13.

314 81 455
                                        


Sudah beberapa tahun tidak bertemu, rasanya Biyla sangat merindukan keluarga kecilnya. Mulai dari dia yang suka usil dengan sang kakak, atau di hantam oleh bola keras di halaman depan dengan alasan untuk memperkuat keseimbangan Biyla. Tidak ada gelak tawa papa dan mama yang sedang bercanda gurau, juga tidak ada papa yang mengeluh karena banyak sekali pekerjaan yang sedang menumpuk.

Tangan Biyla mengusap lembut foto pada album di pangkuannya. Rasanya dia ingin sesegera mungkin bertemu dengan keluarganya. Tapi kapan, kapan hari itu terjadi?

"Biy, ayo pakai jaket kamu. Kita ke rumah sakit sekarang," kata mbak Tia secara tiba-tiba sambil melempar jaket Levis milik Biyla.

"Loh, ke rumah sakit? Siapa yang sakit, mbak sakit? Sakit apa?"

"Kamu yang sakit. Tadi kan kata pacar kamu, kamu ke UKS buat tiduran karena badan kamu panas."

Ada yang tidak beres. Maksud mbak Tia itu pacar yang mana ya? Biyla saja tidak punya pacar, jangankan pacar, dekat dengan laki-laki pun hanya Davino, Nino dan Rendy.

"Pacar siapa? Biyla nggak punya pacar, eh belum sih, belum punya pacar, mbak," kata Biyla sambil berjalan di belakang mbak Tia.

"Tadi yang nganterin kamu. Ayo masuk duluan." Mbak Tia mempersilakan Biyla masuk ke taksi yang dia pesan. Jadi Rendy yang di maksud pacar Biyla. Memang ya, memang orang Indonesia itu kayak gini, kita di antar ke rumah oleh cowok, pasti yang ada di fikiran orang tua dan tetangga, dia adalah pacar kita. Padahal kan belum tentu.

"Eh, itu namanya Rendy, mbak, dia temannya Davino. Ya agak akrab gitu sih sama Biyla. Dan, satu hal, Biyla nggak pacaran sama dia. Kebetulan tuh, Davino ada urusan jadi dia yang mengantarkan aku."

"Oh mbak kita pacar kamu, tapi kalau emang pacar nggak apa sih, soalnya kayaknya anaknya baik gitu, mana ganteng lagi, Biy."

Setengah jam berlalu, mbak Tia dan Biyla berjalan beriringan memasuki rumah sakit besar di kota Jakarta. Kaki Biyla bergetar saat melihat pasien-pasien yang keluar masuk ke rumah sakit, begitu mengerihkan. Biyla juga tidak suka bau obat di sana, membuat sekujur tubuhnya menjadi menegang.

"Rileks aja, cuma periksa, nggak bakalan di suntik," kata mbak Tia.

Biyla mengenggam kedua tangannya sendiri. "Gimana nggak was-was mbak, akutu takut banget di suntik. Sakit banget, lebih sakit dari patah hati."

Pengalaman Biyla waktu kecil adalah saat d bangku SD, hari dimana ada dokter yang ke sekolahan untuk menyuntik kami para siswa. Saat itu, Biyla masih tenang-tenang saja dan bersikap tidak akan ada hal yang menyeramkan. Hingga akhirnya saat di suntik, tidak sengaja dia menggerakkan lengannya yang menyebabkan darah mengalir.

Ah, sejak saat itu, suntik adalah phobia bagi Biyla. Di sekolah, di rumah atau di manapun, suntik akan tetap suntik, dan Biyla sangat takut dengan hal itu.

Mbak dia tertawa kecil. "Kamu memangnya bisa patah hati, sama siapa?"

Padahal hampir setiap hari Biyla patah hati, pada siapa lagi jika bukan karena Davino yang di dekati cewek, atau memiliki pasangan baru. Sangat menyakitkan, tapi selain pasrah, hal apa yang bisa di lakukan oleh Biyla. Oke, kembali ke topik.

Biyla jadi membayangkan ketika jarum lancip itu menusuk ke kulitnya, kata orang zaman dahulu mah seperti di gigit semut. Tapi bagi Biyla tidak, di suntik itu bagai di gigit kalajengking, hanya bedanya sesudah di gigit kalajengking rasanya kulit akan panas.
Dari zaman sd hingga sekarang, di suntik masih menjadi momok menyeramkan bagi Biyla.

"Ya, kayaknya sih gitu. Aku ngira-ngira aja kok."

"Biyla Amelia," nama Biyla di panggil oleh suster dari ruangan 204. Mbak Tia langsung menepuk pundak Biyla pelan, seperti menyalurkan kekuatan agar Biyla tidak takut untuk di periksa.

Sweet Friendship (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang