Lembar 29

658 93 8
                                    


@Cafe

Setelah rencana dibatalkan kemarin, akhirnya hari ini Jimin dan Seulgi bertemu. Mereka janjian di cafe dekat sanggar tempat dulu mereka biasa latihan. Sudah sekitar lima belas menit lamanya mereka bertatap muka, tapi dua orang ini belum ada yang membuka suara. Lebih tepatnya, Jimin yang bingung mau memulai darimana. Dia terlalu takut untuk to the point.

 "Ehem!" Jimin berdehem, sekedar menghilangkan kecanggungan. Matanya melirik, menatap seseorang yang duduk dua meja sedikit lebih jauh darinya.

 "Lo mau ngomong apa sebenernya, Jim?" Tanya Seulgi tiba-tiba, menarik atensi Jimin.

 "Eh? Oh itu…" ucap Jimin menggantung. "Gue bingung harus mulai darimana."

"Lo tinggal ngomong aja lagi. Seulgi, jauhi gue! Gitu."

Jimin menatap cewek didepannya, yang sama sekali nggak menatap saat bicaranya. Bahkan terdengar malas bicara.

Tangan Jimin terkepal, dia mencoba meyakinkan diri. "Seulgi, sebelumnya gue berterima kasih karena selama ini lo udah perhatian sama gue, udah nganggep gue sebagai orang spesial—"

 Jimin berhenti, dia menatap Seulgi yang sudah menatapnya dingin.

 "—tapi jujur gue selama ini gue nerima semua perhatian dan sikap baik lo, semata-mata karena gue menghargai lo sebagai sahabat gue. Gue nggak bisa untuk nganggep lo lebih dari itu."

 'Gila cringe banget gue.'

 "Alasannya?" Tanya Seulgi terkesan santai.

"Ya karena kita udah kenal lama, Gi. Lo sahabat gue," kata Jimin.

Sedikit tergelak. "Bukannya karena kita kenal lama, seharusnya lo jadi gampang buat suka sama gue?  Tapi kenapa enggak?" Seulgi merasa miris.

Dengan perkataan Jimin barusan, itu membuktikan kalau selama ini dia nggak dianggap ada. Persis seperti yang selama ini teman-temannya bilang.

Hening sejenak, Jimin mencoba menyusun kalimat yang baik dan benar. Dia bukan tipe orang yang bisa bicara banyak di situasi begini.

 "Gue juga menjaga perasaan Hakyeon," kata Jimin akhirnya. Maaf untuk Hakyeon karena harus Jimin bawa-bawa dalam obrolan ini.

Mendengar nama Hakyeon, Seulgi membuang pandangannya sekilas. Ingat surat perpisahan yang bikin dia nyaris seharian menangis. "Kenapa Hakyeon?"

"Tentang perasaan dia ke elo, pasti lo udah tahu kan?" Tanya Jimin memastikan. Seulgi diam, sebelum mengangguk sebagai jawaban. 

"Gue tahu, tapi gue nggak mau tahu."

"Karena itu lo manfaatin dia buat ganggu gue dan Yoongi? Lo nyakitin dia, Gi."

 
Seulgi menatap lurus Jimin. "Toh dia nggak keberatan kan?" Ucapnya angkuh, tangannya mengepal di pangkuan. "Lagian semua ini kan salah lo. Salah lo acuh sama gue, salah lo pura-pura nggak peka, salah lo masa bodoh sama gue!"

Beberapa pengunjung cafe melihat kearah mereka berdua, perasaan Jimin jadi nggak enak. Dia mau protes tapi ucapan Seulgi sebagian benar adanya. "Selama ini lo terlalu tertutup sama cowok lain. Masa lo nggak luluh sama perlakuan Hakyeon selama ini?" Pembelaan dari Jimin membuat Seulgi tertawa.

"Jim… Jim… Lo juga selama ini menutup mata sama perasaan gue. Bahkan saat lo sudah putus sama Sella, nggak ada lo kasih celah sedikitpun buat gue, Jim. Sampai akhirnya lo ketemu Yoongi. Lo ketemu cewek yang bahkan nggak tahu apa-apa tentang lo, tapi dengan mudahnya lo terima bahkan lo kejar-kejar dia—" Seulgi berhenti sejenak, mengatur nafas karena dadanya terasa sesak. Diwajahnya tersirat kekecewaan, kemarahan, dan sakit hati.

Love, Life and Friendship [BTS!GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang