obat sabar dan apa yang dapat memberi pertumbuhan kepada sabar

6 0 0
                                    

PENJELASAN: obat sabar dan apa yang dapat memberi pertumbuhan kepada sabar 
 
Ketahuilah kiranya, bahwa Tuhan yang menunaikan penyakit itu menu- 
runkan obat dan menjanjikan sembuh. Maka tiada 
atau ada pengobatannnya, akan tetapi menghasilkan sabar itu mungkin de- 
ngan ma’jun (obat) ilmu dan amal. 
Maka ilmu dan amal, keduanya itu;-adalah campuran-campuran.-yang ter- 
susun daripadanya, obat-obat untuk penyakit - seluruhnya. Akan tetapi 
setiap penyakit memerlukan kepada ilmu yang lain dan perbuatan yang 
lain. Dan sebagaimana bagian-bagian sabar itu berbeda dari yang lain, maka ba- 
gian-bagian penyakit yang mencegahnya itu berbeda. Apabila 
penyakit berlain-lainan, niscaya pengobatannya pun berlain-lainan. Adapun 
arti pengobatan ialah melawan penyakit dan mencegahnyarpan menca- 
kupkan yang demikian itu, termasuk akan panjang uraiannya. 
 
Akan tetapi, kami akan memperkenalkan jalan pada sebagian 
contoh. Maka kami akan menerangkan, bahwa apabila orang . 
kepada bersabar dari nafsu bersetubuh umpamanya dan nafsu itu 
mengeras kepadanya, dimana ia tidak menguasai kemaluannya lagi 
menguasai kemaluannya, akan tetapi ia tidak menguasai diri  
itu atau ia menguasai diri kemaluannya, akan tetapi ia tidak m 
hatinya dan nafsunya, karena selalu membisikkan kepadanya dengan ke- 
hendak nafsu-syahwat itu dan yang demikian itu memalingkannya dari 
kerajinan kepada dzikir, fikir dan amal shalih. Maka dalam hal ini saya 
akan menjawab:- 
 
Telah kami bentangkan dahulu, bahwa sabar itu ibarat dari berbanting- 
bantingan pembangkit agama dengan pembangkit hawa nafsu. Dan ma- 
sing-masing dari dua yang berbanting-bantingan itu kita mengetahui 
bahwa yang satu dapat mengalahkan yang lain. Maka tiada jalan lain dari- 
padanya, selain memperkuatkan siapa yang kita kehendaki  
tangan di atas dan melemahkan yang lain. 
Maka haruslah kita di sini menguatkan pembangkit agama dan melemah- 
kan pembangkit nafsu-syahwat. 
Adapun pembangkit nafsu-syahwat, maka jalan melemahkannya 
perkata: Pertama: bahwa kita memandang kepada benda yang membuat 
nafsu-syahwat. Yaitu: makanan yang baik, yang menggerakkan nafsu 
syahwat, dari segi macamnya dan dari segi banyaknya makanan. 
Maka tidak boleh tidak, memutuskan makanan itu dengan puasa terus- 
menerus serta sederhana ketika berbuka puasa atas makanan  
 
Kedua: memutuskan sebab-sebabnya yang mengobarkan nafsu-syahwat itu 
seketika. Sesungguhnya nafsu itu dapat berkobar, dengan memandang 
kepada tempat sangkaan timbulnya nafsu-syahwat. Karena pandangan itu 
menggerakkan hati. Dan hati itu menggerakkan nafsu-syahwat. 
Penjagaan itu berhasil dengan mengasingkan diri dan menjaga diri dari 
tempat sangkaan jatuhnya penglihatan kepada bentuk-bentuk yang mem- 
bawa kepada nafsu-syahwat. Dan melarikan diri daripadanya secara kese- 
luruhan. RasululIah s.a.w. bersabda: 
(An-nadh-ratu sahmun masmuu-mun min sihaami ibliisa). 
 
Artinya: ”Pandangan itu adalah salah satu dari panah beracun daripada 
panah-panah Iblis”  
 
’itu adalah panah yang dilepaskan oleh setan yang terkutuk. Dan tak ada 
perisai yang mencegah daripadanya, selain memejamkan pelupuk mata 
atau lari dari arah lemparannya. Maka Iblis yang terkutuk itu melempar- 
kan panah tersebut dari busur bentuk-bentuk yang dirindui. Apabila eng- 
kau berbalik dari arah bentuk-bentuk tadi, niscaya tidak akan mengenai 
engkau oleh panahnya. 
Ketiga: menghiasi diri dengan yang mubah (yang diperbolehkan), dari 
jenis yang engkau rindui. Dan yang demikian itu, ialah dengan: kawin. 
Sesungguhnya setiap yang dirindui itu adalah tabiat (instink). Maka pada 
hal-hal yang diperbolehkan dari yang sejenis dengan kawin itu, adalah 
yang mencukupkan baginya, tanpa hal-hal yang dilarang itu. 
Itu adalah pengobatan yang lebih bermanfa’at pada pihak kebanyakan 
orang. Sesungguhnya memutuskan makanan itu melemahkan perbuatan- 
perbuatan yang lain. Kemudian kadang-kadang memutuskan makanan 
tersebut, tidak mencegah nafsu-syahwat pada pihak kebanyakan laki-laki. 
Dan karena itulah, Nabi s.a.w. bersabda: 
(’Alaikum bil-baa-atr. Fa man lam yastathii fa-’alaihi bish-shaumi. Fa 
innash-shauma lahu wijaa-un). 
 
Artinya: ”Haruslah kamu kawin. Maka siapa yang tidak sanggtip, haruslah 
ia bt 'puasa. Sesungguhnya puasa itu baginya suatu keseimbangan” (2). 
Maka inilah tiga sebab itu! 
(1) Diriwayatkan AI-Hakim dan Al-Baihaqi tari Hudza
(2) Diriwayatkan Ath-Thabrani dari Anas. 
 
Pengobatan yang pertama tadi, yaitu: memutuskan makanan, adalah me- 
nyerupai memutuskan makanan bagi hewan yang tidak patuh dan bagi 
anjing yang ganas. Supaya ia lemah. Lalu hilanglah kekuatannya. 
Pengobatan yang kedua menyerupai penjauhan (tidak menampakkan) da- 
ging bagi anjing. Dan penjauhan rumput bagi hewan. Sehingga tidak ter- 
gerak perutnya dengan sebab melihatnya nanti. 
 
Pengobatan yang ketiga menyerupai penghiasan diri dengan sesuatu yang 
sedikit, dari pada yang cenderung tabi’atnya kepadanya. Sehingga tetap 
pada dirinya kekuatan yang dapat bersabar untuk melatihnya. 
 
Adapun penguatan pembangkit agama, sesungguhnya ada dengan dua 
jalan: 
Pertama: memberi makan pembangkit agama pada segala faedah mujahadah 
dan buahnya tentang agama dan dunia. Yang demikian itu, dengan mem- 
banyakkan pikirannya pada hadist-hadist yang telah kami bentangkan da- 
hulu, mengenai kelebihan sabar dan mengenai baik akibatnya pada dunia 
dan akhirat. Dan membanyakkan pikirannya pada atsar: bahwa pahala 
sabar atas musibah adalah lebih banyak daripada yang telah hilang (luput). 
Bahwa dia dengan sebab yang demikian itu menjadi gemar dengan musi- 
bah. Karena telah hilang baginya apa yang tidak kekal padanya, selain 
selama lagi hidup. Dan telah berhasut baginya, apa yang kekal sesudah 
mati, sepanjang masa. Siapa menyerahkan yang keji pada yang berharga, 
maka tiada seyogyanya bergundah hati, karena hilangnya yang keji itu 
dalam seketika. 
 
Ini termasuk sebahagian bab rruCrijah. Dan itu sebahagian dari iman. Pada 
suatu kali, ia lemah dan pada lain kali, ia kuat. Atau ia kuat, niscaya 
Allah pembangkit iman dan dikobarkannya dengan bersangatan. Dan 
kalau ia lemah, niscaya dilemahkannya. 
 
Kuatnya iman itu, diibaratkan dengan yakin. Dan yakinlah yang meng- 
gerakkan kemauan sabar. Dan yang paling sedikit diberikan kepada ma- 
nusia, ialah: yakin dan kemauan sabar itu. 
 
Kedua : bahwa pembangkit agama itu membiasakan berbanting-bantingan 
dengan pembangkit hawa-nafsu, secara beransur, sedikit demi sedikit. 
Sehingga ia memperoleh lazatnya kemenangan dengan berbanting-banting- 
an itu. Lalu ia berani kepadanya dan kuat citantanya pada berbanting- 
bantingan dengan hawa-nafsu tersebut. Sesungguhnya kebiasaan dan se- 
lalu melatih diri dengan perbuatan-perbuatan yang sulit itu mengokohkan 
kekuatan, yang timbul perbuatan-perbuatan itu daripadanya. 
 
Karena itulah, bertambah kekuatan tukang-tukang pikul, petani-petani 
dan orang-orang yang tampil ke medan perang. 
 
Kesimpulannya, kekuatan orang-orang yang terlatih dengan perbuatan- 
perbuatan yang sukar (berat) itu, menambahkan kepada kekuatan tukang- 
tukang jahit, pembuat-pembuat minyak wangi, ahli-ahli fiqh (al-fuqaha’) 
dan orang-orang shalih. 
 
Yang demikian itu, karena kekuatan mereka sesungguhnya tidak bertam- 
bah kokoh dengan latihan itu. 
 
Maka pengobatan pertama itu menyerupai harapan-harapan orang yang 
berbanting-bantingan dengan pemberian (hadiah) ketika menang. Dan 
dijanjikan dengan bermacam-macam kemuliaan. Sebagaimana dijanjikan 
oleh Fir’un kepada ahlinya sihirnya, ketika dimusuhkannya mereka ber- 
hadapan dengan Musa a.s., dimana Fir’un itu berkata: 
 
(Wa innakum idzan la-minal-muqarrabiin). 
 
Artinya: ”Dan kamu jadinya masuk orang-orang yang terdekat (kepada- 
Ku)’’ QS. Asy-Syu’ara ayat 42. 
 
Dan pengobatan yang kedua itu menyerapai pembiasaan anak kecil yang 
dikehendaki nanti dan padanya, berbanting-bantingan dan berperang-perang- 
an, dengan melakukan sebab-sebab yang demikian itu, semenjak dari kecil. 
Sehingga ia jinak dengan yang tersebut, ia berani kepadanya dan kuat 
angan-angannya padanya. Maka siapa yang meninggalkan mujahadah se- 
cara keseluruhan dengan sabar, niscaya lemahlah padanya pembangkit 
agama. Dan ia tidak kuat kepada nafsu-syahwat, walau pun nafsu-syahwat 
itu lemah. 
Siapa yang membiasakan dirinya menyalahi hawa-nafsu, niscaya ia telah 
dapat mengalahkan hawa-nafsu itu manakala dikehendakinya. 
 
Maka inilah jalannya pengobatan pada semua macam sabar. Dan tidak 
mungkin menyempurnakannya. Dan sesungguhnya yang paling berat dari 
segala macam sabar itu, ialah: mencegah batin dari bisikan diri (hadist in- 
nafsi). Dan yang demikian itu bersangatan, adalah terhadap orang yang 
mengosongkan dirinya, untuk sabar, dengan mencegah semua nafsu syah- 
wat lahiriyah, mengutamakan pengasingan diri, duduk untuk 
muraqabah, dzikir dan fikir. Maka bisikan setan senantiasa menariknya 
dari sudut ke sudut. Dan ini tiada obat baginya sekali kali, kecuali me- 
mutuskan semua hubungan, lahir dan batin dengan lari dari keluarga, 
anak, harta, kemegahan, teman-teman dan kawan-kawan. 
 
Kemudian, mengasingkan diri ke suatu tempat peribadatan (zawiyah), 
sesudah mempersiapkan kadar sedikit dari makanan dan sesudah merasa 
cukup dengan makanan yang sedikit tersebut. 
 
Kemudian, semua itu tidak akan mencukupi, selama tidak semua cita-cita 
itu menjadi satu yang ditujukan. Yaitu: ALLAH TA’ALA. Kemudian, 
apabila telah mengerasi yang demikian pada hati, maka tidak akan men- 
cukupi yang demikian, selama belum ada baginya jalan pada berpikir, 
berjalan dengan batiniyahnya pada alam, malakut langit dan bumi, segala 
yang ajaib ciptaan Allah Ta’ala dan yang lain-lain dari segala pintu ma’ri- 
fah Allah Ta’ala. Sehingga apabila yang demikian itu telah menguasai atas 
hatinya, niscaya kesibukannya dengan yang demikian itu, dapatlah me- 
nolak tarikan setan dan bisikannya. Dan kalau ia tidak mempunyai per- 
jalanan dengan batiniyahnya, maka tidak akan melepaskannya, selain oleh 
wirid-wirid yang bersambung, teratur dengan Tertib pada setiap ketika, 
seperti pembacaan Al-Qur-anul-Karim, dzikir-dzikir dan shalat-shalat. 
Dan bersamaan dengan yang demikian, ia memerlukan kepada memaksa- 
kan hati akan kehadirannya. Sesungguhnya pikir dengan batin, itulah yang 
menenggelamkan hati dalam mengingati Allah Ta'ala, tidak wirid-wirid 
lahiriyah. 
 
Kemudian, apabila ia telah mengerjakan yang demikian itu semua, niscaya 
tidak diserahkannya untuk itu dari waktunya, selain sebahagian saja. Ka- 
rena ia tidak akan terlepas pada semua waktunya, dari pada kejadian- 
kejadian yang baru. Lalu menyibukkannya dari fikir dan dzikir, seperti: 
sakit, takut, disakiti manusia dan penganiayaan orang yang bercampur 
baur dengan dia. Karena ia memerlukan kepada bercampur-baur dengan 
orang yang akan menolongnya, pada sebahagian sebab-sebab kehidupan- 
, nya. 
 
Maka inilah salah satu dari bermacam-macam yang menyibukkan itu! 
Adapun macam yang kedua, maka itu penting, lebih bersangatan penting- 
nya daripada yang pertama tadi. Yaitu: kesibukannya dengan makanan, 
pakaian dan sebab-sebab kehidupan lainnya. Maka sesungguhnya penye- 
diaan yang demikian juga, memerlukan kepada kesibukan, kalau dikerja- 
kannya (diuruskannya) sendiri. Dan jikalau diurus oleh orang lain, maka 
ia tidak terlepas dari kesibukan hati dengan orang yang menguruskannya 
itu. 
 
Akan tetapi, sesudah memutuskan semua perhubungan, ia menyerahkan 
untuk itu kebanyakan waktunya, kalau ia tidak diserang oleh cacian orang 
atau sesuatu kejadian. Dan pada waktu-waktu tersebut, bersihlah hatinya, 
mudahlah baginya berfikir dan tersingkaplah padanya rahasia-rahasia 
(asrar) Allah Ta’ala, pada alam malakut langit dan bumi, apa yang tidak 
disanggupinya seper-seratusnya pada waktu yang panjang, jikalau hatinya 
disibukkan dengan hubungan-hubungan yang lain. 
 
Sampainya kepada ini, adalah maqam yang terjauh yang mungkin dicapai 
dengan usaha dan kesungguhan. Adapun kadar yang tersingkap dan jum- 
lah-jumlah apa yang datang dari kasih-sayang Allah Ta’ala pada segala hal 
dan perbuatan, maka yang demikian itu berlaku, sebagaimana berlakunya 
buruan. Yaitu: menurut rezeki. Maka kadang-kadang sedikitlah kesung- 
guhan dan banyaklah buruan yang diperoleh. Kadang-kadang panjanglah 
kesungguhan dan sedikitlah keberuntungan yang diperoleh. Dan pegangan 
dibalik kesungguhan ini, ialah atas tarikan dari tarikan-tarikan Tuhan 
Yang Mahapemurah. Maka itu adalah yang menentangi perbuatan-per- 
buatan jin dan manusia (ats-tsaqalain). Dan tidaklah yang demikian itu 
dengan pilihan (ikhtiar) hamba. 
 
Ya, pilihan hamba pada mendatangi tarikan itu, dengan memutuskan dari 
hatinya, tarikan-tarikan duniawi. Maka sesungguhnya orang yang tertarik 
kepada yang paling rendah dari segala yang rendah itu, tiada akan tertarik 
kepada yang tertinggi dari segala yang tinggi. Semua yang dicita-citakan 
di dunia, maka dia tertarik kepadanya. Maka memutuskan hubungan- 
hubungan yang menariknya itu, adalah yang dimaksud dengan sabda Nabi 
s.a.w.:
 
(Inna lirabbikum fii-ayyaami dahrikum nafahaatin a la fa-ta’arradluu laha). 
Artinya: ”Sesungguhnya Tuhanmu pada hari-hari masamu itu mempunyai 
pemberian-pemberian. Adakah tidak kamu mendatangi kepada pemberian- 
pemberian itu?” (1). 
 
Yang demikian itu adalah karena pemberian-pemberian tersebut dan 
tarikan-tarikan itu, mempunyai sebab-sebab samawiyah (datang dari langit), 
karena Allah Ta’ala berfirman:- 
 
(Wa fis-samaa-i rizqukum wa maa tuu-’aduun). 
 
Artinya: ”Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan ke- 
pada kamu”. QS. Adz-Dzariyat, ayat 22. 
 
Ini termasuk yang tertinggi dari segala macam rezeki. 
Urusan langit itu adalah hal yang ghaib (tidak tampak) bagi kita. Maka 
kita tidak mengetahui, kapan Allah Ta’ala memudahkan sebab-sebab 
mendapat rezeki. Maka tiada atas kita, selain mengosongkan tempat dan 
menunggu turunnya rahmat dan sampainya waktu pada temponya. Seperti 
orang yang memperbaiki tanah dan membersihkannya dari rumput dan 
menaburkan benih padanya. 
 
Semua itu tidak bermanfa’at, selain dengan pelajaran. Dan tidak diketahui, 
kapan Allah Ta’ala mentakdirkan sebab-sebab turunnya hujan. Hanya ia 
percaya dengan kurnia Allah Ta’ala dan rahmatNYA, bahwa IA tidak 
akan membiarkan suatu tahun tanpa pujan. Maka seperti demikian juga, 
amat sedikitlah terlepas tahun, bulan dan hari, tanpa tarikan dari segala 
tarikan dan pemberian dari segala pemberian. Maka seyogyanya hamba itu 
mensucikan hatinya dari rumput nafsu-syahwat. Dan ia menaburkan pada- 
nya benih kemauan dan keikhlasan. Dan didatangkannya hatinya pada 
tempat bertiupnya angin rahmat. Sebagaimana ia kuat menunggu hujan 
pada waktu musim bunga dan ketika tampak mendung 
 
(1) Diriwayatkan Ath-Thabrani dan Ibnan-Najjar dari Muhammad bin Salmah. 
menunggu pemberian-pemberian itu pada waktu-waktu yang mulia dan 
ketika berkumpul semua cita-cita dan tertolonglah hati. Seperti: pada hari 
’Arafah, hari Jum’at dan hari-hari bulan Ramadhan. 
 
Maka cita-cita dan diri itu adalah sebab-sebab dengan hukum takdir Allah 
Ta’ala untuk memperoleh banyak ranhmatNYA. Sehingga dengan sebab 
tersebut, sangat banyaklah hujan pada waktu-waktu meminta turunnya 
hujan (shalat istisqa’). Dan itu untuk banyaknya turun hujan mukasyafah 
dan yang halus-halus dari ma’rifah, ari gudang-gudang alam al-malakut, 
adalah lebih keras bersesuaian daripadanya untuk banyaknya turun titik- 
titik air dan menariknya mendung dari tepi-tepi bukit dan laut. Bahkan 
hal-ihwal dan mukasyafah itu datang bersama  hati engkau. 
Hanya engkau itu sibuk dengan segala hubungan engkau dan nafsu-syah- 
wat engkau. Maka jadilah yang demikian itu suatu hijab (dinding) antara 
engkau dan yang tersebut itu. Lalu sesungguhnya, tiada yang engkau 
perlukan, selain kepada engkau pecahkan nafsu-syahwat dan terangkatlah 
hijab. Lalu cemerlanglah nur ma’rifah dari batin hati. Dan menimbulkan 
air bumi dengan mengorek parit adalah lebih mudah dan lebih dekat dari- 
pada melepaskan air ke bumi dari tempat yang jauh, yang rendah dari- 
padanya. 
 
Dan karena adanya itu hadir di dalam hati dan dilupakan dengan kesibuk- 
an, maka dinamakan oleh Allah Ta’ala semua ma’rifah iman itu tidak di- 
kur (pengingatan). Allah Ta’ala berfirman:
 
(Innaa nahnu nazzal-naadz-dzikra wa innaa lahu la-haafidhuun). 
 
Artinya: ”Sesungguhnya Kami menurunkan Peringatan (Al-Qur’an) itu 
dan sesungguhnya Kami Penjaganya”. QS. Al-Hijr, ayat 9. 
 
 
Allah Ta’ala berfirman: 
 
(Wa-liyatadzak- kara ului-albaab). 
 
Artinya: ”Dan supaya orang-orang yang mengerti, dapat memikirkan”. 
QS. Shad, ayat 29. 
 
Allah Ta’ala berfirman: 
 
(Wa laqad yas-samal-qur-aana lidz-dzikri fahal min mutidakir). 
 
Artinya: ”Dan sesungguhnya Al-Qur-an itu Kami mudahkan untuk di- 
ingati, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”QS. Al-Qamar, 
ayat 17. 
 
Maka ini adalah pengobatan sabai dari bisikan-bisikan setan dan kesibuk 
an-kesibukan. Dan itulah penghabisan derajat sabar.
 
Sesungguhnya sabar (menahan diri) dari hubungan-hubungan seluruhnya 
itu didahulukan dari sabar atas goresan-goresan dalam hati. Ab Junaid r.a. 
mengatakan: ”Berjalan dari dunia ke akhirat itu mudah atas orang mu’min. 
Meninggalkan makhhik pada menyukai kebenaran itu sukar. Berjalan dari 
diri kepada Allah Ta’ala itu payah benar. Dan sabar bersama Allah itu 
sangat sukar”. 
 
Beliau menyebutkan sukrnya sabar dari segala yang menyibukkan hati. 
Kemudian, sukarnya meninggalkan makhluk. Dan hubungan-hubungan 
yang paling sukar atas diri seseorang, ialah: hubungan dengan makhluk 
dan suka kemegahan. Sesungguhnya keenakan menjadi kepala, menang, 
kedudukan tinggi dan banyak pengikut itu, adalah keenakan yang paling 
menjadi kebiasaan di dunia pada diri orang-orang yang berakal. Maka 
bagaimana tidak menjadi kelazatan yang paling menjadi kebiasaan dan 
yang dicari itu adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala? Yaitu ar- 
rububiyah (ketuhanan). Dan ar-rububiyah itu disukai dan dicari menurut 
tabiat hati manusia. Karena padanya, penyesuaian bagi hal-hal ar-rubu- 
biyah. Dan dari yang demikian itu, diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala:
 
(Oulil-ruuhu min amri rabbii). 
 
Artinya: ”Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku”. QS. Al-Isra’ ayat 85 . . 
 
Tidaklah hati itu tercela atas kesukaannya yang demikian. Sesungguhnya 
ia tercela atas kesalahan yang terjadi baginya, disebabkan tipuan setan 
yang terkutuk, yang menjauhkan dari alam urusan Tuhan. Karena setan 
itu dengki kepada adanya hati itu termasuk sebahagian dari alam urusan 
Tuhan. Lalu disesatkannya dan digodakannya. 
 
Bagaimana maka hati itu tercela, pada hal ia mencari kebahagiaan akhirat? 
Ia tidak mencari, selain kekekalan (baqa’), yang tak fana* padanya. Ke- 
muliaan, yang tak hina padanya. Keamanan, yang tak ada ketakutan 
padanya. Kekayaan, yang tak ada kemiskinan padanya. Dan kesempurna- 
an, yang tak ada kekurangan padanya. 
 
Ini semua, adalah termasuk sifat-sifat ar-rububiyah. Dan tidaklah tercela 
mencari yang demikian. Bahkan, setiap hamba itu berhak mencari keraja- 
an besar, yang tiada berkesudahan. Yang mencari kerajaan itu, adalah — 
sudah pasti - yang mencari ketinggian, kemuliaan dan kesempurnaan. 
Akan tetapi, kerajaan itu ada dua kerajaan yang bercampur dengan segala 
terancam kepedihan dan dihubungi dengan cepatnya kehancuran. Akan te- 
tapi dia itu segera, yaitu: di dunia dan (yang kedua), kerajaan yang kekal 
yang tidak bercampur dengan kekeruhan dan kepedihan. Dan tidak di- 
putuskan oleh sesuatu yang memutuskan. Akan tetapi, dia itu lambat 
(nanti). Dan manusia itu dijadikan tergopoh-gopoh, gemar pada yang 
segera. Lalu datanglah setan dan ia mencari jalan kepada manusia, dengan 
jalan segera (terburu-buru) itu, yang menjadi tabiat manusia. Maka di- 
perdayakannya dengan terburu-buru itu, dihiasinya dengan yang 
sudah ada di depan (al-hadlirah). Dan ia mengambil jalan kepadanya de- 
ngan jalan kebodohan. Lalu dijanjikannya dengan tipuan pada akhirat dan 
diberikannya nikmat serta kerajaan dunia itu akan kerajaan akhirat, se- 
bagaimana disabdakan oleh Nabi s.a.w.:
 
(Al-ahmaqu man-atba-’a-nafsahu hawaahaa wa tamannaa-alal-laahil- 
amaaniyya). 
 
Artinya: ”Orang bodoh itu, ialah: orang yang mengikutkan dirinya akan 
hawa-nafsunya dan berangan-angan kepada Allah dengan bermacam-macam 
angan-angan”. (1). 
 
Maka tertipulah orang yang terhina tadi, dengan tipuan setan. Dan ia 
sibuk dengan mencari kemuliaan dunia dan kerajaannya, sekadar kemung- 
kinannya. Dan orang yang memperoleh taufiq, tiada akan teisangkut de- 
ngan tali tipuan setan itu. Karena ia tau, jalan-jalan masuknya tipu-daya 
setan. Lalu, ia berpaling dari yang segera (diminta) itu. 
 
Maka diibaratkan dari hal orang-orang yang terhina itu, dengan firman 
Allah Ta’ala:
 
(Kallaa, bal tuhib-buunal-’aajilata wa tadza-Tuunal-aakhirah). 
 
Artinya: ”Jangan! Tetapi kamu mencintai yang cepat (kehidupan dunia). 
Dan meninggalkan hari akhirat”. QS. Al-Qiamah, ayat 20 - 21. 
 
Allah Ta’ala berfirman:
 
(Innaa haa-ulaa-i yuhib buunal- aajiiata wa yadzarau-na waraa-ahum yau- 
man tsaqiilaa). 
 
Artinya: ”Sesungguhnya orang-orang itu mencintai kehidupan yang cepat 
1dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat”. QS. Ad-Dahr, ayat 
27.  
 
(1) Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Syaddad bin Aus. 
 
Allah Ta’ala berrirman:- 
 
(Fa-a’-ridl-’an-mantawallaa-’an dzikri-naa wa lam yurid, illal-hayaatad- 
dun-ya dzaalika mablaghuhum minal-’ilmi). 
 
Artinya: ”Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan 
pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata. 
Pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. QS. An-Najm, ayat 29 — 30. 
 
Tatkala tipu-daya setan telah beterbangan pada makhluk seluruhnya, 
maka Allah Ta’ala mengutus para malaikat kepada rasul-rasul. Dan meng- 
wahyukan kepada mereka, apa yang telah sempurna atas makhluk dari 
pembinasaan musuh dan penipu dayaannya. Lalu para malaikat itu sibuk 
menyerukan makhluk kepada kerajaan yang hakiki (yang sebenarnya), 
dari kerajaan yang majazi (yang tidak sebenaraya), yang tidak berasal, 
kalau ia bisa selamat. Dan yang majazi itu sekali-kali tidak kekal. Maka 
malaikat menyerukan mereka: 
 
(Yaa-ayyuhal-ladriina-aamanuu, maa lakum idzaa qiila lakumun-firuu fii 
sabiilil-laahits-tsaaqaltum ilal-ardli, a-radliitum bil-hayaa-tid-dun-ya minal- 
aakhirati, famaa mataa-’ul-hayaatid-dun-ya fil-aakhirati illaa qaliil). 
 
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman! Apakah (halangan) bagimu, ke- 
tika dikatakan kepada kamu: BerangkAllah (perang) di jalan Allah, tetapi 
kamu ingin tinggal di bumi. Apakah kamu - lebih - merasa senang dengan 
kehidupan dunia dari akhirat? Kesenangan hidup di dunia ini dibanding- 
kan dengan akhirat, hanyalah sedikit (harganya)”. QS. At-Taubah, ayat 38. 
Taurat, Injil, Zabur, Al-Furqan (Al-Qur-an), Shuhuf Musa dan Ibrahim 
dan semua kitab yang diturunkan, adalah tidak diturunkan, selain untuk 
da’wah (mengajak) makhluk (manusia) kepada kerajaan yang terus-me- 
nerus, lagi kekal. Dan yang dimaksudkan dari mereka, ialah: bahwa me- 
reka itu adalah raja-raja di dunia dan raja-raja di akhirat. 
 
Adapula raja dunia, mereka ialah: zuhud di dunia, merasa puas (al qana’ah) 
dengan sedikit daripadanya. Adapula raja akhirat, maka ialah: dengan 
dekat kepada Allah Ta’ala, memperoleh kekal, yang tak fana’ padanya, 
memperoleh mulia, yang tak hina padanya dan ketetapan mata, yang ter- 
sembunyi pada alam ini, yang tidak diketahui oleh suatu jiwa pun dari 
jiwa-jiwa manusia. 
 
Setan mengajak mereka kepada kerajaan dunia. Karena ia tahu, bahwa 
kerajaan akhirat itu hilang dari dia (tidak diperolehnya). Karena dunia 
dan akhirat itu dua kembar. Dan karena setan itu tahu, bahwa dunia tidak 
juga diserahkan kepadanya. Dan kalau dunia itu diserahkan kepadanya, 
niscaya ia akan dengki pula. Akan tetapi, kerajaan dunia itu tidak terlepas 
dari perbantahan, kekeruhan dan panjangnya kesusahan pada mengatur- 
nya. Dan demikian juga, sebab-sebab kemegahan lainnya. 
 
Kemudian, manakala ia telah menerimanya dan telah sempurna sebab- 
sebabnya, lalu umurnya pun berlalu ”Sehingga apabila bumi telah me- 
makai pakaian keemasannya dan menjadi indah permai dan penduduknya 
mengira, bahwa mereka akan dapat menguasainya. Perintah Kami datang- 
lah di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan bumi itu sebagai ladang 
padi yang sudah dituai, seakan-akan kemarinnya tidak ada apa-apa” (1). 
Maka Allah Ta’ala membuat contoh bagi yang demikian. Maka Ia ber- 
firman: 
 
(Wadl-rib iahum ma tsalal-hayaatid-dun-yaka-maa-in-anzalnaahu minas- 
samaa-i fakh-talatha bihi nabaatul-ardli, fa-ash-baha ha-syiim tadz- 
ruuhur-riyaah). 
 
Artinya: ”Dan Allah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia, se- 
bagai air hujan yang Kami turunkan dari langit (awan) dan karenanya 
tumbuh-tumbuhan di bumi ini menjadi subur, kemudian itu dia menjadi 
kering, diterbangkan angin”. QS. Al-Kahf, ayat 45. 
 
Zuhud di dunia, tatkala adalah itu kerajaan yang sekarang, lalu setan 
dengki kepadanya. Maka dihalanginya daripadanya. 
 
Arti zuhud, ialah: bahwa hamba itu menguasai nafsu-syahwat dan kema- 
rahannya. Lalu keduanya mematuhi pembangkit agama dan isyarat iman. 
Dan ini adalah kerajaan dengan sebenarnya. Karena dengan itu, yang 
mempunyai sifat zuhud tersebut, menjadi merdeka. Dan dengan dikuasai- 
nya olah nafsu-syahwat atas dirinya, dia menjadi budak kemaluannya. 
Kata-kata itu sesuai dengan yang tersebut dalain Al-Our-an Yunus. surat 24 
dan maksud-maksudnya yang lain. Maka dia adalah dipaksakan 
seperti hewan yang ada pemiliknya, yang ditarik oleh tali penambat nafsu- 
syahwat, yang mengambil dengan cekikannya, ke mana dikehendakinya 
dan diingininya. 
 
Maka alangkah besar tertipunya manusia! Karena ia menyangka, bahwa ia 
akan memperoleh kerajaan, dengan dia akan menjadi dimiliki. Ia akan 
mencapai al-rububiyah, dengan dia menjadi hamba. Dan yang seperti ini, 
adakah itu, selain terbalik di dunia, tertelungkup di akhirat? 
 
Karena inilah, sebahagian raja-raja bertanya kepada sebahagian orang- 
orang zahid: ’’Apakah tuan ada keperluan?”. 
 
Orang zahid itu lalu menjawab: ”Bagaimana aku mencari suatu keperluan 
dari engkau, sedang kerajaanku itu lebih besar dari kerajaan engkau?”. 
Maka raja itu bertanya: ”Bagaimana demikian?”. 
 
Orang zahid itu menjawab: ”Siapa, yang engkau itu budaknya, maka dia 
itu budakku”. 
 
Lalu raja itu bertanya pula: "Bagaimana maka demikian?”. 
 
Orang zahid itu menjawab: ”Engkau adalah budak nafsu-syahwat engkau, 
kemarahan engkau, kemaluan engkau dan perut engkau. Dan aku telah 
menguasai mereka itu semuanya. Maka mereka itu adalah budakku”. 
Jadi, maka inilah dia itu raja di dunia. Dan dialah yang menghalau kepa- 
da raja di akhirat. Maka orang-orang yang tertipu dengan tipuan setan, 
niscaya mereka itu merugi di dunia dan di akhirat semuanya. Dan orang- 
orang yang memperoleh taufiq untuk berpegang teguh kepada jalan yang 
lurus (ash-shirathul-musta-taqim), niscaya memperoleh kemenangan di 
dunia dan di akhirat semuanya. 
 
Apabila anda telah mengetahui sekarang akan arti kerajaan dan ar-rubu- 
biyah, arti at-tas-khir (pengadaan) dan al-’ubudiyah, tempat masuknya ke- 
salahan pada yang demikian, cara setan membutakan mata dan 
meragukannya, niscaya mudahlah atas anda mencabut diri dari kerajaan, 
kemegahan, berpaling daripadanya dan sabar dari kehilangannya. Karena 
dengan meninggalkan itu, anda menjadi raja seketika. Dan anda meng- 
harap dengan yang demikian, menjadi raja di akhirat. 
 
Orang yang tersingkap baginya dengan hal-hal ini, sesudah hatinya terta- 
rik dengan kemegahan, jinak hatinya dengan yang demikian, telah mere- 
sap padanya, disebabkan kebiasaan, berhubungan langsung sebab- 
sebabnya, maka tidak memadai baginya pada pengobatan, oleh semata- 
mata ilmu dan tersingkap (al-kasyaf) hijabnya. Akan tetapi, tidak boleh 
tidak bahwa ditambahkan amal kepadanya. Dan amal itu pada tiga per- 
kara: 
 
Pertama: bahwa ia lari dari tempat kemegahan. Supaya ia tidak menyak- 
sikan sebab-sebab kemegahan itu. Lalu sukarlah kepadanya sabar (mena- 
han diri) serta sebab-sebab itu. Sebagaimana larinya orang yang dikuasai 
oleh nafsu-syahwat, daripada menyaksikan bentuk-bentuk yang mengge- 
rakkan nafsu-syahwat itu. Siapa yang tidak berbuat im, maka ia sesung- 
guhilya telah kufur akan nikmat Allah, tentang luasnya bumi. Karena 
Allah Ta’ala berfirman: 
 
(A lam takun ardlul-laahi waasi-atan, fa tuhaajiruu fiihaa). 
 
Artinya: ”Tidakkah bumi Allah itu luas, sehingga kamu boleh pindah ke 
mana-mana?’ QS. An-Nisa ayat 97. 
 
Kedua: bahwa ia memberatkan dirinya pada amal-perbuatannya, akan 
perbuatan-perbuatan yang menyalahi dengan apa yang dibiasakannya. 
Lalu ia menggantikan pemberatan itu dengan memberikan tenaga seada- 
nya dan hiasan malu berganti dengan hiasan tawadhu’ (merendahkan diri). 
Begitu juga, setiap keadaan, hal-ihwal dan perbuatan, tentang tempat 
tinggal, pakaian, makanan, berdiri dan duduk, adalah dibiasakannya, me- 
nurut yang dikehendaki oleh kemegahannya. Maka seyogyanya digantikan- 
nya dengan lawannya. Sehingga mantaplah dengan membiasakan demiki- 
an, lawan apa yang telah mantap padanya, sebelum dibiasakan lawannya. 
Maka tiada arti bagi pengobatan, selain yang berlawanan. 
 
Ketiga: bahwa ia menjaga pada yang demikian itu, kelemah-lembutan dan 
keberangsuran. Maka tidaklah ia berpindah dengan sekali gus kepada tepi 
yang paling jauh, daripada memberikan tenaga tadi. Karena tabiat itu lari 
(tidak senang) dan tidak mungkin memindahkannya dari tingkah-lakunya 
(akhlaknya), selain dengan beransur-ansur. Maka ia meninggalkan seba- 
gian dan menghiburkan dirinya dengan yang sebahagian. Kemudian, 
apabila dirinya telah puas dengan sebahagian itu, lalu ia mulai mening- 
galkan sebahagian dari sebahagian itu, sampai ia merasa puas dengan yang 
masih tinggal. 
 
Begitulah kiranya ia berbuat sedikit demi sedikit, sehingga ia dapat meii- 
cegah sifat-sifat itu, yang telah melekat padanya. Dan kepada keberan- 
suran ini, diisyaratkan dengan sabda Nabi s.a.w.: 
 
 
(Inna haadzad-diina matiinun fa-aughil fiihi bi-rifqin wa laa-tubagh-ghidl 
ilaa-nafsika 'ibaadatal-Ilaahi, fa innal-munbatta laa ardlan qatha-’a wa Iaa 
dhahran abqaa); 
 
Artinya: ”Sesungguhnya Agama ini kokoh, maka berjalanlah padanya 
dengan pelan-pelan. Dan janganlah engkau marahkan kepada diri engkau 
pada ibadah kepada Allah. Maka sesungguhnya orang yang memutuskan 
perjalanannya, tiadalah bumi yang diputuskannya (bumi yang ditempuh- 
nya, sampai kepada yang djtujukannya) dan tiada punggungnya yang di- 
tinggalkannya (yang dapat diambil manfa’atnya)”. (1). 
 
Dan kepadanya juga diisyaratkan dengan sabda Nabi s.a.w.: 
 
(Laa tusyaa’dduu haadza’d-diina fa inna man yusyaaddihi yaghlibhu). 
Artinya: ”Janganlah kamu kerasi agama ini! Maka siapa yang mengerasi- 
nya, niscaya akan mengalahkannya” (2). 
 
Jadi, apa yang telah kami sebutkan tentang pengobatan sabar dari bisikan 
setan, dari nafsu-syahwat dan dari kemegahan diri, maka tambahkanlah 
itu kepada apa yang telah kami sebutkan dahulu dari undang undang jalan 
mujahadah pada Kitab Latihan Jiwa dari Rubu Yang Membinasakan. Ma- 
ka ambillah itu menjadi undang-undang dasarmu (dusturmu), supaya 
engkau ketahui dengan itu pengobatan sabar, pada semua bahagian yang 
telah kami uraikan sebelumnya! Sesungguhnya penguraian satu persatu itu 
akan panjang. Dan siapa yang menjaga keberansuran, niscaya sabar itu 
akan meninggi kepada keadaan, yang sukar padanya sabar, tanpa yang 
demikian. Sebagaimana sukar kepadanya sabar bersama yang demikian 
itu. Lalu terbaliklah semua urusannya. Maka apa yang disukai padanya, 
menjadi tercela. Dan apa yang tidak disukai padanya, menjadi minuman 
yang memuaskan, yang dia tidak dapat sabar daripadanya. 
 
Ini tidak dapat diketahui, selain dengan percobaan dan perasaan. Dan ia 
mempunyai bandingan pada hal-hal kebiasaan. Sesungguhnya anak kecil
dibawa kepada belajar pada permulaan itu dengan paksaan. Maka sukar- 
lah kepadanya sabar (menahan diri) daripada bermain dan bersabar ber- 
sama ilmu. Sehingga apabila terbuka mata hatinya dan hatinya jinak de- 
ngan ilmu, niscaya berbaliklah keadaan. Lalu menjadi sukar kepadanya 
sabar (menahan diri) daripada ilmu dan sabar (terus-menerus) pada per- 
mainan. 
 
Kepada inilah diisyaratkan apa yang diceriterakan dari sebahagian ahli 
ma’rifat (al-’arifin), bahwa ia bertanya kepada Asy-Syibli dari hal sabar: 
”Manakah yang lebih berat?”. 
 
Asy-Syibli menjawab: ”Sabar pada jalan Allah Ta’ala”. 
Lalu al-’arifin itu berkata* ”Tidak!”. 
 
Asy-Syibli lalu berkata:. ”Sabar karena Allah”. 
Al-’Arifin lalu berkata lagi: ’Tidak!”. 
 
Maka Asy-Syibli menjawab: ”Sabar bersama Allah”. 
 
 
(1) Diriwayatkan Ahmad, At-Bazzar, A!-Baihaqi dan Al-'Askari dari Jahir dan dipandang- 
nya hadits ini lemah .{dJa'if). 
 
(2) Diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah. 
 
Al-’arifin berkata pula: ”Tidak!”. , 
 
Lalu Asy-Syibli berkata: ”Jadi, apa?”. 
 
Al-’arifin itu berkata: ”Sabar jauh dari Allah”. 
 
Maka Asy-Syibli memekik dengan pekikan yang hampir menewaskan nya- 
wanya. 
 
Dikatakan tentang arti firman Allah Ta’ala: 
 
(Ishbiruu-wa shaabiruu-wa raabithuu). S. Ali imran, ayat 200. 
 
Ishbiruu fillaah, artinya: Sabarlah pada jalan Allah! 
Shaabiru-billaah, artinya: Sabar-menyabarkanlah dengan sebab Allah! 
Raabithuu-ma’allaah, artinya: Perteguhkanlah kekuatanmu bersama Allah! 
Dikatakan: sabar Allah itu kekayaan. Sabar Allah itu kekekalan (baqa’). 
Sabar ma’allah itu kesempurnaan. Dan sabar ’anillah (sabar jauh dari 
Allah) itu menjauhkan diri. 
 
Dikatakan tentang artinya, sebagai berikut, dengan madah: 
 
Sabar jauh dari engkau, 
maka tercelalah akibatnya. 
Sabar pada hal-hal lain, 
itu terpuji. 
 
Dikatakan pula: 
 
Sabar itu baik, 
pada semua tempat. 
Kecuali atas engkau, 
maka itu tidak baik. 
 
Inilah akhir apa yang kami kehendaki menguraikannya dari pengetahuan 
sabar dan rahasianya.
 

Ihya Ulumuddin 3-4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang