulu-bulunya. "Ini baru permulaan yang panjang dan tak berkesudahan," ungkapnya, jika ia bisa mengungkapkan.
Ia pergi, kakinya gontai, dan lidahnya terasa asam.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMUSIM TELAH BERLALU
RomanceMari sejenak duduk bersandar pada waktu untuk menikmati sebuah kisah demi kisah. Kendit Polang merasa seluruh saraf-sarafnya bergetar, jantungnya berdegup lebih kencang, Linda gadis Tionghoa yang telah menyebabkan kehidupannya lebih berwarna. Ada l...