Come Back Home

1.1K 100 21
                                    

“Kau dan Aku.”

“Kita tidak akan bisa bersama.”

“Selamat Tinggal.”

“Ingatlah. Tak aka nada satu hal pun yang berubah ketika kau kembali nanti.”


“Aku mencintaimu…”


Unrequited

Langit Seoul tak berubah sejak lima tahun ia meninggalkannya. Masih tetap sama. Warna biru bergabung dengan kepulan awan putih lembut yang indah. Tapi…tidakkah semua langit selalu terlihat sama dimanapun kau berada? Jadi di Seoul atau dimanapun, sekali langit tetaplah langit. Warna akan senatiasa biru sampai dunia ini berakhir.
Pesawat dari Amerika dengan nomor penerbangan A0112 itu telah mendarat di Bandara Incheon. Ketika pintu kedatangan terbuka, puluhan orang yang turun dari pesawat membludak keluar satu persatu, membawa koper masing-masing dengan berbagai macam gaya berbusana. Hampir kebanyakan dari mereka adalah orang Korea.

Kim Jongin mengerutkan kening ketika ia berdiri diantara antrian para penjemput. Berdiri paling depan sambil memicingkan matanya untuk melihat lebih fokus. Ditangannya, tertulis kertas lebar bernama ‘Park Sehun’ yang cukup besar, di junjung cukup tinggi agar siapapun bisa membacanya dengan jelas.

Lelaki berkulit Tan itu berdecak ketika kedua lengannya terasa pegal. Sudah hampir semua penumpang keluar dan orang yang ditunggunya sama sekali tidak kelihatan sekarang. Sudah hamper lima belas menit penuh Jongin tanpa membuhkan hasil. Semua penjemput pun sudah tidak ada disana.

“Apa yang dia lakukan? Lama sekali.” Gerutunya kemudian sambil menghimpit kertas itu di antara lengan dan tubuhnya. Ia memanjangkan kedua tangan, meregangkan sekenannya sambil menghela nafas.

Akhirnya Jongin berjalan ke sebuah tempat sampah. Dibuangnya kertas itu lalu meraih ponsel dari balik saku kemeja biru gelap yang dikenakannya. Ia menekan nomor seseorang dan menghubunginya. Sedang satu tangan kini mengendurkan dasi hitam yang melingkar di balik kerah kemeja putihnya.
TUUUUT ~ Nada itu terdengar panjang di seberang sana. Dan ~ CKLEK!
“Ya, Sehun!”
“Jongin?”

Jongin berjalan menghentak-hentakkan kaki sekarang. Tak peduli beberapa pasang kini memandangi lelaki tinggi berambut pirang itu dengan tatapan risih. Sesekali ia melirik tajam mereka, lalu mendengus sebal dan kembali berjalan dengan menghentakkan kaki.
“Dimana kau?” Kali ini suaranya lebih tenang dari sebelumnya setelah ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Sepertinya emosinya sedikit membaik kini.

Suara disebrang sana tak langsung menjawab. Lima detik berikutnya, Jongin mendengar lenguhan panjang disebrang telepon dan desahan nafas. Langkah pemuda itu sontak terhenti ketika ia nyaris mencapai pintu keluar bandara, dimana ditatapnya punggung seorang laki-laki berambut hitam yang berdiri mematung sendirian dengan tangan ditempelkan di telinganya.

“Jongin ada dimana? Aku sudah ada di depan bandara…” jawab suara itu akhirnya.

“Oke. Tunggu disana.” Jongin mengatakan itu dan langsung mematikan sambungan telepon mereka. Langkahnya terburu-buru ketika melewati pintu kaca otomatis dan kini ia berdiri tepat dibelakang pemuda yang sejak tadi ia perhatikan.
Tatapan mata Jongin datar. Banyak yang kini berkecemuk di benaknya hanya dengan menatap punggung kecil dihadapannya itu. Tapi Jongin tak tahu harus mengatakannya dari mana.
Haruskah ia mennyapa dengan gaya formal? Atau non-formal? Mengingat yang berdiri disini adalah putra dari tuan besar tempat ia bekerja menjadi seorang butler. Meski begitu, pemuda kecil ini juga sahabat baiknya sejak SMP dulu.
Pemuda itu mendengus pelan lalu bergumam, “Langit Seoul… tak pernah berubah. Meski sudah lima tahun aku meninggalkannya. Bukan begitu, Jongin?” Bisiknya pelan sambil menoleh kebelakang. Ia tersenyum lembut. Kedua obsidian berwarna senada dengan rambutnya berkilau indah. memantulkan warna langit malam. Membuat Jongin tenggelam didalam gelapnya langit malam.
Mata yang sudah lama tak Jongin lihat. Tapi Jongin jelas tahu ada yang berbeda dari tatapan teduh pemuda itu. Tatapannya tak setulus dulu. Meski senyum tipis muncul di bibirnya, matanya tak tersenyum. Matanya penuh dengan kekosongan. Tak ada emosi disana.
“Sehun… kau kelihatan sehat.” Senyum Jongin terkembang tipis. Senyum yang dipaksakan.
“Terima kasih. Jongin terlihat berbeda sekarang.” Pemuda itu kembali menatap kedepan. Saat ia tak memandangi Jongin, senyum yang ia pasang tadi mendadak sirna. Membuat wajah mungil penuh dengan kehampaan. Datar, tanpa emosi, tanpa perasaan apapun. Hanya menatap dingin langit biru yang terbentang dihadapannya.
Jongin menghela nafas. Ditariknya dua koper besar yang berada di kedua sisi pemuda yang ia panggil Sehun tadi. Jongin berjalan mendahuluinya kearah sebuah Mercy Hitam yang telah terparkir dimana seorang sopir telah membukakan pintu untuk Jongin. “ Ayo pulang, Sehun. Semuanya sudah menunggumu.”
Langkah pemuda tinggi itu terhenti. Ia menatap sang pemilik manik hitam yang masih berdiri dalam diam. Akhirnya Jongin melanjutkan, “Chanyeol juga menunggumu.” Kalimat yang sejak tadi mati-matian tak ingin Jongin ungkapkan kini keluar sudah.
Membuat pemuda tadi tersenyum lagi. Tetap saja senyum datar, tanpa emosi. “Dia masih mengingatku?” kalimat tanya retoris yang membuat Jongin ingin tertawa, jika saja yang mengatakannya menunjukkan ekspresi jenaka. Sayangnya wajah itu sama sekali tak menunjukkan kalau ia tenga bercanda.
Jadi Jongin tak mengatakan apapun. Ia hanya memasukkan dua koper itu di bagasi belakang dan menahan pintu ketika pemuda tadi sudah bergerak masuk kedalam mobil. Jongin menutup pintunya, berjalan tergesa-gesa ke sisi satunya lagi dan masuk ke dalam. Mobil itupun langsung melaju cepat meninggalkan halaman Bandara Incheon yang ramai.
Pulang ke rumah, ya…

UnrequitedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang