SENDI KEEMPAT: tentang obat tobat dan jalan pengobatan
untuk melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa.
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia itu dua bahagian:
Bahagian Pertama: pemuda yang tiada mempunyai kecenderungan kepada
kemudaan. Ia tumbuh di atas kebajikan dan menjauhkan kejahatan. Itu-
lah yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.:
Artinya: ”Tuhanmu itu merasa takjub dengan .pemuda, yang tidak mem-
punyai kecenderungan kepada kemudaan” (1).
(1) Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari ’Uqbah bin ’Amir.
Ini adalah sukar dan jarang terdapat.
Bahagian Kedua: yang tidak terlepas daripada mengerjakan dosa. Kemu-
dian, mereka terbagi kepada: yang berkekalan berbuat dosa dan kepada:
yang bertobat,
Maksud kami, ialah: menerangkan pengobatan pada melepaskan ikatan
kekekalan berbuat dosa itu. Dan kami akan menerangkan obatnya.
Maka ketahuilah kiranya, bahwa sembuhnya tobat itu, tiada akan berha-
sil, selain dengan obat. Dan tiada akan mengerti kepada obat itu, orang
yang tiada mengerti akan penyakit. Karena tiada arti bagi obat, selain per-
lawanan sebab-sebab penyakit. Maka setiap penyakit yang terjadi dari se-
suatu sebab, maka obatnya, ialah: melepaskan sebab itu, membuangkan-
nya dan merusakkannya. Dan sesuatu itu tiada akan rusak (batal), selain
dengan lawannya. Dan tiada sebab bagi kekekalan berbuat dosa, selain
oleh kelalaian dan nafsu-syahwat. Dan tiada yang melawan kelalaian, se-
lain ilmu. Tiada yang melawan nafsu-syahwat, selain sabar dengan memo-
tohg sebab-sebab yang menggerakkan nafsu-syahwat, Dan keialaian itu
kepala segala kesalahan. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Dan itulah orang-orang yang lalai. Tiada ragu lagi, bahwa di
akhirat nanti merekalah orang-orang yang menderita kerugian”. S. An-
Nahl, ayat 108-109.
Jadi, tiada obat bagi tobat, selain perasaan yang diperas dari kemanisan
ilmu dan kepahitan sabar. Dan sebagaimana as-sakanjabin, dikumpulkan
antara kemanisan gula dan kemasaman cuka. Dan dengan masing-masing
yang dua itu, dimaksudkan suatu maksud yang lain pada pengobatan de-
ngan kumpulan gula dan cuka tadi. Maka ia dapat mencegah sebab-sebab
yang membangkitkan penyakit kuning.
Maka begitulah sayogianya anda memahami pengobatan hati, daripada
yang ada padanya, yaitu: penyakit kekekalan berbuat dosa.
Jadi, obat ini mempunyai dua pokok. Yang pertama: ilmu dan yang satu
lagi: sabar. Dan tak boleh tidak dari penjelasan bagi ilmu dan sabar itu.
Kalau anda bertanya: adakah bermanfa’at setiap ilmu untuk melepaskan
kekekalan berbuat dosa atau tak boleh tidak daripada ilmu yang khusus?
Maka ketahuilah kiranya, bahwa ilmu-ilmu itu keseluruhannya adalah
obat bagi semua penyakit hati. Akan tetapi, untuk masing-masing penya-
kit itu ada pengetahuan yang khusus. Sebagaimana ilmu kedokteran itu
bermanfa’at pada pengobatan semua penyakit secara keseluruhan. Akan
tetapi, masing-masing penyakit mempunyai ilmu khusus. Maka demikian
juga penyakit kekekalan berbuat dosa. Maka marilah kami terangkan ke-
khusus-an ilmu itu, atas dasar keseimbangan penyakit badan. Supaya lebih
mendekatkan kepada pengertian.
Maka kami katakan, bahwa orang sakit itu memerlukan kepada pembe-
naran dengan beberapa hal:
Pertama: bahwa ia membenarkan secara keseluruhan, bahwa penyakit dan
sehat itu mempunyai sebab-sebab, yang dengan usaha, dapatlah sampai
mengetahuinya, menurut apa yang diatur oleh yang menyebabkan sebab-
sebab itu.
Dan inilah, yang dinamakan: iman (percaya), dengan pokok kedokter-
an. Maka orang yang tidak percaya dengan yang tersebut, niscaya tak
usah ia bekerja dengan pengobatan. Dan berhaklah atas dirinya kebina-
saan.
Dan ini, timbangannya dari apa yang kita perbincangkan ini, ialah: iman
dengan pokok syariat. Yaitu: bahwa kebahagiaan di akhirat itu ada sebab-
nya. Yaitu: tha’at. Dan kesengsaraan itu ada sebabnya. Yaitu: maksiat.
Dan inilah, yang dinamakan: iman (percaya), dengan pokok syari’at-sya-
ri’at. Dan ini, tak boleh tidak memperolehnya. Adakalanya: dengan pen-
tahkikan (dengan dicari dalil-dalil) atau dengan taqlid (mengikuti tanpa
dalil). Masing-masing keduanya ini, adalah termasuk dalam jumlah iman.
Kedua: bahwa tak boleh tidak, orang sakit itu percaya kepada dokter ter-
tentu, bahwa dokter itu berilmu kedokteran, yang mahir, yang benar,
pada apa yang dikatakannya. Tidak meragukan dan tidak dusta. Maka
kepercayaan si sakit itu dengan pokok kedokteran, tidak bermanfa’at
baginya, dengan semata-mata yang tersebut, tanpa kepercayaan (iman)
ini.
Timbangannya, dari apa yang kita bicarakan. ini, ialah: ilmu dengan ke-
benaran Rasul s.a.w. Dan percaya (iman), bahwa tiap-tiap apa yang di-
sabdakannya itu hak dan benar. Tak dusta padanya dan khilaf.
Ketiga: bahwa si sakit itu mendengar benar-benar kepada dokter, tentang
apa yang diperingatinya, dari hal memakan buah-buahan dan sebab-sebab
yang mendatangkan melarat secara keseluruhan. Sehingga si sakit itu di-
kerasi oleh ketakutan, pada meninggalkan penjagaan dirt. Maka adalah
sangatnya ketakutan itu membangkitkannya untuk menjaga diri.
Dan timbangannya pada agama, ialah: mendengar benar-benar ayat-ayat
dan hadits-hadits, yang melengkapi kepada penggemaran pada taqwa dan
pentakutan mengerjakan dosa dan mengikuti hawa-nafsu.
Pembenaran itu, iaiah dengan semua apa yang diperdengarkan kepada
pendengarannya dari yang demikian itu, tanpa syak dan ragu. Sehingga
membangkitlah ketakutan yang menguatkan kepada kesabaran, yang men-
jadi sendi terakhir pada pengobatan.
Keempat: bahwa ia mendengar benar-benar kepada perkataan dokter, me-
ngenai yang khusus dengan penyakitnya dan apa yang harus pada dirinya
untuk menjaganya. Supaya pertama-tama, dokter itu memperkenalkan
kepadanya, penguraian apa yang mendatangkan melarat kepadanya, dari
perbuatan-perbuatan dan hal-ihwalnya, makanan dan minumannya.
Maka tidaklah atas setiap orang sakit itu, menjaga diri dari segala sesuatu.
Dan tidaklah bermanfa’at kepada si sakit semua obat. Akan tetapi, bagi
masing-masing penyakit khusus, mempunyai ilmu khusus dan pengobatan
khusus.
Dan timbangannya pada agama, ialah: bahwa setiap hamba Allah itu ti-
daklah dicobakan dengan semua nafsu-syahwat dan mengerjakan semua
dosa. Akan tetapi, setiap orang mu’min itu mempunyai dosa khusus atau
dosa-dosa khusus. Keperluannya sekarang juga, sesungguhnya, bersegera
mengetahui, bahwa itu adalah dosa. Kemudian, mengetahui bahaya-ba-
haya dosa itu dan kadar melaratnya. Kemudian, mengetahui, cara sampai
kepada bersabar dari dosa-dosa tersebut. Kemudian, mengetahui, cara
menutupkan (meng-kaffarah-kan) yang telah berlalu dari dosa-dosa tadi.
Maka inilah pengetahuan-pengetahuan yang tertentu bagi tabib-tabib
(dokter-dokter) agama. Dan mereka, ialah: para ulama yang menjadi pe-
waris-pewaris nabi.
Maka orang yang berbuat maksiat, kalau tahu akan kemaksiatannya, nis-
caya haruslah ia mencari pengobatan dari dokter. Yaitu: orang alim (orang
yang berilmu). Dan kalau ia tidak tahu, bahwa yang dikerjakannya itu
dosa, maka haruslah atas orang alim, memberitahukan kepadanya yang
demikian.
Yang demikian itu, ialah dengan setiap orang alim (ulama) menanggung
satu daerah atau satu negeri atau satu tempat atau satu masjid atau satu
perhimpunan (perkumpulan yang dihadiri orang ramai). Maka yang ahli
agama itu mengajarkan mereka akan agamanya dan menerangkan perbe-
daan, yang mendatangkan melarat dari yang bermanfa’at, yang menda-
tangkan kesengsaraan bagi mereka daripada yang mendatangkan keba-
hagiaan kepada mereka. Dan tiada sayogialah orang alim itu bersabar,
sampai ia ditanyakan dari hal agama itu. Akan tetapi, sayogialah ia men-
datangi, mengajak manusia kepadanya. Karena mereka itu adalah pewa-
ris-pewaris nabi. Dan nabi-nabi itu tidak membiarkan manusia diatas ke-
bodohan. Akan tetapi, mereka memanggil manusia pada tempat-tempat
perkumpulan yang diadakan mereka. Nabi-nabi itu berkeliling pada pintu
rumah-rumah manusia pada permulaannya. Mereka mencari seorang demi
seorang. Lalu mereka memberi petunjuk kepada manusia-manusia itu.
Sesungguhnya orang-orang yang berpenyakit hati, tidak mengetahui pe-
nyakit mereka. Sebagaimana orang yang tumbuh pada mukanya penyakit
supak dan tak ada cermin padanya, niscaya ia tidak tahu akan penyakit
supaknya, sebelum ia diberi-tahukan oleh orang lain.
Dan ini adalah fardlu ’ain (wajib atas tiap-tiap pribadi) atas para ulama
seluruhnya. Dan atas sultan-sultan (penguasa) seluruhnya, mengatur pada
setiap desa dan pada setiap tempat, seorang faqih (ahli ilmu fiqh), yang
beragama, yang akan mengajar manusia akan agamanya. Karena makhluk
(manusia) itu sesungguhnya tidaklah dilahirkan, selain dalam keadaan
bodoh. Maka tidak boleh tidak, menyampaikan da’wah kepada mereka,
mengenai pokok dan cabang. Dan dunia itu adalah negeri orang-orang
sakit. Karena tidak ada dalam perut bumi, selain mait. Dan tidak ada
punggung bumi, selain orang sakit. Dan orang-orang yang berpenyakit
hati itu lebih banyak daripada orang-orang yang berpenyakit badan. Dan
para ulama itu adalah tabib-tabib (dokter-dokter). Dan sultan-sultan
(penguasa) itu adalah yang memerintah negeri orang-orang sakit. Maka
setiap orang sakit, yang tidak menerima pengobatan, dengan pengobatan
orang alim (ulama) itu diserahkan kepada sultan (penguasa).
Supaya mencegah kejahatannya. Sebagaimana dokter menyerahkan orang
sakit yang tidak mau menjaga diri atau orang sakit yang telah keras gila-
nya, diserahkan kepada yang memerintah (pemerintah). Supaya diikatnya
orang sakit itu dengan rantai dan belenggu. Dan mencegah kejahatannya
dari diri orang sakit itu sendiri dan dari orang lain.
Penyakit hati itu sesungguhnya lebih banyak daripada penyakit badan, ka-
rena tiga alasan: '
Alasan Pertama: bahwa orang yang sakit dengan penyakit hati itu, tidak
tahu, bahwa dia itu orang sakit.
Alasan Kedua: bahwa akibatnya tidak tampak di alam ini. Lain halnya
dengan penyakit badan. Penyakit badan itu, akibatnya mati yang dapat
disaksikan, dimana tabiat (naluri) manusia itu lari daripadanya. Dan yang
sesudah mati itu tidak dapat disaksikan.
Akibat dosa itu, ialah mati hati. Dan itu tidak dapat disaksikan di alam
ini. Maka sedikitlah orang yang lari dari dosa, walaupun dosa itu diketa-
hui oleh yang mengerjakannya.
Maka karena itulah, anda melihat orang yang mengerjakan dosa itu, ber-
tawakkal (menyerah) kepada kurnia Allah pada penyakit hati. Dan ber-
sungguh-sungguh pada mengobati penyakit badan, tanpa bertawakkal
(menyerah kepada Tuhan).
Alasan Ketiga: ialah: penyakit yang memayahkan, yang tidak ada tabib
(dokter). Tabib-tabib itu, ialah: para ulama. Dan mereka itu telah parah
sakitnya pada masa-masa ini (masa Al-Imam Al-Ghazali-peny.), Mereka
lemah daripada mengobatinya. Dan pada umumnya penyakit itu menjadi
penghibur bagi mereka, sehingga tidak tampak kekurangan mereka. Lalu
mereka memerlukan kepada menipu makhluk (orang banyak). Dan me-
nunjukkan kepada mereka, dengan apa yang menambahkan sakit bagi
mereka. Karena sesungguhnya penyakit yang membinasakan, ialah: cinta
dunia. Dan penyakit ini sudah banyak pada tabib-tabib. Lalu mereka
tidak mampu mengingatkan manusia daripadanya, karena mencegah dari-
pada dikatakan kepada mereka: ”Apa kiranya kamu ini, menyuruh de-
ngan pengobatan dan kamu lupa akan dirimu sendiri”.
Maka dengan sebab ini, menjadi umumlah penyakit itu atas orang banyak
dan besarlah bahayanya, putuslah obat dan binasalah orang banyak
(makhluk). karena ketiadaan tabib-tabib itu, Bahkan tabib-tabib tersebut
berbuat dengan berbagai penipuan. Semoga mereka itu kiranya, karena
tidak memberi nasehat, maka mereka tidak menipu. Dan karena mereka
tidak memperbaiki, maka mereka tidak merusak. Semoga mereka itu kira-
nya berdiam diri dan tidak bertutur kata. Karena apabila mereka berkata-
kata, niscaya tiada yang penting bagi mereka pada pengajarannya, selain
apa yang menyenangkan orang awwam dan yang menarik hati mereka.
Dan mereka tiada sampai kepada yang demikian, selain dengan memberi
harapan-harapan, membanyakkan sebab-sebab harapan itu dan menyebut-
kan dalil-dalil rahmat Tuhan. Karena yang demikian itu lebih enak pada
pendengaran dan lebih ringan pada tabiat (naluri). Lalu orang banyak itu
meninggalkan majlis-majlis pengajaran. Dan mereka mengambil faedah
dengan bertambah keberaniannya berbuat perbuatan maksiat dan bertam-
bah percaya dengan kurnia Allah.
Manakala tabib itu bodoh atau pengkhianat, niscaya ia mendatangkan ke-
binasaan dengan obatnya, dimana diletakkannya tidak pada tempatnya.
Maka al-raja’ (harap) dan al-khauf (takut) itu dua obat. Akan tetapi, bagi
dua orang yang berlawanan penyakitnya.
Adapun orang yang keras padanya al-khauf, sehingga ia meninggalkan
dunia dengan cara keseluruhan. Dan ia memaksakan dirinya apa yang
tidak disanggupinya. Ia menyempitkan hidup atas dirinya secara keselu-
ruhan. Maka pecahlah alamat berlebih-lebihannya pada al-khauf, dengan
menyebutkan sebab-sebab ar-raja\ Supaya ia kembali kepada: sedang
(i’tidal).
Dan seperti demikian juga, orang yang berkekalan berbuat dosa, yang
ingin kepada bertobat, yang tercegah dari tobat itu, disebabkan patah hati
dan putus asa. Karena memandang besar dosa-dosanya yang telah terda-
hulu. Ia dapat juga berobat dengan sebab-sebab ar-raja’. Sehingga ia
mengharap pada terkabulnya tobat. Maka ia bertobat.
Adapun pengobatan orang yang terperdaya, yang terlepas pada perbuat-
an-perbuatan maksiat, dengan mengingati sebab-sebab ar-raja\ maka ia
menyerupai dengan pengobatan orang yang dipanasi dengan air madu, ka-
rena mencari kesembuhan. Dan yang demikian itu, termasuk kebiasaan
orang-orang bodoh dan orang-orang dungu
Jadi, kerusakan tabib-tabib itulah yang menyempitkan, lagi menyukarkan,
yang berkali-kali tidak akan menerima obat.
Kalau anda bertanya: Sebutkanlah jalan yang sayogianya akan ditempuh
oleh orang yang memberi pengajaran, pada jalan pengajaran kepada
orang banyak!
Maka ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu panjang dan tidak
mungkin menghinggakan jauhnya. Ya, kami akan menunjukkan kepada
bermacam-macam hal yang bermanfa’at pada melepaskan ikatan kekekal-
an berbuat dosa. Dan membawa manusia kepada meninggalkan dosa.
Yaitu: empat macam:
Yang Pertama: bahwa ia ingat apa yang ada dalam Al-Qur-an, dari ayat-
ayat yang menakutkan kepada orang-orang yang berbuat dosa dan berbuat
maksiat. Dan seperti demikian juga, apa yang datang pada hadits-hadits
dan atsar . Seperti: sabda Nabi s.a.w.:
Artinya: ”Tiada seharipun yang telah terbit fajarnya dan tiada semalam-
pun yang telah hilang syafaqnya, melainkan ada dua malaikat yang ber-
soal-jawab dengan empat suara:
Yang satu berkata: ”Wahai kiranya makhluk ini tidak dijadikan”.
Yang lain berkata: ”Wahai kiranya mereka! Karena telah dijadikan, me-
reka tahu. karena apa mereka dijadikan”.
Lalu yang lain berkata: ”Wahai kiranya mereka! Karena mereka tidak
tahu, karena apa mereka dijadikan, mereka mengerjakan dengan apa
yang diketahui mereka”.
Pada setengah riwayat:
Artinya: ”Wahai kiranya mereka duduk-duduk, lalu mereka sebut-menye-
butkan apa yang mereka ketahui”. Yang lain mengatakan: ”Wahai kira-
nya mereka'. Karena mereka tidak-mengerjakan apa yang mereka ketahui.
mereka bertobat dari apa yang dikerjakan mereka” (1).'
(1) Menurut Al iraqi, beliau tidak menjumpai hadits yang demikian bunyinya.
Setengah salaf (ulama terdahulu) mengatakan: "Apabila hamba itu ber-
buat dosa, maka malaikat yang di sebelah kanan menyuruh malaikat yang
di sebelah kiri dan dia yang menjadi amir atas malaikat yang di sebelah
kiri itu, supaya qalam (pena) diangkat (tidak ditulis) daripadanya enam
jam. Kalau ia bertobat dan meminta ampun, niscaya dosa itu tidak ditu-
liskan kepadanya. Dan jikalau ia tidak meminta ampun, niscaya dituliskan
dosa itu”.
Setengah salaf berkata: ”Tiada seorangpun dari hamba yang mengerjakan
perbuatan maksiat, melainkan ia meminta izin tempatnya di bumi, untuk
tenggelam dengan dia. Dan ia meminta izin atapnya dari langit. bahwa
atap itu jatuh atas dirinya dengan terpotong-potong. Maka Allah Ta’ala
berfirman kepada bumi dan langit: ”Cegahlah daripada hambaKU dan
tangguhkanlah! Sesungguhnya engkau berdua tidaklah menjadikan ham-
baKU itu. Dan jikalau engkau berdua yang menjadikannya, niscaya eng-
kau mengasihaninya. Mudah-mudahan ia akan bertobat kepadaKU. Maka
akan AKU ampunkan dosanya. Mudah-mudahan ia akan berganti menjadi
orang shalih (orang baik), maka akan AKU gantikan baginya akan segala
kebaikan”.
Yang demikian itu ialah arti firman Allah Ta’ala:
(Innal-laaha yumsikus-samaa-waati wal-ardla an tazuula wa la-in zaalataa
in amsa-kahaa min ahadin min ba’-dih).
Artinya: ”Sesungguhnya Allah itulah yang menahan langit dan bumi, su-
paya jangan berhenti bekerja. Dan kalau keduanya berhenti bekerja, ti-
ada seorangpun yang dapat menahan, selain daripadaNYA”. S. Fathir.
ayat 41.
Pada hadits Umar bin Al-Khat-thab r.a.: ”Cap itu tergantung pada tiang
’Arasy. Maka apabila kehormatan itu telah dirusakkan dan yang haram-
haram itu telah dihalalkan, niscaya Allah Ta’ala mengutus cap itu. Lalu ia
capkan atas hati, dengan apa yang ada padanya” (1).
(1) Diriwayatkan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar. Hadits ini ditantang kebenarannya.
Pada hadits Mujahid: ”Hati itu seperti tapak tangan yang terbuka. Tiap
kali hamba itu berbuat sesuatu dosa, niscaya tergenggamlah satu anak
jarinya, sehingga tergenggam anak jari itu semua. Lalu tersumbat atas
hati. Maka yang demikian itulah: tabiat” (2).
(2) Diriwayatkan Al-Baihaqi dari Hudzaifah.
Al Hasan Al-Bashari r.a. berkata: ”Sesungguhnya di antara hamba dan
Allah, ada batas dari perbuatan-perbuatan maksiat, yang diketahui. Apa-
bila hamba telah sampai kepada batas tersebut, niscaya dicapkan oleh
Allah atas hatinya. Maka Allah Ta’ala tidak memberikan taufiq kepada-
nya lagi dengan kebajikan sesudah itu”.
Hadits dan atsar tentang mencela perbuatan-perbuatan maksiat dan me-
muji orang-orang yang bertobat itu tidak terhingga banyaknya. Maka sa-
yogialah orang yang memberi pengajaran, membanyakkan
hadits dan atsar itu, kalau dia pewaris Rasulullah s.a.w, ”Maka sesung-
guhnya beliau itu tidak meninggalkan dinar dan dirham. Hanya beliau me-
ninggalkan ilmu dan hikmah. Dan diwarisi oleh setiap orang yang berilmu
(ulama), menurut kadar yang diperolehnya” (3).
(3) Diriwayatkan Al-Bukhari dari ’Amr bin Al-Harits.
Bahagian Kedua: ialah ceritera nabi-nabi dan orang-orang salaf yang sha-
lih dan apa yang terjadi atas diri mereka dari mala-petaka-mala-petaka,
disebabkan dosa mereka. Maka yang demikian itu sangat berkesan, nyata
manfa’atnya pada hati makhluk (manusia). Seperti keadaan Nabi Adam
a.s. mengenai kemaksiatannya dan apa yang ditemuinya, dari hal penge-
luarannya dari sorga. Sehingga, diriwayatkan, bahwa tatkala ia memakan
buah kayu yang terlarang, lalu beterbanganlah pakaian intan permata dari
tubuhnya dan tampaklah auratnya. Maka malulah mahkota (at-taaj) dan
mahkota kebesarannya (al-iklil) dari mukanya, bahwa keduanya itu ter-
angkat tinggi daripadanya. Lalu datang kepadanya malaikat Jibril a.s.
Maka Jibril a.s. mengambil mahkota dari kepalanya. Dan membuka al-
iklil dari tepi dahinya. Dan diserukan dari atas ’Arasy: ”TurunIah kamu
berdua dari sisiKU! Sesungguhnya orang yang berbuat maksiat kepada-
KU, tidak akan berada di sisiKU!” (4).
(4) Yang dimaksudkan dengan ”kamu berdua” itu, ialah Adam dan Hawwa
Kata yang empunya riwayat: ”LaIu Adam a.s. menoleh kepada Hawwa’,
dengan menangis, seraya berkata: ”Inilah permulaan nasib buruk dari per-
buatan maksiat. Kita dikeluarkan dari sisi Yang Dicintai”.
Diriwayatkan, bahwa Sulaiman bin Dawud a.s. tatkala mendapat siksaan
atas kesalahannya, lantaran patung yang disembah di rumahnya, selama
empat puluh hari. Dan dikatakan, karena seorang wanita (salah seorang
dari isteri Sulaiman bernama: Jarradah), meminta kepada Sulaiman, su-
paya ia menjatuhkan hukuman untuk kepentingan bapaknya. Lalu Sulai-
man a.s. menjawab: ”Boleh!”. Tetapi tidak dilaksanakannya. Dan menu-
rut riwayat, bahkan Sulaiman a.s. suka dengan hatinya sendiri. bahwa
hukuman itu demi untuk kepentingan bapak wanita (isterinya) itu, terha-
dap musuhnya. Karena wanita tersebut mendapat kedudukan tersendiri
pada Sulaiman a.s. (yang lebih dicintainya dari isteri-isteri yang lain).
Maka kerajaannya dicabut selama empat puluh hari. Lalu Sulaiman lari
berkelana dengan tidak bertujuan. Ia meminta pada orang dengan tapak
tangannya yang terbuka. Tetapi orang tidak mau memberi makanan kepar
danya. Apabila ia mengatakan: ”Berilah aku makanan! Aku ini Sulaiman
putera Dawud”. Lalu kepalanya dilukai, diusir dan dipukuli orang (1).
(1) Menunurut syarah Ihya’ (Al-Ittihaf) hal. 614 juz VIII, bahwa Sulaiman memerangi negeri
Saidun, lalu membunuh rajanya dan memperoleh puteri raja itu. Lalu Sulaiman jatuh
cinta pada puteri itu, tetapi ia tidak tidur bersama puteri itu, karena gundah hatinya
atas meninggal ayah sang puteri. Lalu Sulaiman menyuruh setan membuat patung sang
ayah itu. Maka puteri tersebut pagi dan sore datang kepada patung itu. Dan orang-
orang bersujud kepada patung itu. Tatkala diberi tahukan hal tersebut kepada Sulaiman,
lalu ia pecahkan patung itu dan dipukulnya puteri itu dan ia keluar ke desa menangis
atas kesalahannya.
Menurut ceritera, bahwa Sulaiman itu meminta makanan pada rumah is-
terinya. Lalu isterinya itu mengusirnya dan meludahi mukanya. Pad& su-
atu riwayat, seorang wanita tua mengeluarkan kendi air, yang di dalamnya
kencing. Lalu dituangkannya ke atas kepala Sulaiman. Sehingga Allah
Ta’ala mengeluarkan sebentuk cincin dari perut ikan paus. Maka cincin itu
dipakai oleh Sulaiman sesudah berlalu empat puluh hari, masa hukuman.
Riwayat itu seterusnya: ”Maka datanglah burung-burung., lalu hinggap di
atas kepalanya. Datanglah jin. setan dan binatang-binatang liar. Semuanya
berkumpul di kelilingnya. Lalu meminta ma’af kepada Sulaiman. sebaha-
gian dari orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya. Maka Sulaiman
menjawab: ”Aku tidak mencaci kamu tentang apa yang kamu perbuat se-
belumnya. Dan aku tidak memuji kamu tentang permintaan ma’afmu se-
karang. Ini sesungguhnya adalah perintah dari langit. Dan tak boleh tidak
daripadanya”.
Diriwayatkan, dalam riwayat-riwayat kaum Bani Israil. bahwa seorang
laki-laki kawin dengan seorang wanita dari negeri lain. Lalu laki-laki ter-
sebut mengutus budaknya untuk membawa wanita tadr kepadanya. Maka
wanita tersebut membujuk diti budak tadi dan ia meminta budak itu ber-
gaul dengan dia, Lalu budak tersebut melawan dengan sungguh-sungguti
kehendak wanita itu dan ia memelihara dirinya dari dosa.
Ceritera itu seterusnya: ”Maka Allah Ta r ala mengangkat budak itu men-
jadi nabi dengan barakah taqwanva. Lalu ia menjadi seorang nabi pada
kaum Bani Israil”.
Dalam kissah-kissah Musa a.s.. ialah bahwa Musa a.s. berkata kepada
nabi Khidlir a.s.: ”Dengan apa engkau diperlihatkan oleh Allah kepada
alam ghaib?”.
Nabi Khidlir a.s. menjawab: ”Dengan sebab aku meninggalkan semua
perbuatan maksiat karena Allah Ta’ala!”.
Diriwayatkan,, bahwa angin itu berjalan dengan nabi Sulaiman a.s: Lalu
nabi Sulaiman a.s. itu memandang kepada baju kemejanya sejenak dan
baju itu adalah baju baru. Maka nabi Sulaiman a.s. seakan-akan merasa
bangga dengan bajunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ihya Ulumuddin 3-4
Non-Fictionsumber playstore semoga jadi amal jariyah bagi oarng yang bikin aplikasi ini amiin.