Air Mata

120 14 10
                                    

"Vi, itu bukannya Rahma ya." lontar Galih saat mereka memasuki kafe.

Alvi mengedarkan pandangannya. "Mana?"

"Itu meja 13 pojok dekat jendela." tunjuk Galih. Membuat Alvi mengikuti arah yang Galih tunjukkan. Dan benar saja di sana ada sosok perempuan manis yang menjadi tunangannya selama lima bulan ini. Tunggu perempuan itu bersama seseorang!

Alvi melangkah menghampiri Rahma yang sedang tertawa lepas sambil sesekali mengunyah makanannya. Terlihat bahagia sekali perempuan itu. Dan Alvi rasanya benar-benar geram atas apa yang sedang ia saksikan saat ini.

"Rahma!"

Gadis yang disebut namanya itu menoleh. "Alvi!" ucap Rahma dengan mata terbelalak tak menyangka ia akan bertemu Alvi.

"Kamu jangan salah paham dulu, ini nggak seperti yang...."

"Cukup Rahma!"

Alvi menahan napas agar tidak emosi.

"Ini sudah jelas! Nggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi." Alvi benar-benar tidak habis pikir, selama ini Alvi kira Rahma perempuan baik-baik. Tapi sudahlah toh ini semua juga hanya untuk menjalankan perjodohan yang sama sekali tak Alvi inginkan.

Alvi berlalu pergi meninggalkan Rahma yang mencoba mengejarnya tapi dicegah lelaki yang sedang bersama Rahma.
Rasanya Alvi benar-benar muak dan napsu makannya seketika hilang.

"Lih, lu makan sendiri ya. Gua mau balik lagi ke RS."

Galih menghela napas, ia jadi menyesal sudah memberitahu sahabatnya itu. "Oke deh." balas Galih seadanya, sementara sahabatnya Alvi sudah pergi begitu saja.

Sesampainya Alvi di rumah sakit ia langsung menuju ruang kerjanya. Namun baru beberapa saat memeriksa berkas laporan, tiba-tiba cacing diperutnya berteriak minta jatah, ya ia merasa lapar dan akhirnya ia memutuskan makan di kantin.

Saat Alvi memasuki kantin tak sengaja pandangannya menemukan sosok yang sudah sebulan ini membuatnya uring-uringan.

"Boleh aku gabung?" tanya Alvi pada dua gadis cantik yang sedang asyik menikmati makan siangnya.

Fara memutar bola matanya jengah, kenapa harus lelaki itu lagi. Membuat napsu makannya hilang seketika.

Raina tersenyum. "Silakan dok." seru Raina antusias yang malah membuat Fara risih dan tak nyaman.

Mereka makan dengan suasana yang sedikit canggung. Sesekali Alvi melirik Fara yang terlihat tidak nyaman berada satu meja makan dengannya.

"Makasih ya dok selama ini udah rawat Mama." celoteh Raina pada Alvi yang ada disampingnya.

Alvi tersenyum tipis. "Sudah sepatutnya saya melakukan itu Adik manis." balas Alvi seraya mengusap kepala Raina, ia sudah beberapa kali mengobrol dengan Adik Fara saat ia memeriksa keadaan Bu Aina. Alvi merasa Raina adalah anak yang baik dan menyenangkan berbeda sekali dengan Fara.

Fara yang melihat pemandangan aneh di depan matanya segera beranjak dan berlalu begitu saja. Rasanya canggung berada di dalam situasi seperti itu. Lagi pula makanannya juga sudah habis.

"Maafkan sikap Kakak saya ya dok. Dia memang susah bersosialisasi dengan cowok khususnya." jelas Raina merasa tak enak pada dokter Alvi atas sikap Fara barusaja.

Alvi menggeleng. "Tidak apa."

--

Fara tersenyum melihat Mamanya sudah mulai pulih kembali. Sudah dua hari Mamanya siuman dan itu membuat beban pikiran Fara berkurang sedikit. Kebahagiaan Fara ada pada Mamanya, jangan bertanya tentang Papa Fara. Lelaki itu sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu, dengan meninggalkan luka untuk Mama, Fara, dan Raina.

See You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang