Ajakan Malam Minggu

21 0 0
                                        

Kendit mengetuk pintu rumah. Tak ada suara. Ia pun duduk di teras, matanya menatap pohon kedondong yang lebat buahnya. Buah yang tampak mulus di luar, tapi penuh akar dan menyebalkan.

Kendit berdiri dan kembali pintu itu di ketuk. Pintu tua itu beraroma herbal. Tak ada bebunyian di dalam rumah itu. Kendit kembali duduk. Ini sudah ketukan yang kedua. Ia menatap krokotan yang berbaris rapi membentuk benteng rendah.

Ketukan yang ketiga kendit mulai bimbang. Menunggu bukan pekerjaan mudah. Bebungaan yang tumbuh di depan rumah Linda, mulai meledeknya. Beberapa dari mereka mulai mengganggunya. Kendit beringsut dari tempat duduknya, bunga anyelir itu mulai tak menyukainya.

Dari ujung jalan muncul gadis dengan rambut terurai hitam mengkilat. Gadis itu semakin dekat, Kendit berdiri. Wajahnya sulit untuk dilupakan. Meski malam itu, ia hanya sekilas melihat.

Bunga Anyelir di depannya tak lagi menganggu. Ia merunduk tampak malu-malu.

"Kau sudah lama menunggu," tanya Linda.

"Hanya sepuluh kali mengunyah makanan," jawab Kendit.

"Masuk yuk?" ajak Linda.

"Di luar saja, aku hanya mengambil pesanan bosku."

"Oh, sebentar ya?"

Gadis itu masuk rumah. Lima menit kemudian ia membawa bungkusan diselimuti kain.

"Malam minggu kau ada acara."

"Nggak."

"Nonton opera yuk."

"Ketemu di mana?"

"Jemput aku di rumah ya?"

Kendit tersenyum dan mulai mengayuh sepedanya.

"Hei kita belum kenalan resmi!" teriaknya.

"Panggil aku Kendit saja!" 

***

Setelah menonton opera, mereka berdua makan di sebuah kedai makan.  Waktu sudah cukup larut. Linda memesan dua buah bapao isi ayam. Dua orang laki-laki terus saja mengawasi, entah apa maunya. Linda tak begitu menyadarinya atau pura-pura tak menghiraukan. Ia terus mengunyah bapau sambil sesekali menatap kendit. Keringat muncul dari balik keningnya. Padahal malam ini terasa dingin. 

Ia seperti membaca pikiran Kendit Polang. Dimintanya seorang penjaga kedai untuk membungkus saja bapou milik Kendit. 

Ketika Kendit menoleh ke arah meja yang menggelisahkan. Kali ini berubah tiga orang, yang membuatnya terhenyak. Pria berwajah merah ada bersamanya. Ia sedang menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja sampai di atas meja. Ia tak menyadari Keberadaan kendit. 

Dua orang itu menghampiri meja Kendit. Ketika berdiri badan mereka terlihat lebih besar dari sebelumnya, seperti kambing yang keluar dari kandang. Keduanya memandang bringas kepada Linda. Jantungku berdenyut lebih kencang. 

"Kau Linda Han?" tanya salah satunya. 

"Kau sedang berdiri di hadapan orang yang tepat." 

"Ikut kami!" perintah salah satunya lagi. 

"Kalau tidak mau," tantang Linda. 

"Terpaksa dengan kekerasan." 

"Silahkan." 

Pria berwajah merah ikut bergabung. Matanya menangkap kasar pada Linda. Ketika matanya bertubrukan dengan Kendit. Ia terlihat gugup. 

"Sedang apa kau di sini Dit." 

"Menemani istri, kau keberatan?" 

"Tentu saja tidak, kapan kau menikah?" tanya pria berwajah merah. 

"Itu tidak penting, kami boleh pulang." 

Pria berwajah merah rahangnya mengeras. Tak menyangka orang yang akan di jadikan sasaran kejahatan adalah muridnya sendiri. Sementara kedua anak buahnya tak berkutik melihat bosnya sendiri tampak kikuk dan mematung. 

***

"Terimakasih kau sudah menolongku," ungkap Linda.

"Itu hanya naluri laki-laki, kau tak perlu berterima kasih." 

Keduanya berpisah sejenak. Kendit pulang setelah melihat Linda menutup pintunya. Setelah melambaikan tangan padanya. 

Malam semakin Larut. 

Menjelang tidur mereka berdua sama-sama menatap ruang dan waktu dengan cara yang berbeda. Tempat juga berbeda. Tapi mereka seperti punya lintasan yang sama.  Sebentar senyum sebentar resah. Kadang cinta memang tak bisa bicara, ia hanya bisa dirasa. Orang sudah terlanjur menganggap cinta itu buta, tapi bukan segala-galanya jadi buta. 



SEMUSIM TELAH BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang