04ーhow we like that

4.3K 1K 188
                                    

"anjing— jaemin nampar lo?"

reflek gue berhenti menangis, yangyang dan felix juga sontak menatap haechan terkejut. wajah haechan menunjukkan betapa campur aduknya emosi dia, bahkan gue sampai menarik diri dari pelukan dia karena guncangan dari bahunya.

"si muka aspal malah main tangan—" gumam felix. "itu orang gak ada kapoknya, malah makin menjadi. dia yang berbuat gue yang malu jadi cowok, bangsaaat."

yangyang sendiri menggeleng karena sulit percaya dengan apa yang tadi haechan katakan. setelah haechan menutup panggilan jean, kita semua terdiam setelah mendapatkan double kill hari ini. sejujurnya gue lebih cemas akan keberadaan renjun, tapi gue juga gak bisa membiarkan seorang cewek malah diberi kekerasan seperti ini dan bisa aja, jean lagi sendirian sekarang. mungkin jean termasuk salah satu circle mark, tapi jaemin posisinya lebih mendominasi memancing kekesalan gue dan semua orang.

haechan mendengkus kemudian menunduk di samping gue.

"lo mau ke jean?" tanya gue.

haechan gak menjawab.

"gue temenin."

sekarang semua tatapan mengarah pada gue. felix spontan berucap, "enggak deh, jangan. nanti rumah orang kenapa-napa, yang ganti rugi kan bokap lo bukan lo."

"jean gak ada di rumahnya."

gue lantas bangkit masih dengan melihat haechan. "buruan berdiri."

"kenapa?"

"berdiri, kita susulin dia sekarang. gue paham posisinya, dan kalau gue jadi dia—"

yangyang dengan gesit memotong ucapan gue. "kalau lo jadi dia ya mana mungkin lo mau pacaran sama otak bunga mawar kayak jaemin. menang tampang doang, ahklak masih mendingan babi."

"berusaha membuka pintu hati sebaik mungkin, eh yang masuk malah babi." sambung felix. laki-laki ini memang dari stone age alias zaman batu kalau lagi ngomong timingnya suka gak pas.

akhirnya gue menarik haechan untuk segera berdiri dari posisinya dan memberi pesan pada yangyang dan felix agar tetap mencari juga menghubungi renjun. gue gak mau fokus kita terpecah gara-gara orang lain, lebih baik kita berpencar dan menyelesaikan ini semua dengan pelan-pelan.

dari kamar renjun sampai naik ke atas motor, bahkan sampai di tengah perjalanan, gue gak mendengar suara si haeekal chandrakanta sama sekali. waktu telah berganti menjadi sore, dan haechan semakin tenggelam dalam beban pikirannya.

sejak kita kecil, kita udah berteman dekat bahkan begitu teman yang lain mulai bermunculan di sekitar kita. so, gue udah paham dengan baik bagaimana mood haechan kalau hanya dilihat dari ekspresi dan tingkahnya. karena terkadang, orang yang sekocak haechan bisa dengan handalnya menyimpan beban hidup sebaik mungkin.

begitu gue juga sibuk melamunkan semua ini, dua jam setelah kita keluar dari rumah sakit gue baru tersadar, kalau daritadi kita seperti bolak-balik di tempat yang sama.

"haikal."

haechan menoleh. "apa?"

"dia dimana emang? daritadi belum sampai."

"gak tau—dia udah shareloc tapi gue bingung ini lokasinya dimana."

"pantat gue udah kram daritadi gara-gara ngelewatin polisi tidur, sini hape lo." gue menarik ponsel haechan dan lagi-lagi gue baru sadar kalau dia memang buta arah, susah menemukan suatu tempat. gak cocok part-time jadi kurir atau ojek online. selagi gue mengecek tempat jean, haechan meraih air mineral dan meneguknya beberapa kali.

"yaelah, kalau ini sih—"

haechan menyodorkan air mineralnya. "minum dulu."

"bentar, kalau ini—"

"minum dulu oon."

gue mendecih dan meraih botol air minumnya. haechan dengan sabar menunggu gue selesai lalu gue pun bisa menerangkan dimana lokasi jean. ternyata oh ternyata, cewek itu ada di dalam gang yang tadi kita lewati. gakpapa jia, at least lo udah paham bagaimana beloknya pengetahuan maps pribadi seorang haechan yang seperti ini.

begitu kita berjalan dan tiba di sebuah tempat yang sepi, gue dan haechan segera turun serta menemukan jean dengan wajah sembabnya. selagi haechan melanjutkan langkahnya, gue dengan otomatis berhenti berjalan dan melihat bagaimana haechan segera mendekap gadis itu. jean menangis tersedu-sedu di dalam pelukan haechan, dihadapan gue yang entah ingin melakukan hal apa.

gue dikenal sebagai orang yang sangat menentang dengan keras jika haechan bertemu dengan jean, gue dikenal sebagai orang yang sangat melindungi haechan alias sahabat gue sendiri dari masa lalunya agar dia bisa mendapat masa depan yang lebih baik lagi. gue selalu meminta agar haechan bisa melepaskan, gak hanya sekedar merelakan jean. tapi gue tersentak akan sesuatu.

tahapan yang sangat berat namun begitu hebat dalam hal mencintai yaitu mengikhlaskan dia untuk pergi bersama yang lain. dan haechan belum bisa memasuki level itu. gue pun hanyalah sahabat haechan. gue hanyalah seorang jia, seseorang yang gak bisa memaksa haechan untuk melepaskan mantannya dengan baik.

tanpa sepengetahuan haechan dan jean, gue perlahan membalikkan badan untuk meninggalkan mereka. gue rasa gue udah berjalan terlalu jauh untuk ikut campur dalam urusan mereka. gue tau gue berusaha melakukan ini semua demi kebaikan haechan, tapi gue juga merasa bersalah. gue gak boleh egois dan terus melakukan semuanya. we cant' keep someone who doesn't want to be keep, enzia larasati.

sialnya gue malah melanjutkan tangisan gue dan sesekali tertawa. menertawakan perihal kenapa gue bisa menangisi hal seperti ini. gila? benar kata mark. gue emang cewek yang sinting. cewek yang sangat berbeda, benar-benar berbeda.

gue merasakan matahari sudah semakin turun untuk menenggelamkan dirinya dari zona terang, gue pun merasakan bagaimana gue semakin tenggelam dalam kesendirian ini. dan uniknya, belum beberapa saat gue berjalan, seseorang berhenti tepat di depan gue dengan nafasnya yang terengah.

"heh anak kejam, ngapain lo jalan kaki?"

gue menghela nafas. menyadari betapa berharganya gue bisa ditemukan oleh dia. air mata gue terus menggenangi pelupuk mata, dan sesaat kemudian gue memanggil namanya. "yangyang—" dengan nada yang bergetar.

"dih, idih, idih—nangis." ejeknya berusaha membuat gue terhibur. "ngapain lo nangis nyong? gak cocok ah lo nangis, stop stop anjir apa-apaan nih?"

gue gak bisa menjawab yangyang.

sekeras apapun dia berusaha menghentikan gue, gue tetap gak bisa mengontrol diri sendiri. pada akhirnya yangyang-lah yang menarik gue. meski pun dia ragu, dia tetap mendekap dan menepuk-nepuk pundak gue. "sorry gue meluk lo, gue cuma mau nenangin lo." bisiknya.

HELLO KARMA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang