8. FOTO

14 5 0
                                        

Letnan memandangi buku yang tersusun rapi di meja belajarnya. Karena insiden pagi tadi yang merenggut nyawa seorang gadis, sekolah ditutup untuk beberapa hari ke depan sampai waktu yang belum ditentukan. Pihak keluarga membawa kasus ini ke jalur hukum.

Polisi sedang menyelediki kasus ini di sengaja atau tidak. Tapi, bukannya senang, Letnan malah teringat Aqila. Bagaimana kondisi gadis itu sekarang?

Pintu kamarnya diketuk.

"Masuk."

"Kau sudah pulang?" Tanya Tama, Kakek Letnan.

"Iya. Ada kecelakaan di sana."

"Bukan kau biang keroknya?"

"Bukanlah."

"Syukurlah. Aku dibelakang jika kamu membutuhkanku."

"Baiklah."

Tama kembali keluar.

Letnan memegangi plaster yang ada di dahinya. Ia tersenyum.

Letnan mengantar Aqila sampai ke tempat duduknya. Aqila menatapnya, lekat.

"Apa?"

"Dahimu, berdarah."

"Ah lupakan. Ini tidak apa-apa."

"Duduk!"

"Tidak."

"Letnan."

"Iya-iya," Letnan duduk dibawah, dihadapan Aqila.

Aqila meraih tasnya, mengeluarkan kapas dan sebuah plaster dengan gambar dinosaurus.

"Lo mau apa?"

"Diam!"

Letnan memilih diam.

Aqila membuka kain kassa yang membalut luka di dahi Letnan. Membersihkannya. Ia membuka plaster itu.

"Gak ada yang lain?" Letnan gusar menatap plaster berkarakter itu.

"Tidak. Lain kali, rutin diganti. Nanti kau bisa infeksi."

"Wih, anak IPS jago banget ternyata," gumam Letnan.

Aqila tersenyum seraya menempelkan plester itu di dahi Letnan.

"Argh! Senyum Aqila."

>>>>>♡<<<<<

Aqila membuka plaster yang menutupi luka di tangannya. Sudah hampir sembuh, ia melepasnya.

"Kenapa laki-laki itu begitu keras kepala?"

"Padahal, setiap hari sepertinya aku selalu menyakitinya."

"Dia gila?"

Aqila kembali teringat Erin. Ia membawa cardigan hitam panjang dari dalam lemarinya. Keluar mengenakan flatshoes yang juga berwarna hitam.

"Mau kemana kamu?"

Aqila tak menjawab. Ia bergegas pergi sebelum hal yang tak diinginkan terjadi. Ia memesan taksi online lalu pergi menuju pemakaman. Melihat pemakaman Erin tentunya seraya berkunjung ke makam ayahnya.

"Mau layad, Non?"

"Eh iya, Pak."

"Kebetulan, keponakan saya meninggal tadi pagi. Kita barengan aja," ujat sopir taksi itu.

"Maaf, Pak. Kalau boleh saya tau, keponakan Bapak meninggal kenapa, Pak?"

"Tertimpa tiang bendera, Non."

Aqila diam, menatap sopir taksi itu dari spion.

"Twilight High School, Pak?"

"Iya, Non, kenapa Non bisa tau?"

"Sa-saya juga sekolah di sana, Pak. Kak Erin, kakak kelas saya."

"Saya tidak menyangka akan setragis ini."

Aqila tak menjawab lagi, ia menjadi tak enak. Seandainya ia bisa menarik tangan Erin, sedikit saja agar Erin bergeser, mungkin keadaannya tak akan seperti ini sekarang.

Akhirnya mereka sampai, ia berjalan beriringan dengan sopir taksi itu yang ia ketahui namanya adalah Burhan.

Masih ada beberapa kerabat disana. Pak Burhan menangis di depan pemakaman Erin. Ada foto Erin disana, cantik sekali. Tapi kenapa di sekolah ia terkenal dengan wanita cupu?

"Saya turut berduka cita," kata Aqila. Semua yang disana menoleh lalu tersenyum.

"Kamu temannya Erin? Kemari Nak," kata seorang ibu yang ternyata adalah Ibu Erin.

"Saya tidak sempat mengenal putri ibu, saya kesini untuk melihat pemakaman Kak Erin, Bu."

"Hanya kamu masyarakat THS yang kesini, melihat Erin untuk terakhir kalinya," ucap Ibu Erin sambil menangis.

Aqila mengangguk lalu mengusap-usap pundak Ibu Erin, menenangkannya.

"Ikut saya, mau ya?"

"Maaf, tapi kemana?"

"Rumah saya. Ada hal yang ingin saya tanyakan," ujarnya.

"Baiklah."

Aqila ikut menuju rumah mendiang Erin. Tak sangka, rumahnya hampir mewah sekali. Aqila sampat melongo melihat halaman rumah yang sangat luas. Indah sekali.

Masuk ke dalam, dekorasi rumah seperti di istana yang ada di film disney saat Aqila kecil dulu.

Kamar Erin terletak di lantai dua ruangan ke dua. Mata Aqila membulat sempurna menatap isi kamar bak di hotel. Mewah sekali. Dengan tempat tidur kingsize, jendela diatur seperti di hotel-hotel ternama. Dinding dihiasi foto Erin, cantik sekali. Tanpa kacamata yang setiap hari menghiasi wajahnya.

Senyuman yang sepertinya jarang dipamerkan. Aqila benar-benar kagum dengan sosok Erin.

"Saya kagum sekali," ujar Aqila dengan sangat jujur.

"Ah terima kasih."

Ibu Aqila berjalan menuju lemari Erin, lalu mengambil sebuah figura hitam kecil. Di sana terpampang foto seorang laki-laki yang sangat familiar di mata Aqila.

"Kamu kenal siapa pemuda ini?" Tanya Ibu Erin.

Jantung Aqila berdegup dengan sangat kencang secara tiba-tiba. Matanya memanas, lidahnya tiba-tiba kelu.

Tunggu, kenapa dia seperti ini? Bukannya pria ini yang selalu membuat dirinya naik pitam?

"Saya kenal betul orang ini. Dia teman saya, teman satu kelas Kak Erin juga. Letnan Samuel."

°•^•°

MOG dah tamat. Jadi ini, fokus ke sini dulu ya..

Jangan bosen!

See u all!

Letnan, Aqila dan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang