Sendi Ketiga

10 0 0
                                    

SENDI KETIGA: tentang kesempurnaan tobat, syarat-syaratnya dan ke- 
kekalannya sampai akhir umur. 

Telah kami sebutkan dahulu, bahwa tobat itu, adalah ibarat dari penye- 
salan yang mewarisi cita-cita dan maksud, Dan penyesalan itu diwariskan 
oleh ilmu, dengan adanya perbuatan maksiat itu mendindingi antara dia 
dan yang dicintainya. Dan masing-masing dari ilmu, penyesalan dan cinta- 
cinta itu, mempunyai kekekalan (berjalan terus) dan kesempurnaan. Dan 
untuk kesempurnaannya itu ada tanda. Dati untuk kekekalannya itu, 
mempunyai syarat-syarat. Dari itu maka tidak boleh tidak daripada pen- 
jelasan syarat-syarat tersebut. 
Adapun ilmu, maka memandang kepadanya adalah memandang tentang 
sebab tobat dan akan datang penjelasannya. 
Dan penyesalan, ialah: perasaan kesakitan hati ketika merasainya, dengan 
hilangnya yang dicintai. Dan tandanya, ialah: berkepanjangan keluhan, 
kegundahan hati, ketetesan air mata, berkepanjangan menangis dan ber- 
pikir. Orang yang merasakan sebagai siksaan yang menimpa kepada 
anaknya atau kepada sebahagian orang-orang yang dimuliakannya, nisca- 
ya lamalah atas dirinya musibah tersebut dan tangisnya. Dan manakah lagi 
yang mulia, yang lebih mulia kepadanya daripada dirinya sendiri? Dan 
manakah siksaan yang lebih keras dari neraka? Dan manakah sesuatu 
yang Iebih menunjukkan kepada turunnya siksaan, daripada perbuatan- 
perbuatan maksiat? Dan manakah yang memberi tahukan, yang lebih 
benar daripada Allah dan rasulNYA? 
Kalau diceriterakan kepadanya oleh seorang insan, yang dinamakan: dok- 
ter, babwa penyakit anaknya yang sakit itu, tiada akan sembuh dan anak 

itu akan mati, niscaya lamalah kegundahannya dari dalam ketika itu juga. 
Dan tidaklah anaknya itu, yang lebih mulia dari dirinya sendiri. Dan ti- 
daklah dokter itu yang lebih tahu dan yang lebih benar daripada Allah 
dan RasuINYA. Dan tidaklah mati itu, yang lebih berat dari neraka. Dan 
tidaklah sakit itu yang Iebih menunjukkan kepada mati, daripada perbu- 
atan-perbuatan maksiat, kepada kemarahan Allah Ta’ala dan yang mem- 
bawanya ke neraka. 
Maka kepedihan penyesalan itu, manakala adalah lebih berat, niscaya 
untuk penutupan dosa dengan penyesalan tersebut, adalah lebih besar 
harapan. Dan tanda benarnya penyesalan itu, ialah: kehalusan hati dan 
berderainya air mata. Pada hadits disebutkan: 
 (Jaalisu’t-tawwaabiina fa innahum araqqu af-idah).  
Artinya: ”Duduk-duduklah bersama orang-orang yang bertobat. Sesung- 
guhnya mereka itu mempunyai hati yang lebih halus (halus perasaannya)”. 
Di antara tanda kehalusan hati itu, ialah: bahwa melekatnya kepahitan 
dosa-dosa itu dalam hatinya, sebagai ganti dari kemanisannya. Lalu ber- 
gantilah kecenderungan hati, dengan kebencian. Dan kegemaran, dengan 
keliaran hati daripadanya. 
Dan ceritera-ceritera kaum Bani Israil (kaum Yahudi) disebutkan, bahwa 
Allah s.w.t. berfirman kepada sebahagian nabi-nabiNYA, dimana nabi itu 
telah bermohon kepada Allah Ta’ala, untuk diterima tobat seorang 
hamba, yang telah bersungguh-sungguh bertahun-tahun beribadah. Dan ia 
tidak melihat akan diterima tobatnya. Maka Allah Ta’ala berfirman: 
”Demi kemuliaanKU dan keagunganKUI Jikalau kiranya bersyafa’at isi 
langit dan bumi untuk hamba itu, niscaya tidak juga AKU menerima to- 
batnya. Dan kemanisan dosa yang ia bertobat daripadanya, ialah dalam 
hatinya”. 
Kalau anda bertanya, bahwa dosa itu ialah amal perbuatan, yang disukai 
menurut tabiat (naluri) Maka bagaimana memperoleh kepahitannya? 
Maka aku menjawab, bahwa barangsiapa meminum air madu, yang ada di 
dalamnya racun dan tidak diketahuinya dengan perasaan lidah dan ia me- 
rasa enak dengan madu tersebut, kemudian ia sakit dan lama sakitnya dan 
kepedihannya dan berguguran rambutnya dan lumpuh anggota badannya, 
maka apabila diberikan lagi kepadanya air madu yang di dalamnya seperti 
racun itu dan ia dalam keadaan sangat lapar dan ingin kepada kemanisan, 
maka adakah dirinya lari dari madu tersebut atau tidak? 
Kalau anda menjawab: tidak, maka itu adalah perlawanan terhadap yang 
disaksikan dan yang mudah diketahui. Akan tetapi, kadang-kadang diri- 
nya Iari juga dari air madu, yang tidak ada di dalamnya racun. Karena 
serupa dengan yang ada racun. 
Maka didapatilah, bahwa orang yang bertobat akan pahitnya dosa, seperti 
itu. juga adanya. Dan yang demikian itu, karena diketahuinya bahwa se- 
tiap dosa, maka rasanya itu, adalah rasa air madu. Dan kerjanya adalah 
kerja racun. Dan tidaklah shah tobat dan tidak benar, kecuali dengan 
iman yang seperti ini. 
Tatkala sulitnya iman yang seperti ini, niscaya sulitlah tobat dan orang- 
orang yang tobat. Maka tidak ada yang anda lihat, selain orang yang ber- 
paling daripada Allah Ta’ala. Karena memandang enteng dengan dosa, 
berkekalan di atas dosa-dosa itu. 
Maka inilah syaratnya kesempurnaan penyesalan. Dah sayogialah bahwa 
penyesalan itu berkekalan sampai mati. Dan sayogialah ia memperoleh 
akan kepahitan ini pada semua dosa, walaupun belum pernah dikerjakan- 
nya sebelumnya. Sebagaimana didapati oleh oraug yang meminum racun 
dalam air madu, akan.lari hatinya dari air dingin, manakala diketahuinya, 
bahwa dalam air dingin tersebut, ada racun seperti itu. Karena melarat itu 
tidaklah dari air madu, akan tetapi dari apa yang di dalam air madu itu. 
Dan tidaklah melaratnya orang yang bertobat dari curi dan zina, dari segi 
bahwa itu curi dan zina. Akan tetapi dari segi bahwa yang demikian itu 
menyalahi perintah Aliah Ta’ala. Dan yang demikian itu berlaku pada 
tiap-tiap dosa. 
Adapun maksud yang tergerak daripadanya, ialah: kehendak memperoleh 
kembali yang telah telanjur itu. Maka bagi yang demikian itu ada hubung- 
annya dengan masa sekarang. Yaitu, yang mewajibkan meninggalkan 
setiap yang terlarang. Yaitu: yang tiada begitu jelas baginya. Dan melak- 
sanakan setiap yang fardlu (wajib), ialah: dihadapkan kepadanya pada 
sekarang juga. 
Dan mempunyai hubungan pula dengan masa yang lalu. Yaitu: memper- 
oleh kembali apa yang telah telanjur. Dan juga hubungan dengan masa 
mendatang. Yaitu: berkekalan tha’at dan berkekalan meninggalkan mak- 
siat sampai mati. 
Syarat shahnya tobat pada yang menyangkut dengan masa yang lampau, 
ialah: bahwa ia mengembalikan pikirannya kepada hari pertama ia dewasa 
dengan umur atau dengan mimpi (ihtilam). Dan ia memeriksa dari apa 
yang telah lalu dari umurnya, tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari 
dan nafas ke nafas. Dan ia memperhatikan kepada perbuatan-perbuatan 
tha’at, apa yang ia teledor daripadanya. Dan kepada perbuatan-perbuatan 
maksiat, apa yang telah diperbuatnya dari perbuatan maksiat itu. 
Kalau ia meninggalkan shalat atau ia mengerjakan shalat dengan kain ber- 
najis atau ia mengerjakan shalat dengan niat yang tidak betul, karena 
kebodohannya dengan syarat niat, maka di-qadla-kannya shalat itu dari 
akhirnya shalat yang dikerjakannya tadi. 
Kalau ia ragu tentang bilangan apa yang telah luput dari shalat itu, nis- 
caya dihitungnya dari masa kedewasaannya. Dan ditinggalkannya kadar 
yang ia yakin, bahwa itu telah dilaksanakanny a. Dan di-qadla-kannya 
yang sisanya. Dan boleh ia mengambil yang demikian itu, dengan keras 
dugaannya. Dan ia sampai kepada yang demikian, di atas jalan penyeli- 
dikan dan ijtihad. 
Adapun puasa, maka kalau ditinggalkannya dalam perjalanan (bermusafir) 
dan tidak di-qadla-kannya atau ia buka puasa itu dengan sengaja atau ia 
lupa niat di malam hari dan tidak di-qadla-kannya, maka hendaknya dike- 
tahuinya semua yang tersebut itu dengan penyelidikan dan ijtihad. Dan ia 
berbuat dengan meng-qadla-kannya. 
Adapun zakat , maka dihitungnya semua hartanya dan bilangan tahun, dari 
permulaan dimilikinya harta( itu Tidak dari masa ia dewasa. Karena zakat 
itu sesungguhnya wajib pada harta anak kecil. Maka dibayarnya apa yang 
diketahuinya dengan keras dugaan, bahwa itu dalam tanggungannya. Ka- 
Iau dibayarnya, tidak di atas cara yang sesuai dengan mazhabnya, seperti: 
tidak diserahkannya kepada delapan jenis atau ia mengeluarkan ganti, se- 
dang dia atas mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i r.a., maka ia qadla ( semua yang 
demikian. Karena yang demikian itu, tidak sekali-kali memadai. Hitungan
(hisab) zakat dan mengetahui yang demikian itu, panjang uraiannya. Dan 
memerlukan padanya kepada penelitian yang jernih. Dan harus ia mena
nyakan cara mengeluarkan zakat itu pada para ulama. 
Adapun hajji, maka kalau ia telah mempunyai kesanggupan pada sebaha- 
gian tahun-tahun yang lalu dan tidak sepakat baginya untuk keluar pergi 
hajji dan sekarang ia telah bangkerut, maka haruslah atasnya keluar ke 
hajji itu, 
Kalau ia tidak mampu serta kebangkerutan itu, maka haruslah ia berusaha 
dari harta halal, kadar bekal yang mencukupi, Kalau ia tidak mempunyai 
usaha dan tidak mempunyai harta, maka harus ia meminta kepada ma- 
nusia, untuk diserahkan kepadanya dari zakat atau sedekah-sedekah, apa 
yang dapat ia melakukan hajji itu. Karena, jikalau ia mati sebelum hajji, 
niscaya ia mati dalam keadaan maksiat. Nabi s,a.w. bersabda:
Artinya: ”Barangsiapa mati dan belum naik hajji, maka hendaklah ia 
mati, kalau dikehendakinya Yahudi. dan kalau dikehendakinya Nasrani”. 
(1). 
(1) Dirawikan AI-Baihaqi dan Ad-Daraquthni dari Abi Amamah
Kelemahan yang datang sesudah mampu, tidaklah gugur hajji daripada- 
nya. Maka ini adalah jalan pemeriksaannya dari perbuatan-perbuatan 
tha’at dan memperolehnya kembali. 
Adapun perbuatan-perbuatan maksiat, maka Wajib ia memeriksakannya 
dari permulaan dewasanya dari pendengarannya, penglihatannya, lidah- 
nya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya dan anggota-anggota 
badannya yang lain, Kemudian, ia memperhatikan pada semua harinya 
dan jamnya. Dan ia uraikan pada dirinya, dewan perbuatan maksiatnya, 
sehingga ia melihat kepada semua perbuatan maksiat, dosa kecilnya dan 
dosa besarnya. Kemudian, ia memandang pada yang demikian itu. Maka 
apa yang ada dari yang demikian itu, diantaranya dan Allah Ta’ala, dari 
Segi yang tiada menyangkut dengan perbuatan kezaliman kepada hamba- 
hamba Allah, seperti memandang kepada wanita yang bukan mahram, 
duduk dalam masjid serta berhadats janabah, memegang Mash-haf (Al- 
Qur-an), tanpa wudlu’, i’-tiqad bid’ah, minum khamar, mendengar yang 
sia-sia dan lain-lain dari itu, dari apa yang tidak menyangkut dengan per- 
buatan kezaliman kepada hamba-hamba Allah. Maka tobat dari yang de- 
mikian itu, ialah: dengan penyesalan dan bersedih hati atas perbuatan 
maksiat itu. Dan dengan menghitung kadarnya dari segi besar dan waktu. 
Dan dicari bagi tiap-tiap perbuatan maksiat, daripadanya yang baik, yang 
bersesuaian dengan maksud tersebut. Maka ia kerjakan dari perbuatan- 
perbuatan kebaikan, menurut kadar perbuatan-perbuatan kejahatan itu, 
karena mengambil dari sabda Nabi s.a.w.: 
Artinya: ”Bertaqwalah kepada Allah, di mana saja engkau berada. Dan 
iringilah kejahatan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan meng- 
hapuskan kejahatan”. (1). 
(1) Diriwayatkan At-Tirmdri dari Abu Dzar. 
Akan tetapi juga dari firman Allah Ta’ala: 
Artinya: ”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik menghilangkan per- 
buatan-perbuatan buruk”. S. Hud, ayat 114. 
Maka mendengar yang sia-sia itu ditutup (hilang dosanya) dengan men- 
dengar pembacaan Al-Qur-an dan dengan duduk pada majlis dzikir (tem- 
pat berdzikir kepada Allah Ta’ala). Duduk dalam masjid dengan janabah 
- (hadats besar) ditutup dengan i’tikaf dalam masjid serta melaksanakan 
ibadah. Memegang Mash-haf (Al-Qur-an) dengan berhadats ditutup de- 
ngan memuliakan Mash-haf, banyak membaca Al-Qur-an dari Mash-haf 
dan banyak menciumnya. Dan dengan menuliskan Mash-haf dan mewa- 
kafkannya. Minum khamar ditutup dengan menyedekahkan minuman ha- 
lal, yang lebih baik dan yang lebih disukainya. 
Menghitung semua perbuatan maksiat itu tidak mungkin. Hanya dimak- 
sudkan, ialah menempuh jalan yang berlawanan. Penyakit itu diobati de- 
ngan lawannya. Maka setiap kegelapan yang meninggi pada hati dengan 
perbuatan maksiat, tiada akan dihapuskan, selain oleh nur (cahaya ) yang 
meninggi padanya dengan perbuatan baik, yang melawani perbuatan mak- 
Yang berlawan-lawanan itu, ialah: yang bersesuaian. Maka karena itulah, 
sayogianya bahwa setiap kejahatan dihapuskan dengan kebaikan dari 
jenisnya. Akan tetapi, yang berlawanan dengan dia. Maka putih itu dihi- 
langkan dengan hitam. Tidak dengan panas dan dingin. 
Keberangsuran dan pentahkikan ini adalah: termasuk yang halus pada 
jalan penghapusan itu. Maka harapan padanya itu lebih benar dan keper- 
cayaan kepadanya lebih besar, daripada selalu membiasakan kepada satu 
macam dari ibadah-ibadah. Walaupun yang demikian itu juga membekas 
pada penghapusan. 
Maka inilah hukum di antara hamba itu dan Allah Ta’ala. Dan menunjuk- 
kan, bahwa sesuatu ltu ditutup (hilang dosanya) dengan lawannya. Bahwa 
mencintai dunia itu, adalah kepala setiap kesalahan. Dan bekas mengikuti 
dunia dalam hati itu, ialah: gembira dengan dunia dan sayang kepada du- 
nia. Maka tak dapat tidak, bahwa setiap hal yang menyakitkan, yang me- 
nimpa orang muslim, yang tidak kena hatinya dengan sebab tersebut dari 
duhia, niscaya itu adalah kafarat (penutup dosa) baginya. Karena hati itu 
tidak tetap dengan dukacita dan kegelapan dari kampung dukacita. 
Nabi s.a.w. bersabda: 
Artinya: ”Setengah dari dosa-dosa itu, ialah: dosa-dosa yang tidak akan 
ditutup, selain oleh duka cita” (1). 
(1) Diriwayatkan Abu Na’im dari Abu Hurairah, dengan sanad dla-‘if. 
Dan pada susunan kata yang lain berbunyi: 
Artinya: "Selain dukacita pada mencari kehidupan”. 
Pada hadits 'Aisyah r.a. disebutkan: 
Artinya: ”Apabila dosa hamba Allah itu banyak dan ia tidak mempunyai 
amalan yang akan menutupkannya (yang menjadi kaffaraf bagi dosa itu), 
niscaya dimasukkan oleh Allah Ta’ala kepada hamba tadi kedukacitaan. 
Maka adalah ke-dukacita-an itu kaffarah (yang menutupkan) dosa-dosa- 
nya” (1). 
(1) Diriwayatkan Ahmad dari ’Aisyah 
Dan dikatakan, bahwa dukacita yang dimasukkan ke dalam hati dan ham- 
ba itu tidak mengetahui, ialah: kegelapan dosa dan dukacita dengan dosa- 
dosa itu. Dan hati merasakan dengan berdiri waktu hisab amal dan huru- 
hara pemandangan. 
Kalau anda mengatakan, bahwa ke-dukacita-an manusia itu, biasanya me- 
nyangkut dengan harta, anak dan kemegahannya. Dan itu suatu kesalah- 
an. Maka bagaimana itu menjadi kaffarah (penutup dosa)?. 
Ketahuilah kiranya, bahwa kecintaan itu suatu kesalahan dan tidak mem- 
punyai kecintaan itu suatu kaffarah. Dan jikalau ia bersenang-senang de- 
ngan yang tersebut itu, niscaya sempurnalah kesalahan. Diriwayatkan, 
bahwa Jibril a.s. masuk ke tempat Yusuf a.s. dalam penjara. Lalu Yusuf 
a.s. bertanya kepadanya: ”Bagaimana aku tinggalkan orang tua yang ma- 
lang itu?” (2). 
(2) Maksudnya, ayahnya: Nabi Ya’qub a.s. 
Lalu Jibril a.s. menjawab: ’la gundah hati kepada engkau, sebab gundah- 
nya hati seratus kehilangan anak”. 
Yusuf a.s. lalu bertanya: ”Apakah yang diperolehnya di sisi Allah?”. 
Jibril a.s. menjawab: ”PahaIa seratus orang syahid”. 
Jadi, dukacita juga menutupkan ( menjadi kaffarah) bagi hak-hak Allah. 
Maka inilah hukum, apa yang di antaranya dan Allah Ta’ala! 
Adapun perbuatan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah, maka pada- 
nya juga maksiat dan jinayah (pelanggaran) atas hak Allah Ta’ala, Karena 
sesungguhnya Allah Ta’ala melarang juga daripada perbuatan zalim ter- 
hadap hamba. Maka apa yang menyangkut daripadanya dengan hak Allah 
Ta’ala, niscaya dapat diperolehya kembali, dengan penyesalan dan penge- 
luhan. Dan meninggalkan yang seperti itu pada masa mendatang dan ber- 
buat dengan kebaikan-kebaikan yang menjadi lawan dari kejahatan-keja- 
hatan itu. Maka seimbanglah perbuatan menyakitkan manusia, dengan 
berbuat kebaikan kepadanya. Perampasan harta mereka ditutup dengan 
bersedekah, dengan miliknya yang haial. Mengambil kehormatan mereka 
dengan umpatan dan celaan, ditutup dengan pujian kepada ahli agama 
dan melahirkan apa yang dikenal dari perkara-perkara kebajikan, dari 
teman-teman dan orang-orang yang seperti ahli agama itu. Membunuh 
jiwa orang ditutup dengan memerdekakan budak. Karena yang demikian 
itu menghidupkan kembali. Karena hamba itu tidak ada (mafqud) bagi 
dirinya dan ada (maujud) bagi tuannya. Dan memerdekakan itu adalah 
pengadaan kembali , di roana roanusia tidak mampu yang lebih banyak dari 
itu. Maka seimbanglah peniadaan (i’dam) dengan pengadaan (ijad). 
Dan dengan ini, anda dapat mengetahui, bahwa apa yang telah kami se- 
butkan dahulu, dari perjalanan jalan yang berlawanan pada penutupan 
dosa dan penghapusannya, dapat dipersaksikan pada syara’ (agama), di 
mana kaffarat pembunuh itu, dengan memerdekakan budak. 
Kemudian, apabila diperbuat yang demikian seluruhnya, niscaya tidak me- 
lepaskannya dan tidak memadai, selama ia tidak keluar dari perbuatan 
zalim kepada hamba-hamba Allah. Perbuatan zalim kepada hamba-hamba 
itu, adakalanya pada diri atau harta atau kehormatan atau hati. Aku mak- 
sudkan dengan yang demikian, ialah: menyakiti semata-mata. 
Adapun diri , maka kalau berlaku atasnya pembunuh karena tersalah, 
maka tobatnya, ialah: dengan menyerahkan diyat (denda dengan harta) 
dan sampainya diyat itu kepada yang berhak menerimanya. Adakalanya 
dari yang membunuh atau dari keluarganya. Dan itu dalam tanggungan- 
nya, sebelum sampai kepada yang berhak. 
Kalau pembunuhan itu karena sengaja, yang mewajibkan qishash (ambil 
bela), maka tobatnya, ialah dengan qishash. Kalau pembunuh itu tidak di- 
kenal, maka harus ia memperkenalkan diri pada wali yang terbunuh. Dan 
wali itu akan menghukumnya pada nyawanya. Kalau ia mau, ia dapat me- 
ma’afkannya. Dan kalau ia mau, ia membunuhnya. Dan tidak gugur tang- 
gungannya, kecuali dengan yang tersebut itu. Dan tidak boleh baginya 
menyembunyikan. 
Dan tidaklah ini, seperti kalau ia berzina atau meminum khamar atau 
mencuri atau merampok di jalanan atau memperbuat yang mewajibkan 
atasnya hukuman (hadd) Allah Ta’ala. Maka yang tersebut ini, tidak ha- 
rus ia dalam bertobat, bahwa membuka kekurangan dirinya dan merusak- 
kan apa yang tertutup dan menuntut dari wali si terbunuh menyempurna- 
kan hak Allah Ta’ala. Bahkan harus atasnya mencari penutupan dengan 
ditutup oleh Allah Ta’ala. Dan ia menegakkan hukuman (hadd) Allah 
atas dirinya, dengan bermacam-macam mujahadah dan penyiksaan. Maka 
kema’afan pada semata-mata hak Allah Ta’ala itu dekat kepada orang- 
orang yang tobat, yang menyesal. Maka kalau urusan ini disampaikan 
kepada wali si terbunuh, sehingga ia menegakkan hukuman (hadd) atas 
orang itu, niscaya jatuhlah hukuman ini pada tempatnya. Dan adalah to- 
batnya itu tobat yang shah, yang diterima pada sisi Allah Ta’ala, dengan 
dalil apa yang diriwayatkan: bahwa Ma’iz bin Malik datang kepada Ra- 
sulu’llah s.a.w., seraya berkata: ”Wahai Rasulullah! Aku sesungguhnya 
telah berbuat za!im kepada diriku sendiri dan aku berzina. Dan aku sC- 
sungguhnya bermaksud agar engkau mensucikan aku”. 
Rasulullah s.a.w. lalu menolak permintaan itu. 
Pada keesokan harinya, ia datang lagi kepada RasuluUlah s.a.w., seraya 
berkata: ”Wahai Rasulullah! Aku sesungguhnya telah berbuat zina”. 
Rasulullah s.a.w. lalu menolak kali yang kedua itu. 
Tatkala Ma’iz bin Malik tadi datang pada kali ketiga, lalu Rasulullah 
s.a.w. menyuruhnya menggali sebuah lobang baginya. Kemudian, ia disu- 
ruh menyiapkan diri, lalu ia dijatuhkan hukuman rajam (dihukum dengan 
dilemparkan batu, sampai mati). 
Manusia pada yang demikian itu menjadi dua golongan. Ada yang berka- 
ta, mengatakan: ”Telah binasa Orang itu. Dan dia telah diliputi oleh kesa- 
lahannya”. 
Dan yang lain mengatakan: ”Tiadalah tobat, yang lebih benar dari tobat 
orang itu”. 
Artinya: ”Orang itu telah bertobat. Jikalau tobat itu dibagi-bagi di antara 
ummat, niscaya meluasi mereka itu”. (1). 
(1) Hadits ini diriwayatkan Muslim dari Buraidah bin AI-Khusaib. 
Al-Ghamidiyah datang kepada Rasulullah s.a.w., seraya berkata: ”Wahai 
Rasulullah! Aku sesungguhnya telah berzina. Maka sucikanlah aku!”. 
Rasulullah s.a.w. lalu menolak permintaan wanita tersebut. 
Ketika pada keesokan harinya, wanita itu berkata lagi: ”Wahai Rasulu- 
llah! Mengapa engkau menolak permintaanku? Kiranya engkau mau 
membulak-balikkan aku, sebagaimana engkau dahulu membulak-balikkan 
Ma’iz? Demi Allah, sesungguhnya aku sudah hamil”. 
Rasulullah s.a.w. lalu menjawab: 
Artinya: ”Adapun sekarang, maka pergilah, sehingga engkau sudah me- 
lahirkan. 
Tatkala wanita tersebut sudah melahirkan, lalu ia datang lagi dengan 
membawa bayinya dalam kain buruk, seraya ia mengatakan: ”lnilah anak 
yang telah aku lahirkan”. 
Rasulu’Ilah s.a.w. lalu menjawab: 
Artinya: ”Pergilah, maka susuilah dia, sehingga nanti, engkau putuskan 
penyusuannya!". 
Tatkala telah diputuskannya penyusuan bayi itu, Ialu ia datang lagi dengan 
membawa anak kecil itu. Dan pada tangannya sekerat roti, seraya ia ber- 
kata: “Wahai Nabi Allah! Aku sudah putuskan penyusuan anak ini. Dan 
ia sudah memakan makanan”. 
Rasulullah s.a.w. lalu menyerahkan anak kecil itu kepada seorang laki- 
laki dari kaum muslimin. Kemudian, beliau menyuruh wanita itu untuk 
bersiap menerima hukuman. Lalu digali untuk wanita itu tanah, dalamnya 
sampai ke dadanya. 
Dan Rasulullah s.a.w. menyuruh manusia, lalu mereka merajamkannya 
(melemparkannya dengan batu, sampai ia mati). 
Lalu datang Khalid bin Walid membawa sebutir batu. Ia melemparkan 
kepala wanita itu dengan batu tersebut. Maka terperciklah darah atas mu- 
ka Khalid. Lalu Khalid memaki wanita tersebut. 
Tatkala Rasulu’Ilah s.a.w. mendengar makian Khalid kepada wanita itu, 
maka beliau bersabda: 
Artinya: ”Hati-hati, hai Khalid! Demi Allah, yang diriku di TanganNYA! 
Wanita itu telah bertobat. Jikalau sekiranya orang yang mengutip cukai 
barang, bertobat seperti wanita itu, niscaya diampunkan dosanya”. 
Kemudian Nabi s.a.w. menyuruh disiapkan, lalu dilakukan shalat janazah 
atas wanita itu. Dan dikebumikan (1). 
(1) Diriwayatkan Muslim dari Buraidah.
Adapun qishash (ambil bela atas pembunuhan) dan hadd qadzaf (hukuman 
karena menuduh orang berzina), maka tidak boleh tidak, daripada dihalal- 
kan oleh yang punya hak pada yang demikian. Kalau yang diambil itu har- 
ta, yang diambilnya dengan merampas atau dengan khianat (melanggar 
kepercayaan) atau penipuan pada jual-beli, dengan semacam mencampur- 
adukkan barang, seperti: melakukan penjualan barang palsu atau menutup 
kekurangan pada barang yang dijual atau mengurangi ongkos orang yang 
mencari upah atau tidak memberikan upahnya, maka semua yang demi- 
kian itu, harus diperiksa. Tidak dari sejak batas kedewasaannya, akan te- 
tapi dari permulaan masa adanya. Karena apa yang wajib pada harta anak 
kecil, maka wajib atas anak kecil itu mengeluarkannya sesudah ia dewasa, 
kalau walinya teledor pada yang demikian itu. 
Kalau tidak diperbuatnya, niscaya dia itu zalim yang dituntut atas keza- 
limannya. Karena sama saja tentang hak-hak kehartaan, di antara anak 
kecil dan orang dewasa. Dan hendaklah ia memperhitungkan dirinya di 
atas biji-bijian dan mutiara, dari permulaan dari hidupnya, sampai kepada 
hari tobatnya, sebelum ia diperhitungkan (dihisab) pada hari kiamat. Dan 
hendaklah ia berdebat sendiri, sebelum dia diperdebatkan. 
Maka orang yang tidak memperhitungkan dirinya sendiri di dunia, niscaya 
lamalah di akhirat hisabnya (perhitungan amalnya). Maka kalau sudah ada 
hasil jumlah apa yang atas tanggungannya, dengan keras sangkaan dan se- 
macam dari ijtihad yang mungkin, maka hendaklah dituliskannya. Dan 
hendaklah dituliskannya nama-nama orang yang dianiayanya, seorang 
demi seorang. Dan hendaklah ia -mengelilingi di sudut-sudut negeri dan 
hendaklah dicarinya mereka. Dan hendaklah dimintanya kehalalan (ke- 
ma’afan) dari mereka. Atau hendaklah dilunaskan hak-hak mereka. 
Tobat inilah yang sukar atas orang-orang yang berbuat zalim dan sauda- 
gar-saudagar. Karena mereka tidak sanggup mencari orang-orang yang 
pernah mereka bermu’amalah (berjual beli) dengan semua orang-orang 
itu. Dan tidak sanggup mencari para pewaris mereka. Akan tetapi, atas 
masing-masing orang yang berbuat zalim atau berniaga itu, bahwa ia ber- 
buat dari yang demikian, apa yang disanggupinya. Kalau ia tidak sanggup 
(lemah), maka tidak tinggal baginya jalan, selain ia memperbanyak ber- 
buat kebaikan. Sehingga kebajikan itu meluap banyaknya daripadanya 
pada hari kiamat. Lalu kebaikan-kebaikannya itu diambil dan diletakkan 
pada daun neraca orang-orang yang pernah dianiayanya. Dan hendaklah 
banyaknya kebaikan itu, menurut kadar banyaknya kezalimannya. Maka 
sesungguhnya, jikalau tidak mencukupi kebaikannya untuk kezalimannya, 
niscaya diambil dari kejahatan orang-orang yang pernah dianiayanya. 
Maka ia binasa dengan kejahatan-kejahatan orang lain. 
Maka inilah jalan setiap orang yang bertobat pada penolakan kezaliman. 
Dan ini mengharuskan tenggelamnya umur dalam kebaikan, jikalau pan- 
janglah umur itu menurut jamannya masa kezaliman. 
Maka bagaimanakah kiranya yang demikian itu, yang termasuk tidak di- 
ketahui? Dan kadang-kadang ajal itu sangat dekat. Maka sayogialah bah- 
wa ia menyiapkan diri bagi kebaikan. Dan waktu itu sempit, lebih berat 
daripada ia menyiapkan dirinya dahulu pada perbuatan maksiat, dalam 
waktu yang Iapang. 
Inilah hukum perbuatan-perbuatan zalim yang tetap dalam tanggungan- 
nya! 
Adapun harta-hartanya yang masih ada, maka hendaklah dikembalikannya 
kepada pemiliknya, apa yang diketahuinya dari pemilik yang tertentu. 
Dan apa yang tidak diketahuinya akan pemiliknya, maka haruslah ia ber- 
sedekah dengan harta tersebut. 
Kalau bercampur harta halal dengan harta haram, maka haruslah ia me- 
ngetahui kadar yang haram itu dengan ijtihad. Dan ia bersedekah dengan 
kadar yang demikian, sebagaimana telah dahulu penguraiannya pada Ki-
tab Halal dan Haram. 
Adapun jinayah (penganiayaan) pada hati dengan memperkatakan hal 
orang, dengan yang menyakitinya atau yang memalukannya dengan upat- 
an, maka dituntut tiap-tiap orang yang berbuat demikian dengan lidahnya 
atau menyakitkan hati dengan sesuatu perbuatan dari perbuatan-perbuat- 
annya. Dan hendaklah ia minta dihalalkan (dima’afkan) pada seorang 
demi seorang dari mereka. Dan siapa yang telah mati atau tidak dapat 
berjumpa (telah menghilang), maka habislah urusan dengan orang terse- 
but. Dan tidak dapat diperoleh kembali, selain dengan memperbanyakkan 
berbuat kebaikan. Supaya kebaikan itu dapat diambil daripadanya, seba- 
gai ganti pada hari kiamat. 
Adapun orang yang dapat dijumpainya dan orang itu menghalalkannya 
(mema’afkannya) dengan baik hati, maka yang demikian itu adalah kaf- 
farahnya (yang menutupkan dosanya). Dan ia harus memberi-tahukan 
kepada orang itu, kadar jinayahnya dahulu dan dikemukakannya kepada 
orang tersebut. Maka meminta dihalalkan (dima’afkan) secara tidak jelas 
(mubham) itu tidak mencukupi. 
Kadang-kadang, jikalau orang yang dianiayanya itu, tahu yang demikian 
dan banyaknya perbuatan yang melampaui batas terhadap dirinya, niscaya 
hatinya tidak baik (tidak mau) dengan menghalalkan (mema’afkan). Dan 
disimpannya yang demikian itu pada hari kiamat, sebagai suatu simpanan 
yang akan diambilnya dari kebaikan-kebaikan orang yang berbuat kesalah- 
an tadi. Atau orang itu menanggung dari kejahatan-kejahatannya. 
Kalau ada dalam jumlah jinayahnya atas orang lain, sesuatu, jikalau dise- 
butkan dan diketahuinya, niscaya orang itu merasa sakit dengan menge- 
tahuinya. Seperti: zinanya orang itu dengan budak wanitanya atau isteri- 
nya. Atau disebutkan dengan lidah salah satu kekurangan dari kekurang- 
an-kekurangannya yang tersembunyi, yang sangat menyakitkannya, mana- 
kala diperkatakan dengan lidah. Maka yang demikian itu telah menyum- 
batkan kepadanya jalan meminta ma’af. Maka tiada lagi baginya, selain ia 
meminta ma’af, kemudian masih tinggal kezaliman itu. Lalu hendaklah di- 
tampalkannya dengan kebaikan-kebaikan. Sebagaimana ia menampalkan 
akan perbuatan kezaliman terhadap orang yang sudah mati dan orang 
yang tidak dapat dijumpai (yang telah menghilang, yang tidak diketahui 
tempatnya). 
Adapun menyebutkan dan memperkenalkan kekurangan orang, maka itu 
adalah kejahatan baru, yang wajib diminta penghalalan daripadanya. Dan 
manakala ia menyebutkan penganiayaannya dan diketahui oleh orang 
yang dianiayainya, lalu dirinya tidak mau meminta ma’af (dihalalkan), nis- 
caya tinggallah kezaliman itu atas dirinya. Maka itu adalah haknya. Ha- 
ruslah ia berkata dengan lemah-lembut dan berusaha pada memenuhi ke- 
pentingan dan maksud-maksudnya. la melahirkan kecintaan dan kesayang- 
annya kepada orang yang dianiayanya itu dengan sesuatu yang akan men- 
cenderungkan hatinya kepadanya. Sesungguhnya manusia itu adalah" 
budak perbuatan kebaikan. Dan setiap orang yang lari hatinya, disebab- 
kan perbuatan jahat, niscaya hatinya akan cenderung dengan perbuatan 
baik. Maka apabila hatinya telah baik dengan banyak kasih-sayang dan 
lemah-lembutnya, niscaya dirinya membolehkan untuk memberi ma’af. 
Maka jikalau ia enggan juga, selain terus menerus tidak mau mema’afkan, 
maka adalah kelemah-Iembutan dan keminta ma’afannya kepada orang 
tersebut, temasuk dalam jumlah perbuatan baiknya, yang mungkin akan 
menampalkan, pada hari kiamat akan penganiayaannya. Dan hendaklah 
kadar usahanya pada kesukaan dan kegembiraan hatinya dengan kasih- 
sayang dan lemah-Iembutnya itu, seperti kadar usahanya pada menyakiti- 
nya. Sehingga, apabila salah satu daripada keduanya melawan akan yang 
lain atau bertambah atas yang lain, niscaya diambil yang demikian itu, se- 
bagai ganti daripadanya pada hari kiamat dengan hukum Allah atasnya. 
Seperti orang yang menghilangkan harta orang Iain di dunia, lalu ia da- 
tangkan dengan harta yang seperti harta tersebut, lalu orang yang punya 
harta itu tidak mau menerimanya dan tidak mau melepaskannya, maka 
hakim akan menetapkan (memutuskan) atas orang itu dengari menerima- 
nya. Ia mau atau tidak mau. 
Maka 'seperti demikian juga, akan diputuskan pada dataran tinggi hari ki- 
amat, oleh Allah hakim dari segala hakim dan Maha adil dari segala yang 
adil. Dan pada hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dari 
Kitab Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Abi 
Sa’id Al-Khudri, bahwa: Nabi Allah s.a.w. bersabda: 
”Adakah pada orang-orang sebelum kamu, seorang Iaki-laki, yang telah 
membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu ia menanyakan, tentang 
orang yang terpandai dari penduduk bumi. Maka ia ditunjukkan kepada 
seorang pendeta. Lalu ia datang kepada pendeta itu, seraya mengatakan, 
bahwa ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Adakah bagi- 
nya jalan bagi tobat? 
Pendeta itu menjawab: ”Tidak”. > 
Lalu dibunuhnya pendeta itu. Maka sempurnalah dengan yang demikian 
itu, seratus orang yang dibunuhnya. 
Kemudian, ia menanyakan lagi, tentang orang yang terpandai dari pendu- 
duk bumi. Lalu ditunjukkan kepada seorang ’alim. Maka ia mengatakan 
kepada orang itu, bahwa ia telah membunuh seratus orang. Adakah bagi- 
nya jalan untuk tobat? 
Orang ’alim itu menjawab: ”Ada! Dan siapa yang mendindingi di antara- 
nya dan tobat itu, maka pergilah ke bumi (negeri) itu dan itu! 
Di situ ada banyak manusia, yang beribadah kepada Allah ’Azza wa Jalla. 
Maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka! Dan jangan engkau 
kembali ke bumimu (negerimu), karena bumimu itu bumi jahat!” 
Lalu orang itu berjalan, sehingga sampai setengah jalan. Maka ia mening- 
gal dunia. Lalu bertengkarlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang 
orang tersebut. 
Malaikat rahmat mengatakan, bahwa orang itu datang bertobat, mengha- 
dap kepada Allah dengan hatinya. 
Dan malaikat azab mengatakan, bahwa orang itu tidak berbuat kebajikan 
sekali-kali.
Lalu datang kepada mereka, malaikat dalam bentuk anak Adam (manu- 
sia). 
Maka mereka jadikan anak Adam itu sebagai orang penengah (hakam) di 
antara mereka. 
Lalu hakam itu mengatakan: ”Ukurlah di antara dua bumi (negeri) itu! 
Kemanakah di antara yang dua itu, ia lebih dekat, maka ke situlah dia”. 
Lalu mereka ukur. Dan mereka dapati, bahwa dia lebih dekat ke bumi, 
yang ditujunya. Maka orang itu diambil oleh malaikat rahmat”. 
Pada suatu riwayat: bahwa orang itu lebih dekat ke kampung yang baik, 
dengan sejengkal. Maka ia dijadikan termasuk penduduk kampung yang 
baik itu. 
Pada suatu riwayat: Maka Allah Ta’ala mengwahyukan kepada bumi ini: 
supaya engkau jauhkan. Dan kepada bumi ini: supaya engkau dekatkan. 
Dan IA berfirman: ”Ukurlah di antara keduanya!”. 
Lalu mereka mendapatinya kepada ini lebih dekat dengan sejengkal. Ma- 
ka diampunkan dosanya” (1). 
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudri. 
Maka dengan ini, anda ketahui, bahwa tiada kelepasan, selain dengan be- 
ratnya neraca kebaikan, walaupun dengan seberat atom. 
Maka tidak boleh tidak bagi orang yang bertobat, daripada memperba- 
nyakkan amal kebajikan. Dan inilah hukum maksud yang menyangkut 
dengan masa yang lalu. 
Adapun azam (cita-cita) yang menyangkut degan zaman depan, maka ya- 
itu: bahwa ia mengikat dengan Allah suatu ikatan yang kokoh. Dan ber- 
janji dengan DIA dengan janji yang dipercayai, bahwa ia tiada akan kem- 
bali kepada dosa-dosa itu. Dan tidak kepada dosa-dosa yang serupa de- 
ngan dosa-dosa itu. Seperti orang yang mengetahui, pada sakitnya, bahwa 
buah-buahan -umpamanya- mendatangkan melarat baginya. Maka ia ber- 
’azam dengan azam yang mengyakinkan, bahwa ia tiada akan memakan 
buah-buahan selama sakitnya belum hilang. 
Maka azam ini menjadi kuat pada seketika, walaupun ada tergambar, 
bahwa ia akan dikalahkan oleh nafsu-keinginan pada ketika yang kedun 
(masa mendatang). Akan tetapi, dia tidaklah orang yang bertobat, sebe- 
lum kokoh azamnya pada seketika. Dan tidaklah akan tergambar, bahwa 
yang demikian itu akan sempurna bagi orang yang bertobat pada permu- 
laan keadaan, selain dengan mengasingkan diri ('uzlah), berdiam diri, se- 
dikit makan dan tidur dan menjaga makanan halal. 
Kalau ia mempunyai harta pusaka yang halal atau ia mempunyai perusa- 
haan, yang dapat diusahakannya dengan perusahaan tersebut, sekadar 
mencukupi, maka hendaklah dibatasi pada itu saja. Maka sesungguhnya 
kepala segala kemaksiatan, ialah: memakan haram. Maka bagaimana ia 
menjadi orang yang bertobat, serta berkekalan memakan yang haram itu? 
Dan tidak memadai dengan yang halal dan meninggalkan harta syubhat, 
bagi orang yang tidak mampu meninggalkan nafsu-syahwat pada yang di- 
makan dan yang dipakai. Setengah mereka mengatakan: ”Siapa yang be- 
nar pada meninggalkan nafsu-syahwat dan bermujahadah dengan dirinya 
karena Allah, tujuh kali, niscaya ia tidak akan mendapat percobaan (men- 
dapat bencana) dengan nafsu-syahwat itu”. 
Yang lain mengatakan: ”Barangsiapa bertobat daripada dosa dan ia tetap 
yang demikian tujuh tahun, niscaya dosa itu tidak akan kembali kepada- 
nya untuk selama-lamanya”. 
Di antara yang penting bagi orang yang bertobat, apabila ia bukan orang 
yang berilmu, ialah: mempelajari apa yang wajib atas dirinya pada masa 
yang akan datang dan apa yang haram atasnya. Sehingga memungkinkan 
baginya al-istiqamah (tetap pendirian pada jalan yang lurus). Dan kalau ia 
tidak mengutamakan al-uzlah (mengasingkan diri), niscaya tidaklah al-is- 
tiqamah yang mutlak itu sempurna baginya. Kecuali ia bertobat dari seba- 
hagian dosa, seperti: ia bertobat dari minum khamar, zina dan merampas 
hak orang umpamanya. Dan tidaklah ini tobat mutlak namanya. 
Sebahagian manusia mengatakan: bahwa tobat ini tidak shah. Dan ada 
orang-orang yang mengatakan: shah. 
Kata-kata: shah pada tempat ini, adalah mujmal (tidak terurai). Akan te- 
tapi, kami akan mengatakan kepada orang yang mengatakan: tidak shah, 
bahwa jikalau anda maksudkan dengan perkataan itu, bahwa meninggal- 
kan sebahagian dosa tidak berfaedah sekali-kali, bahkan adanya seperti ti- 
dak ada, maka alangkah besarnya kesalahan anda! Maka sesungguhnya 
kami mengetahui, bahwa banyaknya dosa itu adalah sebab bagi banyaknya 
siksaan. Dan sedikitnya dosa itu menjadi sebab bagi sedikitnya siksaan. 
Dan akan kami mengatakan kepada orang yang mengatakan: shah tobat 
itu, bahwa jikalau anda kehendaki dengan yang demikian, bahwa tobat 
dari sebahagian dosa, adalah mengwajibkan penerimaan, yang menyam- 
paikan kepada kelepasan atau kemenangan, maka ini juga salah. Bahkan 
kelepasan dan kemenangan itu, adalah dengan meninggalkan semua. Dan 
ini adalah hukum zahiriyah. Dan kami tidak memperkatakan mengenai 
yang tersembunyi daripada rahasia-rahasia kema’afan Allah. 
Kalau orang yang berpendirian bahwa tobat itu tidak shah, mengatakan: 
bahwa aku maksudkan dengan demikian itu, ialah: tobat itu ibarat dari- 
pada penyesalan. Dan sesungguhnya ia menyesal dari mencuri umpama- 
nya, karena mencuri itu perbuatan maksiat. Tidak karena adanya pencuri- 
an itu. Dan mustahil bahwa ia menyesal atas mencuri itu dan tidak menye- 
sal atas zina, kalau yang menyakitkannya itu karena perbuatan maksiat. 
Karena alasan itu, melengkapi bagi mencuri dan berzina. Sebab, orang 
yang merasa sakit atas pembunuhan anaknya dengan pedang, niscaya ia 
merasa sakit, atas terbunuhnya dengan pisau. Karena perasaan sakitnya 
itu adalah disebabkan hilang yang dikasihinya. Sama saja hilang itu, de- 
ngan pedang atau dengan pisau. 
Maka seperti itu juga, perasaan sakit bagi hamba dengan hilang yang di- 
kasihinya. Dan yang demikian itu dengan perbuatan maksiat, sama saja ia 
berbuat maksiat dengan mencuri atau berzina. Maka bagaimana ia merasa 
sakit atas sebahagian dan tidak kepada sebahagian? 
Penyesalan itu adalah suatu keadaan, yang diharuskan oleh karena tahu, 
bahwa perbuatan maksiat itu menghilangkan yang dikasihi, dari segi, bah 
wa itu perbuatan maksiat. Maka tiadalah akan tergambar, bahwa penye- 
salan ituada pada sebahagian perbuatan maksiat, tidak pada sebahagian. 
Kalau boleh ini, niscaya boleh ia bertobat dari minum khamar dari salah 
satu dua tong besar, tidak dari tong yang lain. 
Maka jikalau yang demikian itu mustahil, dari segi bahwa perbuatan mak- 
siat pada dua khamar itu satu. Hanya dua tong besar itu, adalah merupa- 
kan tempat semata-mata. 
Maka seperti itu juga, bahwa maksiat itu sendiri alat bagi maksiat. Dan 
maksiat dari segi menyalahi perintah itu, satu. 
Jadi, arti tidak shah, ialah: bahwa Allah Ta’ala menjanjikan bagi orang- 
orang yang bertobat itu, akan satu tingkat. Dan tingkat itu tidak akan ter- 
capai, selain dengan penyesalan. Dan penyesalan itu tiada akan tergambar 
di atas sebahagian hal-hal yang serupa. Maka penyesalan itu adalah seper- 
ti milik yang teratur di atas ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan). 
Maka apabila ijab dan qabul itu, tidak sempurna, maka kita katakan; bah- 
wa aqad (ikatan jual-beli) itu tidak shah, yang tidak akan berhasil pada- 
nya, buah. Yaitu: milik . 
Pentahkikan ini, ialah: bahwa hasil semata-mata meninggalkan maksiat 
itu, akan terputus daripadanya siksaan dari apa yang ditinggalkannya. Dan 
buah penyesalan itu, ialah: penutupan dosa dari apa yang telah berlalu. 
Maka meninggalkan curi, tidak akan menutupkan curi. Akan tetapi: pe- 
nyesalan atas curi itu. Dan penyesalan itu tiada akan tergambar, selain ka- 
rena curi itu adalah perbuatan maksiat. Dan yang demikian itu meratai 
akan semua perbuatan maksiat. 
Itulah perkataan yang dapat dipahami, yang terjadi, yang meminta orang 
yang sadar untuk berbicara, yang dengan penguraiannya, tersingkaplah 
tutup. 
Maka kami akan mengatakan, bahwa tobat dari sebahagian dosa itu, tiada 
akan terlepas, adakalanya tobat itu dari dosa-dosa besar, tidak dari dosa- 
dosa kecil. 
Atau dari dosa-dosa kecil, tidak dari dosa-dosa besar. Atau dari suatu 
dosa besar, tidak dari dosa besar lainnya. 
Adapun tobat dari dosa-dosa besar, tidak dari dosa-dosa keril, maka itu 
suatu urusan yang mungkin. Karena ia tahu, bahwa dosa-dosa besar itu, 
lebih besar pada sisi Allah dan lebih membawa kepada kemarahan Allah 
dan kutukanNYA. 0an dosa-dosa kecil itu lebih dekat kepada jalan ke- 
ma’afan kepadanya. Maka tidak mustahil, bahwa ia bertobat dari yang le- 
bih besar dan menyesal daripadanya. Seperti orang yang berbuat kesalah- 
an kepada keluarga raja dan permaisurinya dan berbuat aniaya kepada 
kenderaannya. Maka dia itu takut pada berbuat aniaya kepada keluarga 
raja dan memandang enteng pada berbuat aniaya kepada kenderaan raja. 
Dan penyesalan itu, adalah menurut pandangan besarnya dosa dan berke- 
yakinan adanya dosa itu menjauhkan daripada Allah Ta’ala. 
Dan ini mungkin adanya, pada agama. Maka telah banyaklah orang-orang 
yang bertobat pada masa-masa yang silam. Dan tiada seorangpun dari 
mereka itu yang terpelihara dari dosa (orang ma’shum). Maka tidaklah to- 
bat itu meminta terpelihara dari dosa. Dokter kadang-kadang memperi- 
ngati orang sakit dari air madu, dengan peringatan keras. Dan memperi- 
ngatinya dari gula, dengan peringatan yang lebih ringan dari itu, atas segi 
yang diketahuinya, bahwa kadang-kadang tidak menampak sekali-kali me- 
laratnya gula. 
Maka si sakit itu bertobat dengan katanya: dari air madu, tidak dari gula , 
Maka ini tidak mustahil adanya. Dan kalau dimakannya keduanya sekali- 
an dengan hukum nafsu-syahwatnya, niscaya ia menyesal atas meminum 
air madu dan tidak menyesal atas meminum gula. 
Kedua, bahwa ia bertobat dari sebahagian dosa besar dan tidak dari se- 
bahagian yang lain. 
Ini juga mungkin. Karena keyakinannya, bahwa sebahagian dosa besar itu 
lebih berat dan lebih keras dari yang lain pada sisi Allah. Seperti: orang 
yang bertobat dari membunuh, merampok, berbuat zalim dan perbuatan- 
perbuatan kezaliijian terhadap hamba-hamba Allah. Karena diketahuinya, 
bahwa buku besar hamba-hamba itu tidak akan ditinggalkan begitu saja. 
Dan apa yang ada di antaranya dan Allah, akan bersegeralah kema’afan 
kepadanya. 
Maka ini juga mungkin, sebagaimana pada berlebih-kurangnya dosa besar 
dan dosa kecil. Karena dosa besar juga berlebih-kurang pada dirinya dan 
pada keyakinan yang memperbuatnya. Dan karena itulah, kadang-kadang 
ia bertobat dari sebahagian dosa besar, yang tiada menyangkut dengan 
hamba, sebagaimana ia bertobat dari minum khamar, tidak dari zina um- 
pamanya. Karena, jelas baginya bahwa khamar itu kunci segala kejahatan. 
Dan bahwa, apabila hilang akalnya, niscaya ia mengerjakan segala perbu- 
atan maksiat dan dia tidak mengetahuinya. 
Maka menurut beratnya minum khamar. padanya, lalu membangkitlah 
daripadanya ketakutan, yang mengharuskan demikian, untuk meninggal- 
kan meminumnya pada masa mendatang dan penyesalan atas masa yang 
lampau.

Ihya Ulumuddin 3-4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang