Penulis : Santi Rasmita Aprilia
Genre : Fiksi Remaja
deresiafeksi🌻🌻🌻
“Hai. Selamat bersua bersama saya, tuan perangkum asa yang sedang berbahana perihal isi dalam kepala."
Kemudian suara petikan gitar merebak dari speaker ponsel milik si gadis yang sengaja volumenya di besarkan sampai batas maksimal hingga memenuhi ruang yang enggan membuatnya untuk beranjak dari sana.
Ditemani secangkir lemon tea hangat serta bungkus berbentuk persegi panjang berisikan tiga buah biskuit. Oh iya, tentu saja sebagai pemanis yang selalu disarankan oleh sang Penyiar podcast. Iya, podcast dengan penyiar nan gemar disapa Tuan Perangkum Asa itu bermuat sajak serta karangan indah. Pada akhir bulan biasanya Tuan Perangkum Asa ini membuka sesi tanya jawab untuk para pembacanya.
Tak terlalu lama, mungkin setiap episode berlangsung selama sepuluh menit, itu pun yang paling lama seingat si gadis. Setiap pesan dihantarkan oleh Tuan Perangkum Asa setiap malam minggu saat jarum jam pada ruang milik si gadis menunjuk angka delapan.
"Banyak yang bertanya perihal nama di sosial media Tuan Perangkum Asa. Sebelum menuju isi pesan, saya akan menjawab. Mengapa disebut Tuan Perangkum Asa?"
Benar juga, pertanyaan itu selalu terbesit dalam pikirannya. Ada makna apa sebenarnya di balik kata tuan perangkum asa? Si gadis segera mendekat menuju ponsel miliknya, mendengarkan seksama setiap kata yang menjadi jawaban sambil meneguk perlahan lemon tea.
"Tuan, jelas saya adalah sosok adam yang sangat suka hal berbau sastra. Perangkum asa, dua kata ini diambil dari pengalaman pribadi saya. Kala itu ada seorang gadis yang berucap kepada saya, 'kalimat yang kakak tulis di atas kertas selalu membawa aku menyelam sama harapan', katanya."
Tunggu sebentar, kenapa kalimat itu seperti tak asing bagi si gadis. Dia seperti pernah mengucapkannya, namun kenapa saat-saat seperti ini ingatannya harus berkeliling dulu sebelum mencoba mengenali kalimat tersebut.
"Dan sejak saat itu pula, saya menyimpulkan untuk memberi nama, Tuan Perangkum Asa."
....
Kala gelap mengambil kuasa atas hitam dirgantara memayungi bumi bersama titik kecil bersinar bertebaran sebagai pertanda malam telah sampai. Lampu-lampu yang berjaga di pinggir jalan mulai menyala sebagai sumber cahaya. Jangan lupa suara klakson memekikkan sepasang telinga, praja dengan julukan Kota ATLAS ini mana bisa meredup seketika, mesin beroda penghasil polusi saja lewat setiap sekonnya.
Layaknya saat ini, sepasang taruna sedang membelah adimarga Semarang di atas motor antik berusia tak lagi muda milik bapak dari salah satunya. Diselingi tawa setiap cakapnya memberi kesan amat bahagia tiap rangkaian kata. Untung si pengemudi masih bisa mengontrol fokusnya.
Motor vespa milik pemuda berasma Dejana memasuki area kios-kios lama yang sudah tutup, lantas memarkirkan Juna—nama motor bapaknya—di jejeran motor lain. Setelahnya si gadis memberikan helm yang dia gunakan kepada Dejana lalu beranjak dari jok vespa. Dejana menempatkan pelindung kepala miliknya dan si gadis pada spion motor, sebelumnya juga sempat berkaca sebentar jika saja rambutnya berantakan.
"Yuk, Kak," ajak Arumi menerbitkan lekukan mencipta senyum.
Dejana mengangguk, salah satu tangannya terkait pada sela-sela jari Arumi. Keduanya saling menatap dengan lekukan pada paras masing-masing kemudian menggandeng si gadis untuk menyeberang jalan raya penuh mesin beroda menuju Simpang Lima. Tempat para manusia menikmati Semarang yang bagi Dejana bagai alun-alun ramai setiap malam.
Banyak sekali manusia yang berkumpul di sini. Ada yang sedang menaiki becak hias berbagai bentuk, bermain sepatu dengan roda di bagian bawahnya, ada juga yang makan sosis bakar bersaus tomat di bawah pohon yang tertanam di setiap sisi Simpang Lima.
"Mau naik apa?" tanya Dejana menatap paras Arumi yang tampak sedang berpikir.
"Nyewa sepeda gandeng kayaknya seru, Kak," jawab Arumi berpendapat.
"Oke," balas si pemuda sambil mengacungkan jempol.
Langah mereka mulai mendekati pemilik sepeda gandeng, tak jauh juga sebab di sekeliling juga penuh dengan penyewaan sepeda gandeng dan semacamnya. Setelah bernegosiasi soal harga sewa kepada si pemilik yang rupanya susah untuk di tawar, mereka akhirnya sepakat memilih sepeda gandeng berwarna biru dengan hiasan lampu kelap kelip membalut setiap sisi menutupi bagian cat yang terkelupas.
Dejana mengambil alih kemudi di bagian depan sedang Arumi di belakang juga ikut serta menggerakkan, namun hanya sebagai penambahan tenaga supaya Dejana tak kewalahan mengayun sepeda.
"Udah siap?" tanya Dejana memastikan.
"Siap," jawab Arumi mengangguk, kedua tangannya sudah bersiap memegang setang.
Perlahan tungkai si pemuda naik turun bersamaan dengan si gadis menekan pedal, alhasil roda angin itu bergerak sesuai arahan Dejana. Mengelilingi putaran Simpang Lima sambil memandangi gedung-gedung tinggi yang mengitarinya. Menikmati setiap kayuhan dengan senyuman kemudian panik saat sepeda mereka hampir menabrak sepeda gandeng lain atau pun becak hias.
Hampir mencapai putaran ketiga dengan luas Simpang Lima yang besarnya tak kekaruan. Si gadis memilih mengambil berhenti sebagai rehat, mengubah posisi membungkuk menjadi berkacak pinggang mengatur deru napas sambil menatap Dejana yang melihat ke arahnya.
"Bentar, Ka-Kak. Ca-capek," ucapnya dengan terengah-engah.
"Ah, cemen kamu. Gitu aja udah ngos-ngosan," ledek Dejana.
"Terserah kakak aja lah. Tinggal berapa menit lagi waktu nyewanya habis?" tanya Arumi.
Dejana mengecek arloji yang melingkar pada lengannya lantas berkata, "Hm ... tinggal tiga menit lagi, gimana mau lanjut apa udahan?"
"Ya udah, Kak. Lanjut aja, paling pas sampai sana waktunya udah habis," jawab Arumi memegang kembali setang sepeda di jawab anggukan oleh Dejana.
Tungkai Dejana kembali menggerakkan sepeda dengan kayuhan lebih pelan supaya Arumi tak lagi kelelahan. Sesekali menyapa siapa saja yang bertabrakan pandang dengannya walau tak saling kenal sebenarnya.
Waktu menyewa telah usai, sepeda gandeng yang mereka tumpangi sudah dikembalikan. Kurang puas rasanya, padahal Dejana masih ingin mengelilingi bundaran trotoar Simpang Lima dengan roda angin yang mereka sewa.
"Mau beli jajan apa, Kak?" tanya Arumi kepada Dejana yang masih saja memandangi sepeda tadi seolah masih tak rela.
"Terserah kamu aja," jawab Dejana, pandangannya sudah beralih rupanya.
"Ih, kayak cewek ditanya in jawabnya terserah," cela Arumi dengan cemberut.
Dejana mengerutkan dahi hingga alis tebalnya hampir saja menyatu. Kemudian membalas ucapan Arumi tadi sambil mencubit hidung si gadis.
"Iya-iya. Beli jagung bakar sana," suruhnya sambil terkekeh.
Arumi menjawab dengan gerakan tubuh layaknya memberi hormat saat upacara bendera lalu mengambil langkah menuju penjual jagung bakar. Sedang Dejana tengah duduk beralaskan rerumputan menunggu Arumi datang.
Atensinya tak lepas menatap si gadis dari kejauhan. Arumi sedang berjongkok layaknya si penjual di pinggir tungku pembakar sambil menunjuk jagung yang terkena bara api serta bercakap kepada si ibu penjual jagung bakar.
Jemari Dejana yang merasa gatal lantas merogoh saku celana mengambil ponselnya, memencet ikon kamera, dan mengambil gambar Arumi yang tampak cantik di sana. Sudut bibir si pemuda terangkat mengamati hasil jepretannya yang tak kalah bagus layaknya fotografer lain.
"Kak Dejana!" seru Arumi membuat si pemilik nama tersentak.
"Apa-apaan sih, Arumi. Bikin saya kaget aja," balas Dejana sedikit tak terima.
"Hehehe, tadi aku lihat kakak senyum-senyum sendiri. Kenapa hayo?" goda Arumi yang sudah duduk di samping Dejana.
"Kepo kamu," jawab Dejana.
"Jangan ngambek dong Masnya. Ini ambil," ucap Arumi menyodorkan kantong keresek berisikan jagung milik si pemuda.
Kemudian keduanya mengambil jagung milik masing-masing dari plastik yang membungkus. Terlihat jagung dengan kilauan bumbu beserta titik hitam di beberapa butirnya sebagai petanda bahwa jagung telah matang. Memakannya dengan cara memegang bagian ujung jagung lalu melahap setiap butirnya.
"Kak," panggil Arumi di sela-sela memakan jagung.
"Makanannya dihabisin dulu baru ngomong," balas Dejana sedikit ketus, masih fokus menggerogoti jagung miliknya.
Arumi melempar pandangan ke arah lain. Dejana mungkin masih marah dengannya, terdengar dari nada bicaranya yang sedikit memberi tahu bahwa pemuda itu masih sedikit jengkel. Lelaki itu sedikit sensitif rupanya. Di mata Arumi, Dejana seperti dinosaurus kalau lagi marah.
Si gadis melanjutkan kegiatan makannya hingga satu jagung habis tak tersisa. Supaya ketika sampai rumah tak ditawari ibunya makan lagi. Menurunkan berat badan bagi Arumi itu sangat susah, apalagi ibunya sering memasak makanan yang berlemak mana enak lagi.
"Udah selesai. Kenapa Arumi?" tanya Dejana membereskan sisa makanannya.
"Bentar, Kak. Jagungnya nyelip ke gigi," ucap Arumi dibalas gelengan kepala oleh Dejana. "Nah, udah."
Bukannya memandangi pemuda yang ada di sebelahnya, sepasang manik hitam Arumi menatap jejeran titik bersinar di atas sana. Diikuti Dejana, yang memandangi langit hitam jauh tinggi bagai atap manusia.
"Kak, mari bertukar pikiran," ajak Arumi masih fokus menatap langit.
"Perkara apa?"
"Definisi perihal yang namanya cinta," jawab Arumi.
"Saya tak pandai-"
"Kakak terlampau bohong. Manusia pengagum kata yang setiap sajaknya tertempel pada mading, masa nggak paham soal cinta," ujar Arumi memotong ucapan Dejana sedikit tak terima.
Dejana selalu membuat sajak setiap minggunya untuk dipamerkan di mading sekolah. Karena wali kelas Dejana mengetahui pemuda itu sangat minat jikalau disuruh merangkai kata bermakna. Arumi masih ingat, pertama kali bertemu sosok pemuda yang tengah duduk dengan tangan menopang tubuh kurusnya.
Kala itu si gadis tengah berlari menuju lapangan sekolah untuk pergantian jam menuju jam olahraga, tak sengaja bahu Arumi tersenggol dengan Dejana yang membawa tumpukan kertas bermuat sajak bak biasanya. Tentu kertas-kertas itu jatuh berserakan dan sialnya lagi terinjak injak oleh dua orang yang sedang kejar-kejaran.
"Ma-maaf, Kak. Nanti aku tulis lagi, janji," ucapnya sedikit takut karena wajah Dejana kala itu terlihat dingin.
"Ah, nggak apa-apa," balasnya dengan senyum canggung, tangannya mulai mengumpulkan kertas yang berceceran.
"Tetep aja aku nggak enak, besok aku ke kelas kakak buat ngembaliin." Kumpulan kertas kotor tadi direbut paksa oleh Arumi lalu pergi setelah pamit.
Seperti itulah singkatnya, mereka kemudian menjadi semakin dekat. Kalau ditanya perihal rasa, keduanya memang saling menaruh hati namun, juga sama-sama memilih diam, takut jadi merenggang pikir mereka.
"Hm ... baiklah," ucapnya mengambil jeda. "Kalau menurut saya, cinta itu terkadang semu. Singgah sebentar lalu terburu-buru untuk pulang dengan alasan sudah bosan. Tergantung dari mana menilainya sih sebenarnya. Namun, jika perkara rasa sakitnya saya jadikan pelajaran buat ke depan."
Si gadis menganggukkan kepala. Benar juga, definisi cinta itu tergantung dari sudut mana orang merasa.
"Kalau katanya tuan perangkum asa. Cinta itu ibaratkan kopi, Kak," usul Arumi menyaksikan ekspresi terkejut milik Dejana.
"Kakak kaget, ya. Tunggu bentar aku lanjutin. Katanya, kopi itu akan nikmat jika takarannya pas. Begitu pula cinta, kalau sedih senengnya pas mungkin manusia memandang cinta bukan tentang rasa yang pahitnya kebangetan kayak kopi. Tapi, benar juga kata Kak Dejana, tergantung manusia melihat dari sisi mana. Iya, 'kan, wahai tuan perangkum asa?" tanya Arumi diselingi tawa.
Lucu sekali melihat paras yang terlihat meredam malu.
"Kamu kok bisa tahu?" balasnya bertanya sedikit terkejut.
"Aku sering dengerin podcast kalau kakak belum tahu. Dan waktu itu lagi suka-sukanya dengerin podcast yang isinya puisi dan semacamnya. Eh, nemu tuan perangkum asa dan aku suka dengerinnya," jelas si gadis.
"Apalagi isi podcastnya yang berjudul ‘Definisi Cinta’ terinspirasi dari aku lagi. Ututu, so sweetnya," goda Arumi yang membuat wajah Dejana semakin memerah seperti tomat.
Si gadis masih saja terbahak hingga perutnya terasa sakit. Podcast yang Arumi dengar selepas sesi tanya jawab bercerita bagaimana sosok Tuan Perangkum Asa ini rebah hatinya pada gadis yang ternyata adalah dirinya. Jahat sekali Arumi dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya tertawa. Sedang si pemuda memasang tampang masam, tangannya meremas beberapa rerumputan yang tak salah apa-apa lalu mencabut dan membuangnya. Bahkan, ingin sekali rumput yang dicabut Dejana, ia masukan ke mulut Arumi supaya diam tak lagi tertawa.
Ah, dia sangat menyesal. Kenapa semalam harus menjawab pertanyaan pada podcastnya. Jadi ketahuan, 'kan sekarang isi sajak serta puisinya ditujukan untuk siapa.
"Sekarang kamu udah tahu semuanya," ucapnya sedikit kesal.
Saat itu pula tawa si gadis mulai mereda dan perlahan terhenti. Dejana sepertinya akan berbicara serius kepadanya. Perlahan atmosfer di sekitarnya terasa berbeda dari sebelumnya. Suasana terkesan canggung mulai tercipta membuat keduanya ragu untuk memulai berbicara.
"Arumi ... Sosok Tuan Perangkum Asa ingin menanyakan sesuatu kepada puan di sebelah saya. Bolehkah rasa yang terbendung berlabuh dengan nyata tanpa perantara untuk mengungkapkannya?"
Sepasang taruna saling beradu tatap. Debaran jantung keduanya seolah terasa nyata terdengar pada telinga masing-masing. Rasa gugup mulai menyelimuti terlebih Dejana yang sedang mengungkapkan isi hati.
“Kalau kamu nolak ju–“
"Jika niat tuan bukan sekedar bersambang melainkan bersemayam. Mari bersama bertukar rasa di setiap masa." Terbentuk bulan sabit pada bibir si gadis, senyuman teramat tulus yang membuat si pemuda bak terbius.
Kala itu di bawah hitam dirgantara Praja Semarang. Semesta Dejana begitu pula Semesta Arumi memilih untuk merajut kisah bersama. Tuan Perangkum Asa telah menemukan semesta yang dia jadikan definisi perihal cinta. Menjadikan degup tiap detik yang dilalui bersama menjadi debar yang tak berirama pun penghasil senyum pada parasnya yang kata orang suram kesannya.
Bagi Dejana, definisi cinta adalah puan dengan Arumi asmanya nan terlampau sempurna buatnya.-END-
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN MEMBER
Short StoryBerisi kumpulan isi CERPEN dari member Wattpad Feedback Official. Dalam kegiatan " Event Cerpen "