Two Of Us

26 5 2
                                    

Penulis : Benedicta Raissa C.T
Genre : Teenfiction
braissa13

🌻🌻🌻

“Raka! Tunggu!” Lea berlari menghampiri Raka. Dia mendorong sepeda warna pink miliknya sembari mengejar cowok itu. Keringat bercucuran membasahi wajah Lea. Cuaca hari ini cukup terik, ditambah dia harus berlari dengan jarak yang cukup jauh demi mengejar cowok itu, Raka Aracades. Tangan mungil Lea menarik pelan lengan kemeja Raka agar cowok itu menghentikan langkahnya.
Raka hanya memandang Lea dengan wajah datarnya.
“Kamu … jangan jalan lagi, ya.” Lea berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan karena mengejar Raka dari gerbang sekolah.
“Mau apa, sih, Le?” tanya Raka dingin. Dia berdecak kesal karena Lea mengejar dirinya.
Lea tersenyum manis memandang Raka. “Mukanya jangan ditekuk begitu, dong.” Jari telunjuk Lea menyentuh kedua sudut bibir Raka dan menariknya pelan agar bisa membentuk seulas senyum. “Kayak begini lebih manis, Raka.”
Spontan, Raka menepis tangan Lea yang telah menyentuh bibirnya itu. Dia menatap Lea tajam-tajam. “Lo jangan macam-macam, ya.”
“Siapa juga yang macam-macam,” balas Lea kesal.
Raka memutar kedua bola matanya malas. Dia pun mengeluarkan sebuah earphone putih dari dalam saku celananya dan menempelkan kedua alat pendengar musik itu pada kedua telinganya. Raka melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Lea yang tertinggal di belakang.
Lea memanyunkan bibirnya. Dia merasa kesal karena Raka tak pernah mempedulikan dirinya. Padahal, semua cara sudah Lea lakukan. Lea ingin sekali dengan cowok yang satu ini. Namanya Raka. Teman sekelas dan juga cowok idaman di sekolah. Dia tinggi dan juga ahli dalam bidang olahraga. Rambut berwarna cokelat kopi itu terlihat pas pada Raka. Beberapa freckles yang ada pada wajah Raka juga membuatnya terlihat semakin menawan dan menarik. Namun, ada satu hal yang tak bisa Lea pahami. Mengapa Raka begitu dingin?
Lea menatap punggung Raka yang sudah mulai menjauh. Mimik wajahnya terlihat begitu panik. Dia tak ingin kehilangan arah.
“Raka! Tunggu!” Lea memegang pegangan sepedanya dan mendorong sepeda itu mengikuti langkah kakinya. Udara saat ini benar-benar panas. Lea sudah tidak kuat untuk berlari mengejar Raka. Cowok itu sudah terlalu jauh untuk dikejar. Tiba-tiba saja, Lea terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri.
“Ah!” Lea meringis kesakitan. Dia memijat pergelangan kakinya yang sakit. Lea menurunkan kaos kakinya untuk melihat kondisi pergelangan kakinya. “Kenapa, sih?” batin Lea. Dia mendengkus kesal. Dia terjatuh karena menginjak tali sepatunya yang tidak terikat dengan benar.
Hanya ada dia dan sepedanya di situ. Lea masih duduk di pinggir jalan sembari memijat-mijat pergelangan kakinya. Rasa sakitnya luar biasa. Dia tak mampu berdiri untuk waktu yang lama.
“Sekarang jadinya pincang. Kamu ada-ada aja, Lea,” batinnya. Dia hanya bisa memaki-maki dalam hati.
Dia pun hendak berdiri. Tiba-tiba ada sebuah uluran tangan yang memberinya bantuan. Lea menatap tangan itu lalu beralih ke sosok yang sedang berdiri tepat di hadapannya.
“Raka?” tanya Lea dalam hati. Dia mengerutkan dahinya bingung.
Lea pun memegang tangan Raka untuk menopang tubuhnya yang hendak berdiri. Dia sedikit meringis. Peregelangan kakinya sedang terluka. Sekali terkena sentuhan, rasa sakitnya berlipat ganda.
Kedua mata Lea tak pernah lepas dari sosok Raka. Cowok itu? Kenapa ada di sini?
“Raka, kamu ngapain—”
Baru saja Lea ingin bertanya, Raka sudah memotong ucapannya.
“Lo kenapa, sih? Jalan aja bisa jatuh begitu.” Raka menatap Lea kesal.
“Kenapa kamu yang kesal? Yang sakit itu kaki aku bukan kaki kamu.”
Raka mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tak ingin menatap Lea.
“Kamu peduli sama aku, Raka?” tanya Lea dengan nada percaya diri.
Raka kembali menoleh menatap Lea. Perempuan itu tersenyum manis ke arahnya. Jujur, Lea terlihat manis bagi Raka. Dia adalah cewek yang pantang menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Salah satunya adalah hati Raka.
“Lo nggak perlu pikir yang macam-macam. Gue nggak mungkin meninggalkan cewek sendirian. Apalagi dalam kondisi kayak gitu,” jelas Raka.
Lea tersenyum menanggapi balasan Raka. Inilah hal yang Lea suka dari Raka. Sedingin-dinginnya Raka, pasti di dalamnya dia adalah orang yang hangat.
“Oh, ya.” Lea melepas tas ranselnya. Dia mengambil seseuatu dari dalam tas. “Ini untuk Raka,” ucap Lea seraya memberikan benda itu. Sebuah cokelat batang dengan bungkus berwarna pink. Ada sebuah pita merah di atasnya. “Ambil, Raka.”
Raka terdiam. Dia menatap Lea dan juga cokelat batang yang ada di tangannya.
“Tunggu apa lagi? Nih!” Lea menaruh cokelat itu dalam genggaman Raka. Dia tersenyum riang.
“Makasih,” ucap Raka.
“Lea sayang sama Raka. Bukan untuk sekarang saja, tapi untuk selamanya.” Lea menatap Raka lekat-lekat. “Lea tahu bahwa mencintai seseorang perlu perjuangan. Cinta juga perlu pengorbanan.”
Raka menangguk pelan menanggapi ucapan Lea.
“Lea, lo itu kenapa bisa suka sama gue?” tanya Raka penasaran.
Pasalnya, bukan hanya satu atau dua orang yang menyukai Raka. Ada banyak orang yang menyukai dirinya. Selama ini, telinganya selalu mendengar alasan-alasan dari orang yang menyukai dirinya, tetapi dia belum mendengar dari sudut pandang Lea.
“Kenapa bisa suka, ya?” Lea mengagguk pelan. “Ada alasannya.”
“Apa?”
“Sebenarnya ada banyak, Raka.” Lea terkekeh sendiri. “Cinta nggak perlu alasan bukan?”
Raka tersenyum simpul mendengarnya. “Bilang aja karena gue tampan. Basi! Semua orang selalu bilang begitu,” batin Raka.
Lea menarik napasnya dan menatap Raka lekat-lekat. “Kamu bisa membuatku nyaman, Raka.” Dia tersenyum manis. “Cinta aku ke kamu, semuanya berdasarkan rasa nyaman. Entah kenapa aku nyaman ada di dekat kamu. Ditambah lagi, kamu itu baik dan pengertian. Kamu beda dari yang lain, Raka. Kamu unik!”
Raka membisu. Dia tidak bisa membalas perkataan Lea walau hanya sepatah kata saja. Jawaban Lea sangat berbeda jauh dari ekspetasi dan dugaannya. Jawaban ini tak disangka-sangka.
“Kamu itu peduli, Raka. Kamu juga lembut, walaupun kamu dingin dan nggak pernah menunjukkan rasa peduli itu secara langsung, tapi hati kecil kamu begitu hangat. Aku bisa mengenal dirimu dari dalam juga bukan hanya dari luar,” jelas Lea.
“Lea, gue nggak sesempurna yang lo dan teman-teman bayangkan. Gue bukan orang yang bisa segala-galanya. Walalupun katanya wajah gue tampan, gue bisa olahraga, dan nilai gue bagus. Nyatanya, gue nggak sesempurna itu.” Nada bicara Raka terdengar begitu serius. “Gue nggak begitu sempurna untuk lo kejar.”
Lea menghela napasnya lalu beralih menatap Raka.
“Cinta itu nggak perlu sempurna, Raka. Cinta itu ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Cinta yang sempurna belum tentu bahagia, tetapi cinta yang bahagia pasti akan sempurna.” Lea menepuk pundak Raka. “Aku suka sama kamu apa adanya, bukan semata-mata karena sesuatu yang kamu punya. Aku menyukai segalanya dari kamu, Raka.”
Raka tersenyum mendengar pernyataan Lea. Baru kali ini dia menemukan perempuan seperti Lea. Dia benar-benar berbeda dari yang lainnya.
“Lea,” panggil Raka.
“Apa?”
“J-jadi, lo tertarik nggak dengan wajah gue yang katanya tampan?” tanya Raka dengan malu-malu.
Tawa Lea pecah. Dia tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan dari Raka.
“Apa kata kamu, Raka?” tanya Lea yang masih tertawa. Tawanya tak bisa dihentikan.
“Ish! Udah, nggak jadi,” balas Raka kesal.
“Raka,” panggil Lea. Dia tersenyum menatap cowok yang berdiri di sebelahnya. “Cinta nggak memandang fisik. Kalau boleh jujur, aku tertarik. Siapa juga yang nggak akan tertarik dengan wajah manis kamu. Hahaha.” Lea mencolek pipi Raka. “Tapi, cantik dan ganteng bukan dasar seseorang untuk mencintai orang yang dia suka dan sayang. Aku suka kamu bukan karena tampang. Anggap saja itu bonus dari Tuhan. Hahaha,” ucap Lea.
Tak terasa, mereka sudah sampai di sebuah taman kota. Banyak sekali topik yang mereka bicarakan selama perjalanan tadi. Semenjak Raka menolong Lea, dia membantu Lea berjalan dengan melingkarkan tangan Lea pada lehernya. Sekarang, mereka berdua berjalan ke taman untuk duduk dan beristirahat. Pergelangan kaki Lea harus direlaksasikan sejenak.
“Lea, duduk dulu, ya.” Raka membantu Lea untuk duduk di rumput taman yang hijau. Di taman ini hanya ada sedikit bangku. Orang-orang lebih banyak duduk di atas rumput dengan menggelar sebuah tikar.
“Makasih, Raka.” Lea melepas tangannya yang melingkar pada leher Raka.
“Kaki lo masih sakit?” tanya Raka dengan nada sedikit khawatir.
Lea menganggukkan kepalanya pelan. Dia hendak membungkuk untuk memijat pergelangan kakinya yang sakit, tetapi Raka menahannya. Lea menatap Raka bingung.
“Jangan, Le. Sama gue aja.” Raka membungkuk dan menurunkan kaos kaki putih yang dikenakan Lea. Dengan lembut, Raka memijat pergelangan kaki Lea. “Sakit? Kalau sakit kasih tahu gue, ya.”
Perempuan itu hanya berdiam diri. Dia sedikit terkejut dengan perilaku cowok ini terhadapnya. Tadi, dia tampak begitu dingin. Sekarang, perilakunya begitu hangat dan manis.
“Raka,” panggil Lea dengan suara pelan. Raka yang mendengar namanya disebut langsung menoleh menatap Lea. “Ya?”
“Kamu sakit? Demam? Kamu kenapa?” tanya Lea heran.
“Hah? Maksud lo?” Raka mengerutkan dahinya.
“Kamu perhatian kayak gini. Padahal, tadinya kamu dingin sama aku,” ucap Lea.
Raka pun bangkit berdiri lalu duduk di sebelah Lea.
“Le, gue mau nanya. Selama ini lo selalu berusaha untuk mendapatkan hati gue, apa lo nggak lelah?” tanya Raka.
Lea menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Aku tahu bahwa cinta itu perlu pengorbanan. Semua di dunia ini nggak ada yang instan. Untuk mencintai seseorang, semua itu perlu proses. Jikalau memang cinta itu perlu pengorbanan. Tidak apa-apa aku yang berkorban,” jelas Lea.
Raka dibuat bungkam oleh perkataan Lea. Setiap kata yang Lea ucapkan, semua itu terasa begitu nyata, seakan bukan Lea yang mengucapkannya. Seorang gadis biasa bernama Lea yang selalu mengejar Raka tanpa henti. Seorang gadis yang tampak lugu dan pendiam. Ternyata, perkataannya jauh lebih dewasa ketimbang teman-teman yang lainnya.
Seumur hidup, Raka baru pertama kali bertemu dnegan perempuan semacam Lea. Bisa berpikir luas dan bisa mendefinisikan ap arti cinta secara dewasa.  Bagi Lea, cinta itu bukan hanya di mulut, tapi juga dilihat dari perilaku. Raka sungguh bersyukur bisa bertemu dengan Lea.
Raka memeluk erat Lea yang ada di sampingnya. “Makasih … makasih, Le. Makasih karena sudah menyukai gue.”
Lea yang terkejut tetap berusaha untuk menengakan dirinya. Dia pun membalas pelukan Raka. “Sama-sama, Raka,” ucap Lea diikuti dengan seulas senyum manisnya.

-END-

KUMPULAN CERPEN MEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang