"Besok ada pengecekan besar-besaran" laki-laki tua yang baru saja sampai di rumah Jeffrey yang sepi itu menundukkan tubuhnya, melepaskan topi yang ia pakai dan menatap Jeffrey dengan tenang.
Jeffrey mengerutkan dahinya, ia mengerti pasti ada gerakan baru lagi. Memang nya kapan bangsanya akan benar-benar berhenti.
"maksudnya? kenapa tiba-tiba sekali"
Dougness menghela nafasnya, dia adalah rekan Jeffrey yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi memang, mereka bertemu ketika Jeffrey mengejar pendidikannya di Belanda selama dua bulan, sebelum peneliti kejiwaan itu memilih untuk ikut bersama Jeffrey setelah mendengar keadaan di Indonesia terutama di pulau Jawa.
Jeffrey memang sempat meninggalkan Batavia selama dua bulan untuk mempelajari suatu mata kuliah khusus para Bangsawan yang hanya bisa ia dapatkan di Belanda. Kenapa begitu singkat? karena memang tak banyak, ia hanya mengejar ketertinggalannya saja.
Jeffrey memanfaatkan waktu singkatnya untuk menyelesaikan semuanya, termasuk menghubungi teman-teman jauhnya, tak terkecuali Dougness yang kala itu memang tengah menganggur setelah menyelesaikan pendidikannya & penerbitkan bukunya.
Dougness menghela nafasnya, lalu mulai menceritakan apa yang ia dengar di stasiun pagi tadi.
"Aku dengar koloni mencari gadis muda untuk dijadikan pemuas, kau tahu? Orang-orang kita tidak bisa membawa keluarganya kemari, aku pikir ini taktik baru. Mereka akan menculik gadis muda, mendapatkan uang setidaknya lima puluh gulden untuk setiap gadis. Aku dengar sudah terlaksana di Pasundan."
Laki-laki berkumis itu berhenti sejenak, menatap langit. "Hal itu sudah wajar terjadi di daerah perang Jeff, kurasa kau harus mengerti. Karena, Van Coen bertemu ibumu dengan cara yang sama." setelah mengucapkan kalimat itu, Jeffrey beranjak pergi, tak ingin mendengar lebih dari itu. Cukup menyakitkan mendengar bagaimana ayah nya sempat menjadikan ibunya sebuah barang sebelum akhirnya membawa nya pergi dengan membayar ratusan gulden.
Meskipun ibunya adalah keturunan Belanda asli, keluarganya tak mampu membayar upeti keluarga kala itu, dan dengan terpaksa memberikan anak semata wayangnya.
Daripada berpikir ini adalah murni permintaan petinggi Belanda, Jeffrey justru mencurigai Ayahnya yang sudah seminggu ini tidak pulang. Laki-laki tua itu memiliki libido tinggi, bahkan jika seseorang berniat membunuhnya dengan menyewa pembunuh bayaran dengan wajah dan tubuh seksi, ia yakin ayahnya akan terbunuh dengan mudah.
Netra nya menatap langit, menikmati sejenak lukisan tuhan, membuat pikirannya mereda untuk sejenak.
Terkadang ia bingung, sejak pertemuan pertamanya dengan Rose, dunia nya berubah, seolah-olah selalu ada masalah di setiap celah waktu. Seolah dunia tengah mengujinya, seolah dunia tak mengijinkan dirinya untuk membawa Rose menuju kebahagian abadinya.
Jeffrey menuruni tangga rumah Dougness, berjalan cepat untuk segera pulang menemui Davidson yang mungkin sedang menikmati secangkir kopi di sore hari.
***
Secara tergesa-gesa Jeffrey membuka pintu rumahnya, "Davison! Dav!" langkah pertamanya diiringi panggilan, namun tak ada jawaban. Jeffrey meraih pintu kamar laki-laki berusia setahun lebih tua darinya itu. Kosong, bahkan sprei kasurnya tertata dengan rapi. Kemana orang itu pergi? pikirnya.
Ditengah kebingunganya, salah seorang pembantunya memberikan sebuah kertas yang dilipat asal-asalan kepadanya, melihat cara melipatnya saja Jeffrey hafal surat itu ditulis oleh siapa.
Jeff, maaf aku membobol tabungan babi milikmu, aku mengambil 12 gulden untuk membayar hutangku kepada seseorang. Jadi, jangan marah akan ku kembalikan segera!
KAMU SEDANG MEMBACA
Liefde En Oorlog ; Jeffrey
FanfictionKisah cinta seorang Roseanne sang Indo-Inlander yang dianggap rendah dengan Jaeffrey putra seorang bangsawan VOC. "Saya rasa perasaan ini salah" "Tidak, saya sangat-sangat serius mencintai kamu" "Tapi kita baru bertemu dua hari yang lalu" "Percayala...