Septian mneggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia menguap lebar dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
"Pagi akhirat... Gausah ngetawain gue lo, iya tau ngajak malper nya gagal!" Septian sudah nyerocos pada sangkar burung yang ia gantung di luar jendela kamarnya. Kemarin saat Septian mengajak Luna untuk membuat bayi Septian malah di pelototi dua puluh empat jam full seperti pemeran hantu bernafas di dalam sempak, eh kubur.
Septian menopang dagu, mengamati pergerakan binatang peliharaan nya di balik sangkar, Septian menamai burung tersebut Janu, ya taulah ia berterimakasih pada Janu -kakak kelasnya dulu saat ia masih bocil- yang sudah mengajarinya banyak hal termasuk hal-hal berbau... Ehem, ia mengabdi penuh pada Bang Janu dan kawan-kawannya.
Brak!
Septian mengelus dada saat pintu terdobrak kencang, pelakunya siapa lagi kalau bukan Luna, gadis itu sudah siap memakai seragam putih abu-abu dengan rambut pendeknya di gerai, satu sisi tubuhnya terdapat sekrup yang dapat menopang berat tubuh dan langkah kakinya."Cepet sarapan."
"Gak romantis, cih! Masuk kamar misua itu yang halus, terus kasih morning kiss, terus di elus terus-"
"Bacot." Luna berbalik dan menyeret langkahnya. Apa-apaan, yang seharusnya memberi sikap romantis adalah jantan kenapa jadi betina.
"Dasar istri durhaka, gue kutuk jadi monas lo ya!" sumpah serapah Septian meluncur deras.
Septian menyambar handuk dan mandi sekitar dua puluh menit, ia bahkan sudah memakai seragamnya.Septian duduk di meja makan dengan cengo, di depannya tersaji piring dengan berisi nasi goreng yang tidak dapat di sebut nasi goreng. Lihat saja bahkan masakan Luna dapat di sebut sebagai kuah goreng karena kebanyakan minyak hingga nasi tersebut tenggelam oleh minyak goreng. Septian menatap ngeri nasi goreng buatan Luna, ia takut terkena kolesterol mendadak.
"Ini lo pake minyaknya berapa baskom?" tanya Septian sambil menyendok nasi goreng berlumur minyak. "Anjai, gue mending makan bakwan berminyak daripada makan ini, berasa minum bimoli satu kemasan, rip tenggorokan gue!"
Luna hanya diam menggigit roti tawar yang sudah ia olesi selai. Lalu tangannya menampik piring nasi goreng di depan Septian.
"Gausa di makan." Jawabnya datar sambil melemparkan satu lembar roti. "Gue tunggu lima menit."
Luna menaruh botol selai di sebelah roti tawar milik Septian dan segera berlalu, menyambar sekrup dan tas ranselnya, berjalan tertatih menuju halaman depan. Duduk di kursi teras dengan sudah payah, belum lagi kesulitannya teruji saat ia mencoba memakaikan kedua pasang kakinya kaos kaki dan sepatu.
Septian memasukkan satu buah roti beserta selai satu kunyahan dan masuk keperutnya, lalu segera memakai tas ransel dan bersiul menuju halaman depan. Ia melirik Luna yang berdecak beberapa kali saat tidak berhasil memakaikan sepatu di sebelah kakinya.
Entah ada gempa atau angin puting beliung apa Septian berjongkok di hadapan Luna, merebut sepatu Luna dan memakaikannya dengan hati-hati, ia takut Mamanya mengomel karena membuat Luna pingsan dan berpikir yang tidak-tidak, bisa di kutuk jadi gapura neraka ia.
Luna menahan nafas, untung saja kulit kakinya terbalut kaos kaki yang cukup tebal, ia tidak tahu kenapa setiap ada orang yang tak sengaja ataupun di sengaja menyentuh kulitnya tubuhnya akan bereaksi, seperti pusing dan mual.
Luna langsung menarik kakinya cepat dan menegakkan tubuhnya dengan sekrup, lalu menyusuri jalanan latar depan rumah yang berbatu.
"Gini nih bapaknya pas buat di campurin es serut ya gini! Beku akhlaknya." Decak Septian sambil membuntuti Luna. Di depan rumahnya sudah ada sopir pribadi khusus di perintahkan oleh Lia. "Halah, Mama itu cuma nakut-nakutin doang, kenyataan nya gue masih di anter sekolahnya." Ia tersenyum sombong hendak membuka pintu mobil namun urung karena sebuah suara.
"Maaf, den... Tapi atas perintah nyonya besar saya hanya boleh mengantarkan Nona Luna pergi ke sekolah."
Sontak hal itu membuat Septian misuh-misuh. "Berani lo?! Anj-"
"Maaf, den, ini perintah Nyonya Lia." Sang sopir menunduk gemetaran. Ia sudah masuk kedalam mobil. Sedangkan Luna membuka pintu mobil dan duduk dengan santai tanpa melirik Septian. Sedangkan Septian sudah melotot lebar selebar lapangan futsal, ia geram pada Luna, seharusnya lebih pengertian.
"Ooo asu, janc*k!" bahasa jawatimuran Septian ia keluarkan dengan satu tarikan nafas, bibirnya menceng kesana-kesini menggumam jimat untuk menyantet Pak Asep si sopir sialan dan Luna istrinya, kalau sudah tidak ada akhlak begini Septian tak mau mengakui Luna sebagai istri. "Udah gagal malper, gak di kasih jatah, malah selingkuh sama bapak sopir bau minyak tawon, asem!" gerutu Septian sambil berjalan berapi-api menuju halte bus.
Septian masih saja merapalkan jimat legend nya untuk memberikan santet pada mereka berdua.
"Gue doain di tengah jalan ban nya kecolok sama dupa!" Ia masih saja misuh-misuh di halte bus yang ramai. "Mama juga gitu, tidak berperikebetinaan, biarin anaknya turun martabak naik bus anjai, berasa anak nemu!" laki-laki itu merenungkan nasibnya yang dianak pungutkan setelah kehadiran Luna, Mama nya itu terlalu sayang si Menantu setelah Dinda dan Reno.
Tiba-tiba mobil melintas di depan nya, bukan-bukan mobil yang di tumpangi Luna, melainkan mobil milik Callio. Ilo sudah melongokkan kepalanya keluar jendela.
"Dah abis nih warisan nya? Lo lelang tuh warisan nya, yah kasian kere dong!" Ilo tersenyum mengejek. "Sini bareng Prince Ilo yang ganteng satu semesta, rajin menabung di kandang ayam- eh celengan ayam, dan pastinya baik ginjal anjai kok typo melulu, baik hati maksudnya, kui bang naik, gue mumpung ada voucher baik hati, besoknya gue bodoamat misalnya lo bener-bener jadi kere." Callio mengejek Septian tanpa adab, bahkan Cailla hanya memutar bola matanya malas, kedua hamba tuhan ini kalau sudah di satukan pasti seperti kucing tetangga yang demen gelut, gak selesai-selesai.
"Wooo, jiarann! Tak slepet ndasmu!" Septian melotot horor pada lelaki berseragam putih biru yang tengah bersandar si jendela.
(Wooo, kuda! Ku slepet pala kau!)Callio hanya menjulurkan lidahnya, lalu menutup jendela dan menjalankan mobilnya meninggalkan halte bus dengan Septian yang misuh-misuh again...
Tiba-tiba saat enak-enaknya misuh-misuh, ia merasa ada seseorang di dekatnya, benar saja, Luna sudah berdiri di sisinya dengan wajah datar.
"Lo- ngapain disini?! Bukannya udah nyampe ke alam kubur?"
"Nemenin lo."
"Ooh... Nenenin? Apa?"
"Ne.me.nim, goblok!"
"Ya biasa dong, ngegas, lo mau gue doain kuburan nya bau gas soalnya semasa hidup lo suka ngegas sama suami?!"
"Nyenyenye."
"Doa gue udah ke accept nih, awas lo mati terus kuburannya bau gas, gue siram pake air zam-zam!"
"Bacot."
*
Uwuu sekali sama pasangan absurd ini😍 yg nunggu MWKO siapa neh? Angkat akhlak ehh, angkat tangann, Rhie kasih butiran keringat Bang Ian😍😍 heyoo maap ya ga update lancar, sibuk hehe pastinya, utk BTOM kupengen update tapi gaada bahan,
kalean gatau susahnya cari ide :( nagih mulu kea rententir Rhie itu tersiksa gyus *eh curhat anjaiDahlah bicit, jan lupa vote+komen ya
Lafyuu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Ketua Osis
Teen Fiction[Atmadja series] "Jika lo kulkasnya mau dong jadi stop kontak nya..." Septian Wira Putra Atmadja bertemu dengan cewek yang memiliki fobia pada sentuhan atau di sebut dengan Haphephobia. Luna itu dingin dan tertutup, ia membenci keramaian, ia membenc...