"Allah adalah sebaik-baiknya pendengar. Maka, tak perlu bersedih saat tak ada satu orang pun yang tak peduli. Masih ada Allah yang dengan setia mendengar keluh kesahmu."
☂️☂️☂️
"Assalamualaikum."
Hilya terperanjat saat seseorang muncul secara tiba-tiba di sampingnya. Ia langsung beringsut mundur saat menyadari posisi mereka yang terlalu dekat. Hilya menunduk dalam, sedikit takut pada laki-laki di sampingnya. Manaf, laki-laki itu berdiri persis di sampingnya sambil memperhatikannya. Entah sadar ataupun tidak.
"Kemarin, saya lihat kamu di musala."
Kali ini Hilya mendongak. Keningnya berkerut seolah sadar sesuatu. Jadi, ternyata benar. Pantas saja kemarin ia merasa seperti tengah diawasi seseorang. Rupanya, Manaf adalah pelakunya.
"Jadi, om-om ganteng yang dimaksud anak-anak itu Mas Manaf?" tanya Hilya dengan tampang polosnya.
Manaf tertawa kecil. Ia sedikit geli dengan panggilan 'Mas' yang dilontarkan oleh Hilya. "Jangan panggil saya 'Mas'. Panggil Manaf aja. Saya belum tua-tua banget kok," candanya.
Hilya buru-buru menggeleng. "Eh, enggak bisa gitu, dong. Mas kan lebih tua dari saya. Enggak mungkin saya panggil dengan nama aja."
"Jangan. Kalau udah jadi istri sih boleh-boleh aja panggil 'Mas'. Sekarang jangan dulu," celetuk Manaf dengan santai.
Kontan, Lara menunduk. Menggigit bibirnya kuat-kuat serta berusaha menormalkan detak jantungnya. Ya Tuhan, bahkan perempuan itu merasa pipinya memanas saat ini.
"Oy, pelayan! Bawain makanan ke meja nomor tujuh," seru Zafran yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur.
"Zafran!" tegur Manaf.Hilya menghela napas kasar. Kalau saja Zafran bukanlah anak dari bosnya, mungkin Hilya sudah marah-marah saat ini. Ia tak habis pikir dengan sikap Zafran yang suka semena-mena. Jika dilihat-lihat, Zafran cukup ramah dengan pelayan lainnya. Tapi, mengapa tidak dengan Hilya? Mengapa Zafran suka sekali membentaknya?
"Baik, Mas. Akan saya siapkan." Usai mengatakan itu, Hilya langsung berlalu meninggalkan kedua laki-laki bersaudara itu.
Hilya mengintip sedikit bagaimana kondisi di luar. Rupanya, banyak sekali pelanggan yang berdatangan. Hilya kembali menghela napas dengan lega. Syukurlah, di musim hujan seperti ini masih banyak pelanggan yang datang.
Makanan sudah siap. Hilya langsung mengangkat nampannya menuju meja nomor tujuh seperti yang dikatakan oleh Zafran. Saat hendak menghidangkan minuman itu ke meja, Hilya merasa ada seseorang yang sengaja menjegal kakinya. Ia langsung jatuh, sedangkan gelas yang ia pegang terlempar ke arah kekasih Zafran.
"Oh, shit! Lo bego, ya?!" pekik Inka mengundang setiap pasang mata untuk menoleh ke arah mereka.
Hilya buru-buru berdiri meskipun lututnya terasa begitu nyeri. "Ma-maaf, Mbak. Saya—"
Perempuan itu hampir saja terjungkal saat seseorang menarik tangannya dengan begitu kasar. Pelakunya tentu saja Zafran. Laki-laki itu sudah berdiri di sampingnya sambil menatapnya dengan nyalang.
"Lo emang hobi nyari perkara, ya? Lo mau nyari sensasi biar semua orang iba sama lo? Enggak gini caranya!" bentak Zafran. Ia hampir saja mendorong Hilya. Namun, Manaf dengan segera mencekal tangannya.
"Apaan sih, Bang?! Dia enggak pantas dibela," tukas Zafran. Ia kesal karena tiap kali ia berhadapan dengan Hilya, Manaf selalu datang mengganggunya.
"Hanya laki-laki pengecut yang berani kasar sama perempuan," sindir Manaf tepat sasaran. Rahang Zafran mengeras menahan emosi. Ia melirik Hilya yang hanya menunduk tanpa berani menatapnya. Kali ini, Hilya selamat. Lihat saja besok, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantaskah Dicinta-Nya?
Romance📿Update setiap Jumat📿 Tetap bersyukur meski perjalanan hidup tak selalu selaras dengan apa yang ia mau membuatnya selalu merasa tenang serta merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Hilya, begitu orang memanggilnya. Hidup yang kelam hampir saja me...