Empat bulan yang lalu.
Awan
Abdi datang ke kotaku. Bukan tanpa alasan. Setelah sebelumnya dia mencoba menghubungiku selama berminggu-minggu tapi tak kugubris.
"Lo nggak usah sok ngambek, Wan. Pake diblokir pula nomor gue."
Aku meliriknya yang duduk di sampingku dan menceramahi ku dari tadi, tak ada niatan melihat kota ini yang merupakan kota tempatnya kuliah.
"Sehat, Lo, Wan?"
Aku mengangguk singkat.
"Untung aja Ares akhirnya pulang. Jadi gue bisa mastiin lo di sini atau kabur entah ke mana."
"Kabur apaan?" Aku tertawa kecil. Abdi yang justru keliatan lebih ribut daripada Mama.
"Setelah lo bilang kalau seluruh keluarga pengen lo nikah sebelum kiamat dateng."
"Freaky banget kan mereka?"
Abdi terbahak, "Ngaca bos! Lo yang freaky, kayak anak belasan tahun disuruh nikah. C'mon. Nikah tinggal nikah. Shut them 'up!"
Sebenernya Ares dan Abdi manusia satu tipe. Suka ngeledek nggak liat kondisi mereka sendiri. Bedanya Abdi lebih bijak. Dikit.
Aku tak menjawab sampai mobil terparkir di depan rumah Mama. Sial, kalo nggak karena Papa pulang hari ini, nggak akan aku menginjakkan kaki di rumah ini lagi.
Abdi masih nyerocos tentang berbagai pilihan wanita yang bisa kunikahi demi menyumpal mulut keluargaku.
"Turun, Di," perintahku ketika dia nggak ada niat buat turun, malah sibuk ngomongin temen-temen semasa kuliah yang bodoh. Ya, bodoh. Ngasih makanan atau kado sampah ke lokerku pake surat-surat paling alay sedunia.
"Lo tinggal pilih. Rani sekarang udah jadi pengacara. Aletta udah jadi manager di bank. Atau lo nikahin si mantan, Calista."
"Dia udah nikah," sahutku singkat.
Abdi terlihat bersalah, "Sorry, keceplosan. Mantan terindah lo sih yang paling waras dibandingkan temen-temen kita yang naksir tapi ga punya otak."
Aku menunggunya selesai bicara. "Dah?"
Ada satu orang lagi sebenernya yang belum dia sebutkan. Satu orang yang membuatku memutuskan komunikasi dengan cunguk satu itu. Gila memang dia.
"Terus soal dia, gue serius, Di."
Sebelum dia melanjutkan, aku keluar dan membanting pintu mobil dengan keras. Cukup keras sampai Pak Pur, satpam rumah, tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Ada apa, Mas?"
Aku menunjuk Abdi yang udah keluar dari mobil.
"Tolong seret dia keluar rumah, Pak."
"Wan, haha. Lo becandanya ga lucu, bro." Abdi tertawa.
Aku memandang Pak Pur dengan tajam. Untung dia bener-bener ngerti kalau ucapanku tak main-main.
"Wan, tega lo ya. Gue baru sampe bandara," dia berusaha menghindari tangan Pak Pur sambil menatapku melas, "Heh, Wan! Nggak usah ngambek, lah. Gue belum selesai ngomong tadi."
"Awan!" Suara Papa di belakang, "Udah kepala tiga masih aja guyonan. Pak Pur, biarin Abdi masuk."
Dengan senang hati, Abdi menghampiri Papa yang berdiri di teras.
"Apa kabar, Om?"
"Baik. Baru sampai tadi pagi. Kamu gimana?"
"Luar biasa dong. Nih buktinya bisa sampe sini padahal kemaren sore masih dinas di Aceh."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cloudy Marriage [KBM & KARYAKARSA]
General Fiction(SEBAGIAN BESAR PART DIHAPUS DAN DIPINDAHKAN KE KBM DAN KARYA KARSA PER TANGGAL 1 JUNI 2021) . Aku masih ingat sepenggal ucapan Mas Awan saat melamarku ke Ayah. "Saya membutuhkan seorang wanita yang bisa mengurus saya dengan baik. Saya melihat Nara...