Dia yang menyendiri

6 3 0
                                    

"ehm.. hai. Boleh duduk disini?" Mita menatap lawan bicaranya yang tak kunjung mengeluarkan suara.

"Alan, gue boleh duduk disini nggak?" Mita mengulang pertanyaannya. Ya, yang dia hadapi sekarang adalah lelaki bernama Alan. Siswa yang paling pendiam di kelas ini. Entah apa sebabnya, tak ada yang tau dengan pasti.

"Boleh" 1 kata yang keluar dari mulutnya. Tapi tak apa, menurut Mita. Ini lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan yang dia ulang sampai 2× tadi.

Mita duduk di kursi kosong yang berada tepat disamping Alan.

"Al, kalau gue boleh tau, kenapa Lo sering sendirian sih?" Spontan Alan menoleh ke arah Mita. Ekspresi Lelaki itu antara tidak suka dan kaget karena Mita langsung to the point tanpa basa-basi.

"Bukan urusan Lo" Mita tidak kaget dengan respon yang seperti itu. Dia hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Hmm.. ya gue tau itu bukan urusan gue" Mita memberi jeda sebentar di sela ucapannya. "Gue juga tipikal-- bukan, gue emang Introvert. Dulu gue suka banget menyendiri. Berteman dengan sepi. Bersahabat dengan hening. Hei, siapa bilang sendiri itu membosankan? Dengan menyendiri bukanya kita lebih bisa leluasa untuk berpikir apapun tanpa ada yang mengganggu? Bukannya dengan sendiri itu kita bisa jauh lebih tenang ketimbang dengan bersama-sama? Iyakan?" Hening. Hanya dersik angin yang berbisik.

Bel istirahat berbunyi 5 menit yang lalu. Wajar jika kelas menjelma seperti ruangan yang tidak pernah terjamah sama sekali pada saat-saat seperti ini.

Kelas yang sepi dan hanya menyisakan dua insan didalamnya sangat pas dengan 'tema' yang sedang dibicarakan Mita saat ini.

"Dalam zona orang-orang Introvert, sendiri itu menyenangkan. Tapi hidup ini soal waktu. Kita manusia. Makhluk sosial. Saling membutuhkan satu sama lain. Kalau kita terus menerus sendiri, apa kita bisa terus menjalani hidup ini? Engga kan?"

"Bisa" Alan menyangkal

"Oh iya? Gimana caranya? Kamu multitalent? Baju ini kamu yang buat? Bisa menjahitnya? Tas ini? Kamu yang produksi kah? Atau.. jam tangan ini. Kamu bisa rancang sendiri mensin² kecil rumit yang ada didalamnya?" Mita sengaja menunjuk-nunjuk barang-barang yang dikenakan Alan. Lelaki itu terdiam. Bungkam mendengar ucapan Mita.

"Gue suka menyendiri. Tapi gue sadar, nggak selamanya gue bisa, nggak selamanya gue nyaman sama sesuatu yang bernama "sendiri". Gue sadar, gue butuh bersosialisasi. Gue sadar saat gue tau betapa menyiksanya sesuatu yang sering orang sebut "sepi" " Mita menoleh ke kanan. Menatap Alan yang ternyata sedang menatapnya. Mita tersenyum. Tangannya terulur ke pundak Alan

"Al, Lo nggak boleh kaya gini terus. Udah gue bilang hidup ini soal waktu. Lo hidup bukan hanya untuk masa kini. Tapi juga masa depan. Kalau Lo stuck disini. Di zona nyaman Lo sebagai Introvert ini. Lo nggak akan bisa melangkah ke depan. Lo butuh orang lain. Lo butuh dukungan dan motivasi dari orang lain. Walaupun gue tau, motivasi dalam diri sendiri itu penting. Tapi dapat motivasi dari seseorang atau orang² yang paling disayang itu adalah kekuatan yang luar biasa buat diri sendiri"

" So, Al, coba deh keluar dari zona nyaman Lo. Pelan-pelan aja. Jangan langsung 'berlari'. Lo bisa mulai dengan berbaur dengan gue dan temen-temen gue. Mereka easy going kok" Hening. Meski Mita telah menyelesaikan kalimatnya Alan tetap tak bersuara.

Mita menghela nafas maklum. Tersenyum lembut kepada Alan
"Hari Minggu kita latihan buat tugas seni musik nanti ya. Di rumah Langit." Mita berdiri. Alan memang salah satu anggota kelompok musiknya. Mereka satu-satunya kelompok yang beranggotakan 3 orang

"Gue mau ke kantin, nyusul yang lain. Lo mau ikut?" Alan menggeleng

"Yaudah. Gue duluan ya. Dah Alan" Mita melambaikan tangannya kepada Alan. Kemudian beranjak meninggalkan kelas. Namun saat sampai di daun pintu kelas, Mita kembali menengok ke belakang. Terlihat Alan yang sedang menunduk.

"Alan!" Yang dipanggil mendongak. Menaikan alisnya. Seperti bertanya "ada apa?"

"Sorry kalau bikin Lo kepikiran. Gue pernah ada di posisi lo. Itu gue lakuin karena..." Mita menghentikan kalimatnya. Membuat Alan bingung

"Karena apa?" Tanya Alan

"Karena gue peduli sama Lo" Mita tersenyum kepada Alan yang entah mengapa malah terbungkam mendengar Mita mengatakan itu.

Mita melanjutkan langkahnya. Punggung gadis itu menghilang sempurna dibalik daun pintu.

To be continue...

A SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang