Pak Marta mencuci tangannya setelah menguburkan jenazah sahabatnya. Kematian terasa mengguncang relung hatinya. Ia, yang tadi malam masih membawakan kopi dalam teko yang membara, ketika meronda bersama. Nyatanya ia harus berjumpa dengan gelap serta berbantalkan tanah. Ia juga harus menyiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaan dari sang Munkar sebagai penanya yang tak mau jawabannya meleset.
Upas yang ditebarkan oleh tangan-tangan mulus yang gemar mengelabui lawan-lawannya. Mungkin kejahatannya menjadi daya tarik yang membuatnya terus bergairah sepanjang waktu, tanpa membunuh sang pemberi upas akan kelelahan dan terganggu akalnya.
Dua kali dua puluh empat jam mengintai mangsa. Pak Marta harus berjuang melawan upas yang telah menewaskan sahabatnya. Wajahnya merah darah, nafasnya berat seperti terhimpit, tubuhnya lemas, lunglai seperti tisu basah. Darah pekat hitam menyembur dari mulutnya. Organ-organ tubuhnya tak kuasa melawan upas yang diracik dengan ramuan kedengkian mendalam. Mungkin.
Ia sekarang terbujur kaku, berselimut kafan dan tak ingin menjawab barang sepatah kata. Jari jemarinya tak mau bergerak. Ia melihat orang-orang yang disayanginya. Istrinya, dan ketiga anaknya.
Ia merasakan tubuhnya berpindah tempat, dari amben ke keranda besi yang berbau karat. sebentar lagi berjumpa gelap, Sang Penanya, Munkar.
Selamat tinggal dunia. Ayah berucap dalam bisu, terkunci mulutnya. Gundukan tanah mulai membuatnya gelap. Tiba-tiba ia merasakan semua indranya bereaksi dengan sempurna.
Biarlah, semoga kalian baik-baik saja. Kendit?, titip Ibu dan jaga kedua adikmu.
Waktu berlalu begitu cepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMUSIM TELAH BERLALU
RomantizmMari sejenak duduk bersandar pada waktu untuk menikmati sebuah kisah demi kisah. Kendit Polang merasa seluruh saraf-sarafnya bergetar, jantungnya berdegup lebih kencang, Linda gadis Tionghoa yang telah menyebabkan kehidupannya lebih berwarna. Ada l...