Linda

25 1 0
                                    

Touke mengajak Kendit keluar. "Ini malam minggu kau harus menghirup udara segar," begitu  katanya. Ia tentu punya alasan. Semua orang punya alasan. Kadang melakukan sesuatu juga tanpa alasan. Semua hal bisa terjadi. Meski tanpa alasan. 

Kendit memegang erat besi pegangan yang berada di bawah sadel. Udara malam mengelus rambutnya yang berombak. Touke mengayuh sepedanya di jalan raya yang dipenuhi lampion-lampion aneka warna.  orang-orang berpakaian bagus berjalan kaki menuju satu titik secara bersamaan. 

"Kemana kita Bos." 

"Pasar Malam, di sana tidak hanya kemeriahan yang akan kau temukan, tapi juga rindu yang bisa kau temukan."

Sepeda Onta berhenti. Mereka berdua berjalan beriringan. orang-orang mungkin menyangkanya sebagai anak dan ayah. Mereka berjalan menembus kerumunan orang-orang yang hilir mudik mencari barang yang ingin dibeli. 

Mereka sampai pada kedai yang ramai dipenuhi gelak tawa dan berdenting minuman yang ditenggak secara bersamaan. Cahaya Petromak menerangi kedai malam itu. 

"Selamat datang, lama tidak berjumpa." 

"Kau tampak gemuk sekarang." kata Touke. 

"Berkat kau, aku bisa seperti ini." 

"Jangan ungkit-ungkit terus, tak baik." Jawab Touke. 

"Linda?" kata bapak itu. Ia melambaikan tangan. 

Seorang gadis berbaju merah datang menghampiri meja kami. Ia menghidangkan minuman dengan jari jemarinya yang tampak terawat. Bosnya sendiri sudah menenggak minuman sebelum berdiri di atas meja. 

Gadis itu  berdehem untuk mempersilahkan Kendit mengambil minumannya. Kendit menoleh kearahnya. Mata mereka saling berpandangan, dan Kendit tampak kikuk dibuatnya. Mata sipitnya telah membuat Kendit kalang kabut. Ia tetap berdiri di depan Kendit, dan tersenyum ke arahnya. 

"Maaf nona aku tak minum." 

"Oh ya Linda, aku baru ingat kalau Kendit tidak minum," kata Touke. 

"Maaf Paman, aku tidak tahu. Segera ku bawakan minuman yang lain." 

"Kau mau minum apa." 

"Kopi." 

"Anakmu rupanya sudah besar. Ia cantik seperti ibunya" Kata Touke.  

" Ya, sayang ibunya cepat sekali meninggalkan kita."  

Selanjutnya yang Kendit  dengar dari mereka berdua adalah bahasa yang seringkali digunakan oleh Touke. Sesekali mereka menatap Kendit dalam beberapa detik. Lalu mereka melanjutkan pembicaraan yang terputus-putus. Baru kali ini Kendit melihat sang Touke menghapus air mata beberapa kali. Termasuk bapak itu, kemudian mereka bersulang lagi dan suasana berganti dengan cepat. 

Gadis yang dipanggil Linda oleh bapak itu muncul lagi dari dalam pintu yang gelap. Ada tirai yang tampak berkilaun dari pintu itu. 

"Ini Kopinya," kata gadis itu. 

"Terimakasih." Jawab Kendit. 

"Rokok?" tanya gadis itu lagi. 

"Maaf, itu juga tidak?" 

"Hei Linda, bawakan saja semangkok bakso, pasti ia tak bisa menolak." kata Touke. 

Pulang dari Pasar Malam, udara makin dingin. Kendit ganti mengayuh sepeda. Bosnya duduk dibelakang sambil terus bercerita. Sambil sesekali tertawa sedih. Kendit tak tahu harus menyimpulkan seperti apa. Karena Ia sedang menertibkan jantungnya sendiri, yang sedari tadi berdebar-debar. Seperti ada yang memompa secara sembunyi. Ia tak tahu kenapa berdenyut lebih kencang. Perasaan yang telah lama terkubur, kini kembali muncul. 


SEMUSIM TELAH BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang