0.23

1.3K 203 32
                                    

Mentari kini terlihat di ufuk timur, memberikan sedikit cahaya yang menyembul masuk sesaat tirai tidak menyatu dengan semestinya yang membuat gadis bermanik bulat itu, menggeliat tak nyaman. Apalagi, saat tempatnya terpejam untuk menyusuri alam bawah kesadaran, terasa sedikit terguncang. Hal itu membuatnya sontak membuka kedua mata dengan perlahan dan langsung saja menemukan sosok anak perempuan yang menatapnya dengan sumriah.

"Bibi! Bibi, sudah bangun? Kalau begitu, Moni akan memanggil Dad!"

Belum mengumpulkan seluruh kesadarannya, Jihyo hanya berdeham saja. Hingga, putaran apa yang terjadi semalam dengan ucapan anak perempuan tadi yang wajahnya masih tersimpan di otaknya, sontak membuatnya tersadar.

Tunggu, jadi, Moni pada waktu itu adalah Moni putrinya Jungkook? Oh, Good!

"Pantas saja," gumamnya. Lantas, menggigiti bibir bawah seraya mengacak rambutnya. Hingga, seseorang yang tengah memakai kaos berwarna abu-abu kini menyentak pikirannya---tanpa eksistensi Moni.

Pribadi yang baru saja datang, langsung mengambil tempat di sebelah Jihyo yang masih berwajah bantal, begitu menggemaskan menurut amatannya.

"Kenapa kau membawaku ke mansionmu? Seharusnya ke rumahku saja." Jihyo berujar sembari mengerucutkan kedua bibirnya bak terompet.

Jungkook yang mendengarnya pun, langsung saja terkekeh pelan. "Awalnya memang seperti itu, tetapi tiba-tiba saja Moni menghubungiku, karena anak itu tidak ingin terpejam jika aku tidak pulang. Mana lagi, kita yang berteduh di halte dan kau mengantuk! Ya, sudah! Aku memesan taksi online dan membawamu ke sini saja." Lantas jemari gagah itu kini memberikan elusan begitu hangat di pipi sebelah kanan yang membuat sang empu sontak tersenyum.

Kejadian semalam begitu terkesan---sangat malah. Di bawah guyuran tetesan air hujan, menuliskan kisah mereka yang begitu indah, kokoh dan berwarna. Padahal, begitu banyak perbedaan yang ada. Namun, mereka mencoba memahami perbedaan yang ada untuk menjadikannya sebagai pelengkap.

Jihyo tidak bisa beralibi dengan dirinya sendiri. Ia mencintai pribadi Jeon—sangat cinta sampai-sampai tidak tahu bagaimana cara mengutarakannya. Manalagi, mengingat pertemuan yang sangat menyebalkan, acap kali membuatnya sontak terkekeh. Beruntung, ia tidak jadi mengundurkan diri pada saat itu, karena jika itu terjadi, ia tidak akan merasakan afeksi sedalam yang dirasakannya saat ini.

Ia menarik napas, lalu menghembuskannya sesaat dapat dirasakannya rengkuhan jemari gagah Jungkook pada pinggangnya yang bahkan mengikis jarak pemisah di antara mereka setelah Jungkook menuntun bibirnya untuk memberikan lumatan pada bibir ranumnya dan mengaksennya. Bahkan, saat dirinya yang spontan memberikan desahan dengan tatapan sayu saat pergulatan lidah itu terjadi begitu lama yang membuat Jungkook kesal tatkala adik kecilnya tiba-tiba saja terbangun. Jihyo tidak saja menyikutnya.

“Ji, kau harus tanggung jawab!” Seringai itu kini dapat tercetak jelas tatkala sang empu mengatakannya dengan tatapan penuh tuntutan.

Hoh! Jihyo telah membangunkan sisi tersembunyi dari seorang Jeon dan itu tak dapat dielaknya sesaat pribadi itu telah menjadi dominan untuk memimpin seraya memberikan lumatan nikmat di bibir ranumnya. Namun sepertinya, mereka salah memilih tempat untuk melakukan hal tersebut setelah mendengar pekikan anak perempuan yang terdengar begitu jelas di rungu serta kedua bilik  yang terbuka dengan kilat.

Ops! Aku tidak sengaja.”

Jungkook maupun Jihyo kini membentang jarak dengan cepat, setelah Moni membuka pintu dengan tatapan polos  dan lugu. Sial sekali. Anak perempuan yang kini hampir berusia 6 tahun, harus melihat adegan yang belum pantas untuk dilihatnya. Apalagi, saat seorang pria—Jeon Yeonjun, tiba-tiba saja menghentikan langkah untuk memastikan satu hal. Namun, ia merasa kebingungan saat tiga manusia di hadapannya tampak terdiam, tetapi dia tidak peduli.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang