Nio melangkahkan kakinya kearah ruang eskul seni. Kali ini ia akan menemui bianca disana. Terhitung sudah 1 minggu ini bianca selalu menghindarinya setiap kali ia akan meminta maaf.
Misalnya saja pada hari itu, sesaat setelah pembicaraannya dengan gavin ia segera bergegas menemui bianca. Namun apa yang ia dapat? Setelah dirinya bertemu dengan gadis itu, bianca malah mengabaikannya, bukan memaki ataupun memarahi dirinya seperti biasa jika gadis itu sedang marah namun lebih ke diam lalu pergi begitu saja tanpa sudi memandang kearahnya sedikitpun.
Bukan saat itu saja. Bahkan hari hari selanjutnya pun masih sama. Setiap hari ia selalu mencoba meminta maaf berharap gadis itu akan sedikit luluh dan berbaik hati mau mendengarkan ucapannya walau sedikit, namun sayangnya nihil, hal itu tak terjadi sama sekali. Semuanya hanya berubah menjadi sia sia, bianca selalu menghindarinya dan tak mau mendengarnya.
Nio tau betul kalau kali ini bianca benar benar marah dan kecewa padanya. Selama ini sikapnya berubah menjadi dingin dan raut wajahnya pun hanya menampilkan ekspresi datar. Nio tak suka itu, jika diberi pilihan ia mungkin akan lebih baik menerima kemarahan bianca yang meledak ledak memukul, menampar, membentak dan sebagainya bukan disuguhkan dengan sikap seperti itu.
Demi apapun nio sangat bingung harus dengan cara apa menghadapi sikap bianca yang satu ini. Ia akui memang dirinyalah penyebab bianca menjadi seperti itu dan kalau bisa ia ingin dirinya pula yang mengembalikan sikap hangat bianca. Sungguh kata menyesal pun tak cukup untuk mendeskripsikan keadaan dirinya sekarang, jika ada kata kata yang lebih buruk dari itu mungkin dengan senang hati ia akan memakainya.
Ketukan bunyi sepatu berhenti. Saat ini dirinya sudah ada didepan pintu ruang seni. Mendadak pikirannya berubah gusar ketika memikirkan kalau kalau dirinya akan ditolak kembali oleh bianca untuk kesekian kalinya. Sedikit banyak hal tersebut membuat sudut hatinya sakit. Ia tak munafik, ketika selama ini bianca mengabaikannya, menyuguhkan tatapan datar, menganggap seolah ia tak ada, itu cukup membuat hatinya sesak.
Percaya tidak? Kalau akhir akhir ini ia kebanyakan menghabiskan waktunya ketika malam adalah dengan menggambar. Ya.. hal yang tak perlu ia sebutkan lagi itu hobi siapa.
Bermodal sepintas pemikiran konyol bahwa bianca akan memaafkannya dengan memberikan hal yang gadis itu sukai, dengan nekat dan tanpa mengantongi keahlian apapun hari hari lalu ia mulai menggoreskan pensilnya diatas kertas dengan objek sebuah poto bianca yang tersimpan di galeri handphone nya.
Yeah.. walau ia tau hasilnya sangat buruk dan jauh berbeda dengan apa yang ia harapkan namun hal tersebut tak melunturkan keantusiasannya untuk melihat reaksi bianca nanti. Akankah bianca terkejut dan menyukainya? Atau malah sebaliknya.
Nio meringis sedikit melirik kearah gulungan kertas di genggamannya. Kalaupun bianca tak menyukainya ia yakin, sedikitnya pasti gadis itu akan menghargai usahanya kan? karena ia tau betul bianca adalah gadis yang selalu menghargai karya orang lain meski itu buruk sekalipun.
Huh.. mengingat hal tersebut sedikit banyak bisa mengurangi kecemasannya.
Setelah sempat meyakinkan diri tangannya mulai terulur untuk membuka knop pintu.
Ceklek
Helaan nafas lega bercampur syukur terlontar begitu saja ketika mendapati bianca disana, tengah duduk ditempat biasa.
Nio lihat, bianca sempat meliriknya sebentar sebelum sedetik kemudian gadis itu memalingkan kembali mukanya. Dari sana saja sudah bisa ditebak bukan sebenci apa bianca sekarang padanya?
Dengan keberanian yang hanya secuil kini nio mulai melangkahkan kakinya mendekati bianca.
"Bi.." Panggilnya pelan ketika kini tubuhnya sudah berhadapan dengan gadis itu walau keduanya harus terhalang meja didepan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days and Dare [Chanbaek-END]
FanfictionJadian sama cewe aneh selama 30 hari? Bisa gila gue.