Satu bulan yang lalu. (Flash back from Chapter 7 : First Date)
"Wih, mantan calon bujang akhirnya balik rumah! Welcome to the jungle, bro!"
Suara Ares menggelegar saat melihatku masuk ruangannya di lantai 3. Bukannya sibuk kerja, dia malah ngerokok di balkon.
"Berisik, bro."
"Hahaha. Habis kawin masih sensitif aja lu."
Ares mematikan puntung rokok lalu menyusulku duduk di sofanya.
"Sorry ya abis resepsi gue buru-buru balik."
"Santai," jawabku. Cuma Ares yang menyempatkan waktu terbang dari Malaysia untuk pergi ke nikahanku.
"Kesini sama istri lo, Wan?"
Aku terpaksa mengangguk, "Di bawah."
"Nggak lo ajak kesini?"
"Nggak."
"Parah lu, bro. Gue samperin yok ke bawah."
Mati!
"Nggak usah. Gue cuma bentar mampir. Mau minta tolong," yang nggak pernah kulakukan ke Ares.
Alis Ares menyatu, tandanya kalau dia bingung.
"Minta tolong? Serius lu, wan, minta tolong? Hahaha."
Dia malah ngakak, suka ngeselin ini anak.
"Res! Gue lapor ke bapak lo nih."
Ares mencegah tanganku merogoh ponsel, "Woi, selow, Wan."
Mukanya berubah serius. Aku tersenyum simpul. Masih pengecut juga dia kalau masalah bokapnya.
"SMA lo butuh pengajar lagi nggak?"
"Bisa jadi butuh, Wan. Terakhir evaluasi, gue liat ada gurunya yang bermasalah sama penambahan jam ngajar. Maklum, guru senior semua disana. Paling beberapa bulan lagi masa rekrut. Kenapa tiba-tiba nanya?"
"Istri gue ngajar di Cakrawala bisa?" Tanyaku to the point.
Proyeksi wajahnya yang biasanya tenang berubah sendu saat di meja tadi, besar kemungkinan dia rindu ngajar di sekolah. Janjiku memperbolehkan Nara melanjutkan karir belum jadi realita karena dia sibuk mengurusku.
Aku meraup wajah dengan kasar. Rencanaku menikahi Nara karena kupikir aku tak akan jatuh cinta padanya, berubah bumerang. Abdi benar kalau bilang aku tak seharusnya main-main dengan adiknya.
Sikap telatennya mengurus rumah, wajahnya yang cemas luar biasa sambil berlari-lari di IGD untuk mencariku, dan bibir manisnya yang bagaikan candu saat kucium tadi pagi. Hanya butuh empat hari dia bisa membuatku berpikir untuk melindunginya sampai mati.
"Wan, Awan! Yee, malah ngelamun jorok, kan lu?" Ares meninju bahuku.
Aku balas meninjunya, "Lebih jorok mikirin lo."
Ares ngakak.
"Heh, Wan. Gue ngomong dari tadi nggak juga lo denger, percuma. Mikirin apa sih, stress parah muka lo."
Aku berusaha mengalihkan topik, Nara menunggu di bawah.
"Jadi gimana? Bisa Nara ngajar di Cakrawala?"
"Gampang nanti gue bikin rekomendasi."
"Thanks, Res."
"Lo kalo aneh gini gue makin percaya cuma kawin yang bisa bikin seorang Awan jadi bisa galau."
"Canda terus lo, Res."
Setidaknya punya teman seperti Ares yang dulunya sombong setengah mati saat masuk jurusan kampus, kini bisa membantuku membuat hari-hari Nara tak cuma berotasi untuk mengurus rumah.
"Eh resto gue buka lagi di deket alun-alun, samping Hotel Levanter. Kapan-kapan mampir sana, Wan."
"Kantor lo pindah kesana berarti?"
"Engga, tetep sini. Oiya, gue mau nyamperin Nara ah."
Dengan cepat kucekal bahunya dan memberinya tatapan tajam, "Next time. Jangan ganggu makan malam gue."
Ares menoyor kepalaku sambil ngakak hebat, "Bucin gila lo, Wan. Gila parah. Abdi kudu tau, nih."
***
Jadi sebenarnya bapak Awan seperti itu😬
KAMU SEDANG MEMBACA
Cloudy Marriage [KBM & KARYAKARSA]
Ficção Geral(SEBAGIAN BESAR PART DIHAPUS DAN DIPINDAHKAN KE KBM DAN KARYA KARSA PER TANGGAL 1 JUNI 2021) . Aku masih ingat sepenggal ucapan Mas Awan saat melamarku ke Ayah. "Saya membutuhkan seorang wanita yang bisa mengurus saya dengan baik. Saya melihat Nara...