MENANTI

30 5 1
                                    

Penulis : Sarah Anastasya Lastiur Sirait
Genre : Fiksi Remaja
mamozzas

🌻🌻🌻

Sorak-sorai para murid terdengar bersamaan dengan dilepaskannya tali balon dari genggaman tangan mereka masing-masing. Balon tersebut terbang bersama dengan sebuah kertas kecil yang diikat dengan erat pada tali balon tersebut. Kertas kecil tersebut berisi tentang harapan mereka nantinya. Simbol balon pada kegiatan ini adalah untuk melepaskan hal-hal buruk dan siap menghadapi masa kini yang harus dijalani lebih baik. Selain itu, balon yang dilepaskan berarti sebagai harapan untuk dapat meraih cita-cita setinggi langit.
Hari ini adalah Hari Kelulusan bagi siswa-siswi kelas XII.
Seorang gadis dengan rambut sebahu sedang tersenyum manis menatap ke atas langit, di mana berbagai balon dengan bermacam-macam warna telah menghiasi langit di atas gedung sekolahnya. Langit biru begitu indah saat ini, sehingga ia segera mengeluarkan sebuah benda pipih dari saku roknya, kemudian mengarahkannya ke atas langit untuk mengambil gambar. Bagaimanapun, ia tidak ingin menyia-nyiakan momen tersebut.
Setelah selesai mengambil gambar, ia menatap ke arah salah satu balon dengan warna merah muda tersebut. Balon itu adalah balon miliknya, di sana ia terbangkan sebuah harapan, yaitu ia dapat meraih cita-citanya.
“Almeta Agitari!” panggil seseorang yang membuat gadis pemilik nama panjang Almeta Agitari tersebut menoleh ke arah sumber suara. Di sana sudah terdapat Ellen Ardelia, sahabatnya.
“Ada apa?” tanya Almeta.
“Ayo, ikut aku berkeliling sekolah!” ajak Ellen.
Almeta mengangguk mengiyakan. Almeta dan Ellen pergi meninggalkan lapangan sekolah. Keduanya berjalan beriringan menuju taman belakang sekolah. Sesampainya di taman belakang, keduanya memutuskan untuk duduk di sebuah kursi dengan cat berwarna putih tersebut. Banyak kenangan yang tercipta di taman itu, salah satunya adalah pertemuan pertama Almeta dengan Aiden Orancer, pujaan hatinya.
Pertemuan mereka hanya berlangsung beberapa menit. Namun, waktu singkat tersebut menimbulkan akibat yang sangat luar biasa bagi Almeta. Pertemuan yang membuat seorang Almeta Agitari merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Ia dan Aiden bertemu dengan cara yang sederhana, yaitu melalui tabrakan badan yang tidak disengaja. Aiden begitu baik untuk menolongnya mengambil buku yang terjatuh. Bahkan, ia yang terlebih dahulu mengatakan maaf. Oleh karena itu, Almeta mencintainya.
Sejak saat itu, Almeta selalu rajin meletakkan surat cinta di laci meja milik Aiden. Walaupun ia tahu, bahwa yang mengirimkan surat cinta kepada Aiden bukan hanya dirinya sendiri. Ia selalu berpikir bahwa Aiden tidak akan pernah membaca surat darinya. Namun, hatinya selalu tidak pernah lelah untuk menuliskan surat kepada Aiden.
“Aiden!” panggil seseorang yang membuat Almeta menoleh ke arah sumber suara. Ia yakin, bahwa Aiden sedang berada di sekitarnya saat ini. Dan benar, saat ini Aiden sedang berdiri tidak jauh darinya.
Aiden tidak sendiri. Ia bersama dengan teman-temannya. Almeta memperhatikan mereka secara diam-diam. Hingga akhirnya, Aiden memeluk teman-temannya, kemudian berjalan meninggalkan taman belakang sekolah. Melihat hal tersebut, Almeta menoleh ke arah Ellen.
“Ellen, aku pergi sebentar. Nanti aku kembali lagi ke sini. Tunggu, ya,” ucap Almeta yang dibalas dengan anggukan oleh Ellen.
Almeta mengikuti langkah Aiden dari belakang. Almeta tersenyum memperhatikan punggung Aiden. Walaupun ia hanya dapat menatap punggung pujaan hatinya, ia sudah cukup bahagia. Ia mengikuti Aiden untuk terakhir kalinya. Karena ia tahu, bahwa sebentar lagi ia akan sulit untuk melihat Aiden lagi. Mengapa seperti itu? Karena mereka berdua melanjutkan pendidikan di dua tempat yang berbeda. Aiden yang melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta, sedangkan Almeta masih menetap di kota Bandung.
Almeta menghentikan langkahnya saat menyadari bahwa arah langkah Aiden adalah gerbang sekolah. Itu tandanya, Aiden akan segera pergi dari sekolah ini.
“Aiden,” panggilnya pelan. Untuk pertama kalinya, ia berani memanggil nama cowok tersebut. Karena setelah pertemuan singkat di antara mereka berdua, Almeta tidak pernah berani untuk menyapa Aiden.
Keadaan sekolah yang sedang ribut saat ini, membuat Aiden tidak dapat mendengar panggilan darinya. Aiden justru terus melangkah.
Almeta menundukkan kepalanya. “AIDEN!” panggil Almeta dengan suara yang cukup kuat.
Saat ini, Almeta tidak berani menatap ke depan. Ia masih setia menatap sepasang sepatu yang sedang ia kenakan. Almeta merutuki dirinya yang begitu berani memanggil nama cowok tersebut. Almeta sangat penasaran mengenai apa yang akan terjadi setelah ini.
Matanya membulat tatkala melihat sepasang sepatu berhenti tepat di depan sepasang sepatunya. Almeta sangat mengenali pemilik sepatu tersebut. Ia menoleh ke atas untuk dapat melihat wajah pemilik sepatu berwarna hitam tersebut. Dan seperti dugaannya, pemilik sepatu tersebut adalah Aiden.
“Ada apa?” tanya Aiden dengan senyum manis tercipta di bibirnya.
Almeta terdiam membisu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan, saat ini ia sudah kesulitan untuk bernapas. Selama ini Almeta hanya dapat menatap sosok di hadapannya itu dari jauh. Namun, kali ini ia berbeda, ia menatap Aiden dengan jarak yang cukup dekat. Aiden melambaikan tangannya tepat di depan wajah Almeta, mencoba untuk mengembalikan kesadaran Almeta. Matanya mengerjap terkejut.
“Kenapa?” tanya Aiden.
“Hai! Namaku Almeta. Almeta Agitari,” balas Almeta dengan lancar. Untung saja Almeta sering berlatih untuk berkenalan di depan Aiden melalui cermin yang ada di kamarnya.
Almeta menunggu balasan dari Aiden. Namun, Aiden hanya diam sembari menatapnya. Tentunya tatapan dari Aiden tersebut membuat Almeta jadi salah tingkah, sehingga ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Kenapa kamu ... hanya diam aja?” tanya Almeta.
“Jadi, aku harus apa? Kamu sudah tahu namaku.” Almeta merutuki kebodohannya sendiri. Rasanya ia ingin terbang dan menghilang dari hadapan Aiden sekarang.
“Aiden!” panggil seseorang yang membuat keduanya menoleh ke arah seorang pria yang sangat dikenali oleh Almeta. Dia adalah Jack, saudara Aiden.
“Iya, Kak?” tanya Aiden saat Jack sudah berada di sampingnya.
“Ayo, pulang! Papa udah nungguin,” jawab Jack yang dibalas dengan anggukan oleh Aiden.
“Iya, Kak. Sebentar.” Jack mengangguk kemudian menatap Almeta sekilas. Jack tersenyum hangat. “Saya pamit dulu, ya,” ucap Jack berpamitan kemudian pergi meninggalkan keduanya.
“Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Aiden. Almeta hanya diam. Ia ragu untuk mengutarakan isi hatinya.
“Enggak ada? Kalau begi—“
“AKU MENCINTAIMU, AIDEN!” potong Almeta diakhiri dengan menundukkan kepalanya. Almeta tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini. Bila sebuah penolakan akan hadir padanya, ia tidak peduli. Baginya, mengutarakan perasaannya dapat membuatnya lega. Dibandingkan perasannya harus ia simpan sendiri.
Almeta tak berani untuk melihat raut wajah Aiden saat ini. Ia yakin, bahwa Aiden akan menampilkan raut wajah yang tidak suka padanya.
“Terima kasih,” ucap Aiden tulus yang membuat Almeta segera menaikkan wajahnya. Aiden masih setia memaparkan senyum manisnya. Jantung Almeta terasa seperti akan terlepas saat ini. Almeta tidak sanggup!
“AIDEN!” panggil Jack.
Aiden menoleh sebentar ke arah Jack, kemudian kembali menatap Almeta. Ia tersenyum manis. Namun, Almeta tidak tahu apa makna dari senyum tersebut.
“Terima kasih, Almeta Agitari,” ucapnya lembut, kemudian berbalik dan berjalan menghampiri Jack.
Untuk pertama kalinya, Aiden menyebutkan namanya, ditambah lagi itu adalah nama lengkapnya. Almeta melompat kegirangan. Hari ini adalah hari yang indah baginya. Namun, dalam hitungan detik Almeta menghentikan lompatannya. Ia menyadari satu hal, yaitu Aiden tidak memberikan jawaban yang lebih jelas. Apakah Almeta ditolak? Atau justru diterima?
Aku benci kata terima kasih, batinnya sembari tersenyum kecut.
•°•°•°•°•°•
Tiga tahun kemudian ....
Sudah tiga tahun telah dilewati oleh Almeta, dan sampai saat ini, Almeta masih setia menanti jawaban dari Aiden. Almeta tidak dapat berhenti untuk mencintai Aiden. Walaupun beberapa orang di sekitarnya selalu berkata bahwa Aiden tidak mungkin membalas perasaannya. Namun, bukan Almeta Agitari namanya bila langsung menyerah. Ia tidak pernah berhenti untuk menuliskan surat cinta untuk Aiden di dalam buku khusus. Dan yang paling utama adalah ia yang tidak pernah berhenti berdoa kepada Tuhan.
“Almeta,” panggil Ellen yang membuat Almeta menoleh sembari menaikkan sebelah alisnya.
Saat ini, Almeta dan Ellen sedang berada di kamar milik Almeta. Keduanya sudah berjanji untuk tidur bersama di rumah Almeta pada malam ini.
“Kamu enggak lelah menanti tanpa dinanti kembali sama dia?” tanya Ellen.
“Sebenarnya ... aku lelah,” jawab Almeta sembari tersenyum kecil.
“Lalu kenapa masih setia menanti?”
“Bagi aku, cinta bukanlah sesuatu yang hanya berhubungan dengan perasaan, baik itu bahagia, sedih, dan lelah. Namun, cinta juga membutuhkan sebuah pilihan. Mengapa? Karena tanpa adanya sebuah pilihan, aku tidak akan bisa menentukan arah cintaku. Dan menanti tanpa dinanti, adalah pilihanku,” balas Almeta yang membuat Ellen mengurungkan niatnya untuk memberitahukan sesuatu pada sahabatnya itu.
“Begitu rupanya. Semangat, Almeta! Aku akan selalu dukung keputusanmu!” balas Ellen sembari memeluk tubuh sahabatnya itu.
“Aku beruntung punya sahabat seperti kamu,” ucap Almeta.
“Aku juga.” Keduanya melepaskan pelukan mereka, kemudian tersenyum bahagia.
“Ada yang ingin aku sampaikan padamu,” ucap Ellen dengan sedikit menundukkan kepalanya.
Almeta mengerutkan dahinya bingung. “Apa itu?” tanyanya.
Bukannya menjawab, Ellen justru menyerahkan ponselnya kepada sahabatnya itu. Almeta menerima ponsel tersebut. Mata Almeta memanas ketika melihat apa yang ditampilkan di sana. Itu adalah snapgram milik Aiden. Terlihat sebuah kertas penerbangan menuju Bandung. Bukan fotonya yang membuat matanya memanas, melainkan tulisan yang diketik oleh Aiden, yaitu Tunggu aku, Kotak Cinta. Tidak lupa dengan emoji love berwarna merah.
Cairan bening lolos begitu saja dari di sudut matanya. Hatinya sakit melihat itu. Siapa yang dimaksud oleh Aiden? Kotak Cinta? Selain dirinya, pasti banyak gadis lain yang juga menyukai Aiden. Siapakah salah satu dari mereka yang beruntung mendapatkan cinta dari Aiden? Yang pasti bukan dirinya.
Ellen segera memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Ia menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu, dengan maksud untuk menenangkan dirinya. Namun, tangisan Almeta justru semakin menjadi-jadi.
Apakah ini akhir dari penantian panjangku?
•°•°•°•°•
Keesokan harinya, Almeta menjalani harinya dengan berbeda. Yang biasanya senyum manis selalu tercipta di bibirnya. Namun, hari ini tidak ada seulas senyum yang terukir. Almeta yang selalu ceria berubah menjadi Almeta yang pendiam. Tentunya, perubahan sifat darinya membuat orang-orang terdekatnya dibuat bingung sendiri.
Bahkan, Almeta begitu malas mendengarkan penjelasan dari dosennya. Kelas yang ia ikuti pada hari ini tidak ada yang berhasil dicerna olehnya. Setelah kelas berakhir, ia segera keluar dari kelas, kemudian berjalan menuju gedung fakultas Ellen. Ia melirik ke arah jam tangan yang melingkar manis di lengan kirinya. Seharusnya Ellen sudah selesai kelas sejak setengah jam yang lalu, akan tetapi tidak ada tanda-tanda dari Ellen sampai sekarang.
Drt!
Sebuah pesan masuk yang berasal dari Ellen terlihat di layar kunci ponselnya. Pesan tersebut menyatakan bahwa Ellen sedang berada di taman kampus. Oleh karena itu, Almeta segera beranjak dari tempatnya menuju taman kampus.
Setibanya di taman kampus, mata Almeta menyusuri area taman, akan tetapi ia tidak melihat tanda-tanda kehadiran Ellen di sana. Almeta memutuskan untuk duduk sembari menunggu kehadiran Ellen.
Beberapa menit kemudian, Almeta merasa ada seseorang yang ikut duduk di sampingnya. Ia menoleh ke arah samping, sontak matanya membulat sempurna ketika melihat siapa yang duduk di sampingnya. Dia adalah Aiden, seseorang yang berhasil membuat Almeta merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
“Kamu ... ngapain di sini?” tanya Almeta bingung. Pasalnya, kedatangan Aiden ke Bandung adalah untuk menemui seseorang yang disebut dengan Kotak Cinta olehnya.
Jangan bilang kalau Kotak Cinta yang dia maksud adalah ... aku? batin Almeta.
“Aku di sini ingin menemui Kotak Cinta milikku,” jawab Aiden.
“Siapa?”
“Kamu.” Mata Almeta membulat sempurna. Jadi, kedatangan Aiden ke Bandung adalah untuk menemui dirinya? Bukan gadis lain? Rasanya seperti mimpi.
“Almeta, aku mencintaimu,” ucap Aiden sembari menarik tangan Almeta untuk ia genggam.
“Sejak kapan?”
“Sejak kamu mengirimkan surat cinta.”
“Kamu suka dengan tulisanku? Bagaimana kamu tahu bahwa pengirim surat itu adalah aku?” Almeta sungguh dibuat bingung. Aiden justru terkekeh geli melihat wajah penuh tanya dari Almeta.
“Cepat jawab!”
Aiden tersenyum manis. “Iya, aku suka tulisanmu. Aku mengetahui pengirim surat tersebut adalah kamu, karena aku pernah menemukan kamu sedang meletakkan surat di laciku. Yang mana pada saat itu belum ada surat selain darimu. Dan yang menjadi ciri khas dari suratmu adalah kalimat yang selalu kamu tulis di depan amplop, yaitu Kalau kamu tidak baca, ketampananmu akan berkurang. Kalimat itu berhasil membuatku penasaran seberapa indah isi surat tersebut. Ternyata, isinya begitu indah seperti si pengirim surat,” jelas Aiden yang berhasil membuat senyum manis terbit di bibir Almeta.
“Lalu mengapa pada waktu aku menyatakan perasaanku, kamu tidak mengatakan hal yang serupa?” tanya Almeta.
“Aku menginginkan waktu yang tepat untuk memberi tahumu. Dan sekarang adalah waktunya,” jawab Aiden.
“Aku mencintaimu, Aiden.”
“Aku juga mencintaimu, Almeta.”
Jika kamu mencintai seseorang, buatlah sebuah pilihan sebagai kompas untuk menentukan arah cintamu. Pilihan yang hatimu yakini. Jangan mengikuti pilihan yang dikatakan olen orang lain, karena itu adalah kisah cintamu, bukan mereka. Kamu yang lebih paham mana pilihan terbaik bagi dirimu. Dan jika kamu sudah berhasil memilih, jangan pernah menyesali pilihanmu.

-END-

KUMPULAN CERPEN MEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang