Levanter |26|

129 9 3
                                    

Kata orang, kita tak bisa mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya. Meskipun itu hanya satu detik, atau sepermili detik sekali pun.

Mungkin sebuah kebodohan saat Han berpikir tak akan terjadi masalah saat meninggalkan Liuna di dalam ruang inapnya. Gadis itu sedang di periksa oleh dokter, dan Han butuh ke toilet untuk menuntaskan panggilan alamnya.

Tapi saat dia datang, Han justru di hadapkan dengan pemandangan yang mencengangkan.

"Kau bilang tak akan menyerah, bukan?" Suara serak parau seorang wanita dari dalam ruangan membatalkan niat Han untuk masuk dan menanyakan kondisi Liuna. "Tapi kau malah melepaskannya? Bodoh sekali, kupikir kau lawan yang menyenangkan. Tapi lihat? Kau akan lebih dulu mati ketimbang diriku."

Terdengar kekehan lemah yang membalas ucapan si perempuan yang tak di kenal. Sedangkan Han memilih untuk menguping dari dekat pintu. "Aku tidak bodoh. Hanya saja aku tahu, jika ingin Hyunjin aman, aku harus bergerak mundur untuk menang."

"Omong kosong macam apa itu?!" Jee-ra membentak kasar. "Pantas saja Tuhan memanggilmu lebih dulu ketimbang aku yang sudah menginap di rumah sakit ini satu tahun terakhir."

"Kau ... tahu kondisiku memburuk?"

Ada hening yang panjang sebelum suara rendah menyahut, "Tentu saja. Bahkan aku tahu kau memesan tiket pesawat untuk keberangkatan malam ini. Ibumu menelepon, memintamu pulang sambil menangis. Bukankah begitu?"

Han membelalakkan matanya. Tanpa pikir panjang masuk ke dalam ruangan hingga membuat Liuna dan Jee-ra terkesiap. Han memandang Liuna lurus-lurus. Gadis itu masih sehat-sehat saja. Tapi ... kenapa? "Kau akan kembali ke Indonesia? Astaga, Liuna!" Han mengacak rambutnya frustasi, mengusap wajahnya yang tampak kalut. "Aku akan ke dorm, memberi tahu orang-orang soal ini."

"Tidak, Han-ssi!" Langkah Han terhenti begitu saja mendengar larangan Liuna. "Jangan, biarkan mereka tidak tahu apa-apa. Stray Kids sudah mendapatkan terlalu banyak masalah, jangan di tambah lagi."

"Geundae-" Han menarik rambutnya kasar. Ini terlalu mendadak untuknya. "Apa yang dokter katakan padamu tadi?"

"Yang jelas bukan sesuatu yang bagus." Bukannya Liuna yang menjawab, malah Jee-ra yang menyahut. Han menoleh, menatap gadis kurus pucat yang duduk di atas kursi roda sembari memegangi selang infus miliknya. "Dia akan mati dalam waktu 24 jam." Jee-ra terkekeh sinis. Terdengar mengejek, namun sebenarnya jauh di dalam hati, Jee-ra memiliki ketakutan yang sama jika waktu seperti ini tiba pada dirinya suatu saat nanti.

Han mematung di tempat. Jee-ra menggerakkan kursi rodanya meninggalkan ruangan Liuna. Namun sebelum pergi, gadis itu berucap lirih, "Oh, satu lagi. Pengumumam soal dating Yeji dan Hyunjin akan di batalkan. Polisi berhasil menemukanku."

Lalu pintu terutup begitu saja.

Detik-detik berlalu dalam hening, sampai Liuna membuka suara kembali. "Han-ssi..."

"Katakan kau sedang bercanda, Liuna."

"Tolong dengarkan-"

"Apa yang perlu kau katakan lagi, ha!?" Han memotong dengan bentakan. Liuna terkesiap, kian menundukkan kepala dengan tangan meremas ujung selimut. "Kau egois, Liuna. Mungkin ini hanya akan menjadi luka biasa ketika orang-orang bertanya kemana perginya dirimu. Tapi aku di sini tahu semuanya, tahu apa yang terjadi padamu. Apa kau pikir aku bisa pura-pura tak mengetahui apa pun ketika Hyunjin kelimpungan dengan kepergianmu yang terlalu tiba-tiba?"

Air mata Liuna jatuh tanpa bisa di cegah. "Bukankah itu lebih baik?" suaranya bergetar saat berucap demikian. Tangan terulur, mengusap bulir-bulir hangat yang tumpah akibat bendungan emosi yang meledak. "Aku tak mau menghilangkan senyum-senyum yang kutemukan setiap kali aku bertatap muka dengan mereka. Aku tak mau menjadi sumber tangis ketika aku saja bersyukur akan segera mati. Jujur... aku juga sudah lelah berjuang. Sudah lelah berharap ini-itu untuk kehidupanku. Izinkan ... izinkan aku pulang, Han-ssi."

Levanter [Hwang Hyunjin]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang