Penulis : Sinta Julia
Genre : Romance
SintaYulia1🌻🌻🌻
Suasana sore hari yang indah di pinggir pantai ditemani hembusan angin yang sejuk, juga suara ombak yang bergemuruh, serta matahari yang akan segera terbenam.
“Aku berat, ya?” tanya Sheila yang berada di gendongan Arkan.
“Sedikit,” jawab Arkan jujur.
“Mendingan sekarang aku turun,” ujar Sheila kesal.
“Jangan dong sayang, kaki kamu ‘kan lagi sakit, masa aku ngebiarin pacat aku jalan sendiri? Nanti aku kena azab gimana? Azab seorang pacar yang membiarkan pacarnya jalan sendiri dengan kaki terkilir,” Arkan tertawa sementara Sheila melotot ke arahnya.
“Ku menangis ...” Sheila bersenandung.
“Diem,” titah Arkan.
“Membayangkan ...”
“Kalo diem ntar aku kasih es krim.”
Sheila tidak lagi bersenandung, kini ia tengah menahan senyum dengan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Arkan.
“Arkan!”
“Astaga!” Arkan terkejut mendengar Sheila meneriakkan namanya tepat di telinganya.
“Eh, maaf,” ujar Sheila cengengesan, “Itu ada yang jual es krim keliling, ayo ke sana!” seru Sheila dengan semangat.
Arkan melangkahkan kakinya menuju penjual es krim yang ditunjukkan oleh sang kekasih.
“Mas, saya mau beli es krim jumbo rasa coklat tiga, ya!”
“Kamu mau makan es krim sebanyak itu?” tanya Arkan tidak percaya.
“Enggak, yang satu ‘kan buat kamu, sisanya buat aku semua.”
Setelah selesai membayar, Arkan kembali melangkahkan kakinya ke pohon kelapa yang tumbang sehingga bisa dijadikan sebagai tempat duduk.
Sheila langsung melahap es krimnya tanpa menghiraukan sekitarnya lagi.
Sedangkan Arkan tersenyum melihat tingkah kekasihnya. Meskipun hanya es krim, tapi ia terlihat sangat bahagia.
Cekrek.
Niatnya hanya ingin memotret diam-diam, tapi ia malah ketahuan.
“Arkan! Hapus gak foto itu?!” protes Sheila.
Arkan memperhatikan hasil bidikannya, “Bagus, kok, apalagi dengan sisa coklat di pipi kamu,” katanya sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
Sheila menggulum senyumnya, ia berjalan dengan perlahan mendekat pada Arkan, lalu ia memeluknya erat.
Arkan dengan senang hati membalas pelukan Sheila.
**
“Arkan lagi ngapain, ya? Kok, udah tiga hari ini dia gak ngabarin aku, apa dia lagi sibuk?” ujar Sheila bermonolog.
Shiela : Arkan kamu di mana? Gimana kabar kamu? Apa kamu sakit?
Pesan yang ia kirimkan tidak mendapatkan balasan sama sekali. Tiba-tiba saja ia mendapatkan pesan dari sahabatnya.
Lala : Shey, aku mau traktir kamu nonton malam ini, kamu siap-siap, ya!
Sheila : Oke.
Dari pada termenung sendiri memikirkan Arkan, lebih baik ia menonton film bersama sahabatnya.
**
Di sinilah sekarang Sheila berada, bersama Lala ia menonton film terbaru yang akan segera tayang sesaat lagi.
Namun, ia tidak sengaja melihat seseorang yang mirip dengan Arkan baru saja memasuki bioskop dengan seorang wanita di sampingnya.
Sheila mempertajam penglihatannya dan ternyata itu benar bahwa dia adalah Arkan dengan menggandeng seorang wanita cantik seumurannya.
“Apa ini? Apa dia berselingkuh?” tanyanya pada diri sendiri.
Sheila berdiri mematung menatap keduanya dengan sendu. Ditambah kini Sheila harus duduk tepat di samping gadis tadi yang datang bersama Arkan.
Hatinya meringis, niatnya untuk menghilangkan Arkan dari pikirannya. Namun, yang ia dapatkan sungguh tidak terduga.
“Shey, lo kenapa?” tanya Lala berbisik.
Sheila menggeleng lemah, lalu ia duduk di tempatnya tanpa menoleh ke arah Arkan.
“Aku hari ini seneng banget bisa jalan sama kamu, padahal kamu ‘kan sibuk, tapi kamu mau ngeluangin waktu buat jalan,” ujar gadis yang duduk di samping Sheila membuat telinganya memanas.
“Aku ‘kan sayang sama kamu, jadi aku bakalan lakuin apa aja agar kamu bahagia,” ucap Arkan sembari tangannya mengusap rambut sang gadis.
Perlahan air mata menetes membasahi pipinya, ia sudah tidak kuat lagi. Sheila bangkit dari tempat duduknya, lalu ia pergi meninggalkan bioskop tanpa menghiraukan panggilan Lala.
**
Sheila menangis tersedu-sedu di kamarnya saat mengingat kejadian tadi. Ia terus menyalahkan dirinya sendiri, mengapa ia harus pergi? Andai saja ia tadi tidak mengiakan ajakan sahabatnya, pasti ia tidak akan melihat kejadian tadi.
Ia membuka ponselnya untuk memastikan bahwa yang dilihatnya tadi salah.
Namun, opininya kembali dipatahkan saat ia melihat postingan terbaru Arkan sedang foto bersama gadis di sampingnya yang bernama Laura.
“Ah, ternyata Laura namanya.”
Sheila kembali meneteskan air matanya. Sakit sekali rasanya, melihat seseorang yang begitu ia cintai ternyata kini menghianatinya.
Arkan : Shey, kamu di mana?
Arkan : Aku mau ketemu sama kamu.
Setelah menghapus bekas air matanya, Sheila perlahan mengetikkan balasan untuk Arkan.
Sheila : Rumah.
Tanpa menunggu balasan Arkan, Sheila langsung melempar ponselnya ke sembarang arah.
**
Arkan kini sudah berada di depan rumah Sheila. Ia ragu untuk mengetuk pintu, tapi saat ia menghubunginya ponsel Sheila tidak aktif.
Baru saja mau mengetuk, pintu sudah di buka dari dalam dan menampakkan Sheila nampak tersenyum ke arahnya.
“Shey?”
“Mau masuk apa di luar?” tanya Sheila.
“Di dalem ada orang?”
“Enggak,” jawab Sheila.
“Di luar aja.”
Keduanya kini berjalan menuju taman kompleks rumah Sheila. Keadaan kini canggung tidak seperti biasanya.
“Di sini aja,” ujar Sheila sembari duduk di salah satu kursi taman.
Arkan duduk di sebelah Sheila, ia mendadak gugup saat ingin mengatakannya.
“Shey, kata Lala tadi kamu lihat aku di bioskop?”
Sheila mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.
“Kamu gak nanya dia siapa?”
“Aku percaya kalo kamu bakalan jelasin masalah ini dengan sendirinya,” balas Sheila yang masih mempertahankan senyumnya.
“Kamu gak marah?”
“Marah? Enggak, tapi aku kecewa, kamu gak ada kabar terus tiba-tiba pergi sama cewek lain, gimana kalo kamu jadi aku?”
Mendengar jawaban Sheila membuat Arkan terdiam.
“Shey...”
“Aku mau minta maaf sama kamu, aku janji aku gak bakal ngulangin lagi kejadian kemarin. Aku janji Shey.”
“Kamu janji?” tanya Sheila.
“Arkan!”
Keduanya menoleh ke sumber suara, ternyata dia Laura.
“Laura, ngapain kamu ke sini?” tanya Arkan gugup.
“Aku dari tadi nungguin kamu di mobil lama banget, makanya deh aku ikutin kamu tadi,” jawab Laura.
Arkan membeku di tempatnya.
“Arkan ... aku mau pulang, cape,” ujar Laura manja.
Sheila menatap Arkan dengan raut kecewa. Ia berdiri dari tempatnya, “Selamat atas hubungan kalian berdua.”
Sheila langsung pergi dengan air mata yang mengalir dari pipinya. Tapi, ia tidak sepenuhnya pergi dari taman. Ia memilih untuk bersembunyi di balik pohon besar.
“Kamu cape? Mau langsung pulang atau jalan dulu?”
“Aku mau makan, dari tadi ‘kan belum makan,” balas Laura.
“Oke, kita makan.”
“Yeayy!” seru Laura.
Mendengar percakapan keduanya membuat hati Sheila semakin meringis.
Baru saja tadi Arkan meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tapi, semua itu hanya omongan belaka.
**
Sudah seminggu semenjak kejadian kemarin Sheila tidak keluar kamar. Masuk kuliah pun tidak. Sheila benar-benar mengurung diri dan tidak membiarkan orang lain masuk.
“Shey, makananya Mama taruh di depan pintu, nanti kalo kamu lapar langsung makan, ya,” ujar Mama sembari mengetuk pintu.
Sheila sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun, ia kembali mengingat orang-orang yang sudah menyayanginya.
Tapi, untuk apa ia hidup jika seseorang yang ia cintai kini meninggalkannya.
Ia teringat masa-masa waktu ia berpacaran dengan Arkan. Dari masih SMA sampai kini ia sudah kuliah, dan Arkan kini sudah bekerja di salah satu perusahaan besar.
Bagaimana ia membagi kebahagiaan bersama, menemani saat masa-masa tersulitnya, hingga kini Arkan sudah sukses.
Mengingat semua itu hanya membuatnya menangis, perutnya terasa perih karena belum ia isi sejak kemarin, kepalanya pusing, dan akhirnya ia pingsan.
**
Saat Sheila membuka kedua matanya, ia sudah berada di rumah sakit.
Rasa sakitnya kini sudah berkurang, ia melihat sekeliling kamar rawatnya.
Ia merasakan tangannya di genggam hangat oleh seseorang yang sepertinya ketiduran karena lelah menemaninya.
Deg!
Dia Arkan. Seseorang yang telah membuatnya seperti ini. Bagaimana mungkin ia menemaninya setelah semua hal yang telah ia lakukan?
Sheila mengusap lembut rambut Arkan. Padahal hanya usapan kecil, tapi mampu membangunkan sang empu.
Arkan merenggangkan tubuhnya, sesaat kemudian ia menyadari bahwa Sheila telah siuman.
“Shey, kamu udah siuman? Apa masih ada yang sakit? Kalo ada mana yang sakit? Biar aku panggilin dokter,” ujar Arkan berbondong-bondong.
“Hati,” jawab Sheila datar.
“Maaf,” lirihnya.
“Kenapa? Kenapa Ar? Apa aku punya salah sama kamu? Coba jelasin, aku gak paham sama kamu karena ini terlalu tiba-tiba.”
“Karena dia lebih cantik dari aku? Kalo itu alasannya, aku akan berubah demi kamu,” Sheila merasakan sesak di hatinya.
“Bukan hanya tubuh yang sakit, tapi hati aku juga sakit membayangkan kamu kini sudah bahagia bersama yang lain.”
Kini sudah tidak ada air mata yang mengalir lagi, Sheila sudah bertekad agar ia tidak akan menangis di hadapan Arkan.
“Kalo kamu mau mengakhiri hubungan ini, kamu bisa ngomong baik-baik. Jelasin alasannya, jangan ngilang aja lalu cari yang baru.”
“Shey ... ”
“Happy birthday.”
Hanya sebuah ucapan tapi mampu menyayat hati Sheila. Biasanya Arkan akan menyiapkan kejutan spesial untuk ulang tahunnya, tapi kini sudah tidak ada lagi.
Pintu kamar rawat Sheila terbuka menampakkan seseorang yang kini Sheila benci.
“Arkan,” panggilnya lembut.
“Kapan kamu mau putusin dia? Aku udah gak sabar mau lihat kamu duduk di pelaminan,” ujar Laura.
Deg! Arkan mau menikah? Dengan siapa? Apa Laura?
“Shey, aku mau mengakhiri hubungan ini, karena ... ”
“Karena kamu mau menikah dengan dia? Kalo itu emang alasan kamu mutusin aku, aku bakal terima,” Sheila tersenyum, tapi ia juga meneteskan air matanya.
“Selamat buat pernikahan kalian, semoga langgeng ya,” lirihnya.
Tiba-tiba saja Laura tertawa, lebih tepatnya menertawakan Sheila.
“Shey, Shey. Kenapa lo bisa berpikiran sampe ke situ? Sumpah deh, lo bikin gue ngakak tau gak,” Laura masih saja tertawa membuat Sheila menatapnya bingung.
“Laura, diam!” tegur Arkan.
“Mending lo jelasin semuanya sama Sheila,” ucap Laura dengan sisa tawanya.
“Oh, iya, gue lupa,” Laura mengambil sesuatu dari tas selempangnya.
“Ketinggalan,” Laura memberikan sebuah kotak kecil berwarna marun yang berisi cincin di dalamnya.
Setelah memberikan itu kepada Arkan, Laura langsung pergi dari sana.
“Good luck brother.”
“Hah? Apa tadi ia tidak salah mendengar?” batin Sheila.
**
Arkan kini sudah membawa Sheila ke taman rumah sakit mengenakan ke taman rumah sakit mengenakan kursi roda.
“Ada yang mau kamu jelaskan, Ar?”
Arkan tidak menjawab, tapi ia menghentikan kursi rodanya. Kini Arkan sudah berlutut di depan Sheila.
“Arkan, apa yang mau kamu lakukan?”
“Seperti yang sebelumnya aku katakan, bahwa aku ingin mengakhiri hubungan ini.”
“Kamu mau nikah? Sama siapa? Kasih tau aku,” lirihnya.
“Ya, benar. Aku mau menikah dengan seseorang yang aku cintai saat ini.”
Air mata Sheioa memetes deras, ia tidak sanggup mendengarnya lagi.
“Cukup! Aku gak mau denger kamu ngomong lagi!”
“Seseorang yang sudah menemaniku sejak masih sekolah hingga kini aku sukses.”
“Dia adalah Sheila Afriza.”
Sheila menutup mulut dengan telapak tangannya, ia tidak percaya.
“Bagaimana dengan Laura?”
“Dia sepupu jauh aku, tinggal di luar negeri. Aku minta bantuan dia buat pura-pura jadi pacar aku dan nyiapin kejutan ini.”
Air mata yang menetes kini berubah menjadi air mata kebahagiaan.
“Kamu jahat! Kamu jahat, Arkan! Tega banget kamu sama aku,” seru Sheila sambil memukul pelan tangan Arkan.
“Sekarang aja gimana?”
“Apanya?” tanya Sheila.
“Kita nikah aja sekarang, aku gak sabar untuk hidup berdua bersamamu.”
“Ayok!” seru Sheila lalu tertawa bersama menikmati waktu sore yang indah.-END-
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN MEMBER
Short StoryBerisi kumpulan isi CERPEN dari member Wattpad Feedback Official. Dalam kegiatan " Event Cerpen "