"Katanya, cinta bisa ditunjukkan dengan beberapa cara. Termasuk cinta Allah pada hamba-Nya. Dia ciptakan ujian agar umat-Nya selalu dekat dengan-Nya."☂️☂️☂️
Wulan mendelik, mulutnya terbuka lebar, tak mampu berkata-kata saat itu. Kira-kira, sekitar satu menit yang lalu, Hilya baru saja selesai bercerita tentang kehidupannya. Seperti orang linglung, ia masih tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
"Hil, serius?"
Hilya mengangguk dengan seulas senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Tak ada raut kesedihan. Namun, Wulan jelas tahu kalau temannya yang satu ini pasti sangat keberatan dengan beban hidup yang dipikulnya sendirian.
"Kamu enggak benci sama ayahmu?"
Hilya menggeleng. "Kenapa harus benci? Saya bisa lahir ke dunia karena ayah. Mau sejahat apa pun, beliau tetap ayah saya. Enggak ada alasan untuk bisa membencinya."
"Mbak tau? Kita sebagai manusia itu seharusnya bersyukur diberi cobaan sama Allah. Karena kalau sejak lahir yang kita rasakan hanya kebahagiaan, maka kita enggak akan belajar. Kita enggak akan bisa merasakan bagaimana nikmatnya berjuang. Kita juga enggak akan tau bagaimana sabar yang sebenarnya."
"Iya, Hil. Kamu bener. Aku bersyukur bisa kenal kamu. Doakan aku ya, Hil. Semoga bisa hijrah kayak kamu," ujar Wulan sungguh-sungguh. Ah, senang sekali rasanya ia bisa mengenal Hilya. Sebab sejak dulu ia begitu menginginkan sahabat yang mampu menuntunnya dalam menggapai rida Allah.
"Hilya, tolong antar pesanan ini ke ruangannya Bu Maya, ya? Aku kebelet, nih. Mau ke toilet," pinta Nadin. Hilya terkekeh saat Nadin bergerak gelisah sebab menahan buang air kecil.
"Boleh deh. Mbak Wulan, saya antar ini dulu, ya?" pamitnya pada Wulan.
"Hil, jangan lama-lama. Takutnya jatuh cinta sama anak si Bos." Wulan terkikik geli saat Hilya melayangkan tatapan tajam padanya.Ya, berdasarkan gosip yang beredar, putra sulung dari Bu Maya baru saja pulang dari Bandung. Dan saat ini tengah membahas rancangan pengembangan rumah makan ini bersama seorang kuli bangunan. Beberapa pegawai pun banyak yang sudah kenal akrab dengan laki-laki bernama Manaf tersebut. Pembawaannya yang kalem, saleh serta tutur katanya yang sopan menjadi poin plus tersendiri. Sangat berbanding terbalik dengan sifat si Zafran—putra bungsu Bu Maya. Dari mana Hilya tahu? Ya, tentu saja dari teman-teman kerjanya. Mereka terang-terangan berkata bahwa mereka begitu mengidolakan lelaki itu.
Hilya berjalan memasuki ruangan khusus yang biasa dipakai Bu Maya istirahat atau mengobrol dengan tamu. Sesekali menyunggingkan senyum ramah pada pelanggan yang dilewatinya.
"Assalamualaikum. Permisi, pesanan datang."
Tak lama, pintu terbuka bersamaan dengan munculnya Manaf dari dalam. Laki-laki itu terdiam, cukup terkejut saat di depannya tengah berdiri seorang gadis berwajah pualam dengan mata teduh dihiasi bulu mata lentik. Jantungnya bergemuruh hebat, seolah ikut mengagumi keanggunan gadis itu.
"Mas, i-ini ... ini pesanannya," ucap Hilya sedikit gugup saat dipandang seperti itu oleh Manaf.
"Eh, iya. Terima kasih, ya," sahut Manaf saat tersadar dari lamunannya.
Saat hendak berbalik, Hilya justru dikejutkan dengan keberadaan Zafran. Laki-laki itu memandangnya tak suka. Lantas, ikut masuk bersama Manaf sambil menyenggol bahu Hilya dengan sengaja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pantaskah Dicinta-Nya?
Romance📿Update setiap Jumat📿 Tetap bersyukur meski perjalanan hidup tak selalu selaras dengan apa yang ia mau membuatnya selalu merasa tenang serta merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Hilya, begitu orang memanggilnya. Hidup yang kelam hampir saja me...