PENJELASAN: bahagian-bahagian sabar, menurut perbedaan kuat dan
lemahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa penggerak agama, dikaitkan kepada penggerak
hawa-nafsu itu mempunyai tiga hal keadaan: -
Pertama: bahwa ia memaksakan penggerak hawa-nafsu, Lalu penggerak
hawa-nafsu itu tidak mempunyai lagi kekuatan untuk melawan. Dan sam-
pai kepada yang demikian itu, dengan berkekalan sabar. Dan ketika itu,
dikatakan: ”Siapa sabar niscaya mendapat”.
Yang sampai kepada tingkat ini, mereka itu adalah sedikit. Maka tidak
dapat dibantah, ialah: orang-orang shiddiq (ash-shiddiqun), yang dekat
dengan Allah (al-muqarrabun), yang mengatakan: ”Tuhan kami, ialah:
ALLAH”. Kemudian, mereka itu ber -istiqamah (berjalan di atas jalan
lurus dan tetap pendirian). Mereka selalu menempuh jalan lurus dan ber-
diri tegak di atas jalan yang betul. Diri mereka itu tetap menurut yang di-
kehendaki oleh penggerak agama. Mereka waspada, akan dipanggil oleh
yang memanggil: ”Wahai jiwa (diri) yang tenang! Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan rela, yang direlai!”.
Keadaan Kedua: bahwa menanglah pengajak-pengajak hawa-nafsu. Dan
dengan cara keseluruhan, jatuhlah perlawanan penggerak agama. Lalu ia
menyerahkan dirinya kepada tentara setan dan ia tidak berjuang (ber-mu-
jahadah). Karena putus asanya dari mujahadah itu. .
Merekalah orang-orang yang lalai. Merekalah yang terbanyak. Mereka
adalah orang-orang yang telah diperbudakkan oleh nafsu-syahwatnya. Dan
telah bersangatan kepada mereka kedurhakaan kepada Allah. Lalu me-
reka dihukum sebagai musuh Allah dalam hati mereka, dimana hati itu
adalah salah satu daripada rahasia Allah Ta’ala dan salah satu daripada
urusan Allah. Kepada merekalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:
Artinya: ”Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk
kepada setiap diri. Tetapi perkataan daripadaKU. sebenamya akan ter-
jadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin
dan manusia semuanya”. S. As-Sajadah, ayat 13.
Merekalah orang-orang yang membeli kehidupan duniawi dengan akhirat.
Maka rugilah perniagaan mereka. Dan dikatakan kepada orang yang ber-
maksud menunjuk jalan kepada mereka:
Artinya: ”Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pe-
ngajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi semata!
Pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. S. An-Najm, ayat 29 - 30.
Keadaan ini, tandanya, ialah: putus asa, hilang harapan dan tertipu de-
ngan angan-angan. Itulah yang paling bodoh, sebagaimana Nabi s.a.w.
bersabda:
Artinya: ”Orang yang pintar itu mengagamakan dirinya dan berbuat amal
untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh, ialah: orang yang mengikut-
kan dirinya kepada hawa-nafsunya dan ia berangan-angan atas Allah” (1).
(1) Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Syaddad bin Aus.
Orang yang berkeadaan yang begini, apabila diberi pengajaran, niscaya
menjawab: ”Aku ingin bertobat. Akan tetapi, sukar tobat itu atas diriku.
Lalu aku tidak mengharap padanya”.
Atau ia tidak ingin kepada tobat. Akan tetapi, ia mengatakan: ”Sesung-
guhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Pengasih, lagi Maha Pemurah.
Maka IA tidak memerlukan kepada tobatku”.
Orang yang patut dikasihani ini, akalnya telah menjadi budak nafsu-syah-
watnya. Ia tidak menggunakan akalnya, selain pada memahami daya upa-
ya yang halus-halus, yang akan menyampaikan kepada terlaksana nafsu-
syahwatnya. Maka jadilah akalnya itu dalam tangan nafsu-syahwatnya, se-
perti seorang muslim yang tertawan dalam tangan orang-orang kafir. Lalu
orang-orang kafir itu menyuruh orang muslim tersebut, menjaga babi,
memelihara khamar dan membawanya.
Tempat orang yang tersebut tadi di sisi Allah Ta’ala, adalah tempatnya
orang yang memaksakan orang muslim dan menyerahkannya kepada
orang-orang kafir. Dan dijadikannya orang muslim tersebut menjadi orang
tawanan pada orang-orang kafir itu. Karena, dengan kekejian kesalahan-
nya itu, menyerupailah, bahwa ia menghinakan apa yang sebenarnya, ti-
dak dihinakan. Dan ia memaksakan apa yang sebenarnya, tidak dipaksa-
kan.
Sesungguhnya orang muslim itu berhak untuk dipaksakan kepada sesuatu,
yang padanya ma’rifah kepada Allah dan penggerak agama. Dan orang
kafir itu berhak dipaksakan, karena padanya itu ada kebodohan dengan
agama dan penggerak setan-setan. Dan hak orang muslim atas dirinya
adalah lebih wajib dari hak orang lain atas dirinya.
Manakala dijadikan arti yang mulia, yang termasuk dari hizbullah (baris-
an Allah) dan tentara malaikat, kepada arti yang buruk, yang termasuk
sebahagian dari barisan setan-setan, yang menjauhkan dari Allah Ta’ala,
niscaya adalah ia seperti orang yang memperbudakkan orang muslim
untuk orang kafir. Bahkan dia itu, adalah seperti orang yang bermaksud
kepada raja yang menganugerahkan nikmat kepadanya. Lalu diambilnya
seorang dari anak raja itu yang termulia dan diserahkannya kepada salah
seorang dari musuh-musuh raja itu yang paling dibencinya.
Maka lihatlah, bagaimana kufurnya orang itu kepada nikmat yang dianu-
gerahkan oleh raja dan perbuatannya untuk bencana bagi raja. Karena
hawa nafsu ltu adalah Tuhan yang paling dimarahi, yang disembah oleh
hamba di bumi di sisi Allah Ta’ala. Dan akal itu yang termulia dari yang
maujud (yang ada), yang dijadikan di atas permukaan bumi.
Keadaan Ketiga: bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa di
antara dua tentara. Sekali ia memperoleh kemenangan atas peperangan
itu Dan kali yang lain, peperangan itu mengalahkannya.
Ini adalah dari golongan orang-orang yang berjuang (al-mujahidin), yang
seperti ini dihitung, tidak termasuk orang-orang yang menang. Orang-
orang yang berkeadaan dengan keadaan ini, ialah: mereka yang mencam-
pur-adukkan amal-perbuatan yang baik dan yang lain yang jahat. Kiranya
Allah Ta’ala menerima tobat mereka.
Ini adalah dengan memandang kepada kuat dan lemahnya. Dan berjalan
pula kepadanya tiga keadaan, dengan memandang bilangan, yang dia ber-
sabar padanya:
Yaitu: adakalanya ia dapat mengalahkan semua nafsu-syahwatnya atau
ridak dapat dikalahkannya sedikit pun daripadanya. Atau. dapat dikalah-
kannya setengah daripada nafsu-syahwat itu, tidak dapat yang setengah
lagi. Dan menempatkan firman Allah Ta’ala:
Artinya: ”Mereka telah mencampur-adukkan pekerjaan baik dengan yang
buruk” S. Attaubah Ayat 102.
kepada orang yang lemah dari setengah nafsu-syahwat, tidak
dari setengah yang lain, adalah lebih utama. Dan orang-orang yang me-
ninggalkan mujahadah serta nafsu-syahwat itu secara mutlak, adalah me-'
nyerupai dengan hewan. Bahkan mereka lebih sesat jalannya. Karena he-
wan itu tidak dijadikan baginya ma’rifah dan kemampuan, dimana dengan
kemampuan itu, ia berjuang melawan kehendak nafsu-syahwat. Sedang
dia telah dijadikan yang demikian baginya dan tidak dipergunakannya.
Maka orang tersebut itu adalah orang yang mengurangkan kebenaran dan
yang membelakangkan keyakinan.
Karena itulah, dikatakan dalam suatu madah:
Aku tidak melihat
pada kekurangan manusia itu sesuatu,
seperti kurangnya orang-orang yang mampu,
kepada kesempurnaan ...
Juga sabar itu dengan memandang kepada mudah dan sukar, terbagi ke-
pada: -yang sulit kepada diri. Maka tidak mungkin meneruskan sabar itu,
selain dengan kesungguhan yang benar-benar sungguh dan kepayahan diri
yang berat. Dan yang demikian itu, dinamakan: tashibbur (bersabar be-
nar-benar). Dan kepada yang tidak begitu sangat payah. Akan tetapi, sa-
bar itu berhasil dengan sedikit penanggungan atas diri. Dan yang demi-
kian itu khusus dinamakan: sabar.
Apabila taqwa itu terus-menerus dan pembenaran itu telah kuat, dengan
amal-amal baik pada kesudahannya, niscaya sabar itu menjadi mudah.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Sebab itu, siapa yang memberi (untuk kebaikan) dan memeli-
hara dirinya dari kejahatan. Dan membenarkan (mempercayai) yang baik.
Kami akan memudahkan kepadanya menempuh (jalan) yang mudah”. S.
Al-Lail, ayat 5-6-7.
Contoh pembahagian yang seperti ini, ialah. kuatnya orang yang bermain
banting-bantingan atas orang lain. Laki-laki yang kuat itu sanggup mem-
banting orang yang lemah, dengan sedikit pukulan dan kekuatan yang
mudah, dimana ia tidak menemui pada berbanting-bantingan itu keletihan
dan kepayahan. Nafasnya tidak bergoncang dan tidak terputus (dari ka-
rena kelemahan).
Ia tidak mampu membanting orang yang keras, kecuali dengan payah,
bertambah kesungguhan dan keringat di pipi.
Maka begitulah adanya banting-bantingan itu di antara penggerak agama
dan penggerak hawa-nafsu. Itu sebenarnya adalah banting-bantingan di
antara malaikat dengan tentara setan.
Manakala nafsu-syahwat itu mengaku rendah dan mengalah dan pengge-
rak agama yang berkuasa, memerintah dan sabar menjadi mudah, dise-
babkan lamanya membiasakannya, niscaya yang demikian itu mewariskan:
maqam ridla, sebagaimana akan datang penjelasannya pada Kitab Ridla
nanti.
Ridla itu lebih tinggi dari sabar. Karena itulah, Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya: ”Beribadahlah kepada Allah di atas ridla. Maka jikalau engkau
tidak sanggup, maka pada sabar atas yang tidak engkau senangi itu ba-
nyak kebajikan” (1).
(1) Diriwayatkan At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas.
Berkata sebahagian orang ’arifin: ”Orang-orang yang kuat sabarnya (ah-
Iu’sh-shabri) itu adalah atas tiga maqam:
Pertama: meninggalkan nafsu-syahwat. Dan ini adalah derajat orang-orang
yang tobat.
Kedua: ridla dengan yang ditakdirkan Tuhan. Dan ini adalah derajat
orang-orang zahid (orang-orang yang, bersifat zuhud).
Ketiga: suka kepada apa yang diperbuat Tuhannya. Dan ini adalah derajat
orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin)”.
Akan kami terangkan nanti pada Kitab Cinta Kepada Allah (Kitab Al-
Mahabbah), bahwa maqam al-mahabbah itu lebih tinggi dari maqam ridla,
sebagaimana maqam ridla itu lebih tinggi dari maqam sabar. Seakan-akan
pembahagian ini berlaku pada sabar khusus. Yaitu: sabar atas segala mu-
sibah dan percobaan.
Ketahuilah kiranya, bahwa sabar juga terbagi dengan memandang kepada
hukumnya, kepada: fardhu, sunat, makruh dan haram.
Sabar dari segala yang dilarang itu fardhu. Dari segala yang makruh itu
sunnat. Sabar atas kesakitan yang dilarang itu: dilarang. Seperti orang
yang akan dipotong tangannya atau tangan anaknya. Dia bersabar atas
yang demikian, dengan berdiam diri. Dan seperti orang, yang ada maksud
orang lain kepada isterinya dengan nafsu-syahwat yang dilarang. Maka
tergeraklah cemburunya. Lalu ia bersabar daripada melahirkan kecembu-
ruannya. Dan ia berdiam diri atas apa yang berlaku kepada isterinya. Ma-
ka sabar ini diharamkan.
Sabar makruh , yaitu: sabar atas kesakitan, yang diperolehnya dari segi
makruh pada agama.
Maka adalah syara’ itu yang berkeras bagi sabar. Maka adanya sabar itu
setengah iman, tiadalah seyogyanya mengkhayalkan kepada anda, bahwa
semua sabar itu terpuji. Bahkan yang dimaksud dengan yang demikian,
ialah: macam-macamnya sabar itu yang khusus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ihya Ulumuddin 3-4
Non-Fictionsumber playstore semoga jadi amal jariyah bagi oarng yang bikin aplikasi ini amiin.