"Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bisa melihat senyum tulus ibu yang doanya selalu menyertai ke mana pun engkau melangkah."
☂️☂️☂️
Suasana hati Zafran sedang tidak baik setelah percakapan singkat dengan kekasihnya siang tadi. Belakangan ini, Inka susah sekali diajak jalan berdua.
Selepas pulang dari kampus, Zafran mengajak kedua temannya ke rumah makan milik ibunya. Tadinya, ia berniat mengajak Inka juga. Namun, perempuan itu menolak dengan alasan sibuk dengan acara kampus yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Zafran tidak ambil pusing. Laki-laki maklum, sebab yang ia tahu Inka adalah salah satu mahasiswa yang aktif di kampus. Tidak seperti dirinya yang lebih memilih hidup bebas tanpa kendali orang lain.
"Bro, cewek yang lagi layanin pembeli itu siapa namanya?" Gavin bertanya sambil menunjuk ke arah belakang Zafran.
Zafran langsung memutar tubuhnya ke belakang. Sepersekian detik, ia kembali menatap Gavin dengan memasang wajah datar. "Enggak tau. Enggak kenal," jawabnya singkat.
Bian menautkan alis sebelahnya. "Masa sama pegawai nyokap lu enggak kenal, sih? Hmm ... paling demen nih sama yang ukhty-ukhty. Bisalah kenalin sama gue," ujarnya dengan mata yang masih fokus menatap ke belakang Zafran.
"Enak aja. Gue duluan yang tanya, berarti dia milik gue," tegas Gavin.
"Lah, kan—"
"Apaan sih, kalian! Selera kalian udah turun, ya? Cewek kampung kayak gitu direbutin," serobot Zafran memotong pembicaraan kedua temannya.
"Kan lumayan, Zaf. Bisa dijadiin mainan," sahut Gavin dengan seenaknya yang langsung mendapat pukulan keras dari Bian.
"Mulut lu belum pernah diamplas, ya? Kasar banget," tegur Bian sambil melotot.
"Ish, gue rasa kita enggak se-frekuensi, deh. Lu terlalu alim di antara kita bertiga," seloroh Gavin. Memang benar, di antara dirinya, Bian, dan Zafran, yang paling alim adalah Bian. Dia hanya pernah pacaran sekali, namun berakhir menjadi sadboy semenjak kekasihnya ditikung oleh seorang ustaz. Sejak itulah, Bian memutuskan untuk memperbaiki dirinya. Berharap di kemudian hari bisa mendapat pendamping yang lebih baik dari mantannya.
"Btw, gue perhatiin elu jarang nge-date lagi sama Inka. Kalian putus?"
Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Gavin berhasil memancing emosi Zafran. Dia mendengus sebal sambil memotong-motong steak di piringnya sampai menimbulkan suara berisik dari benturan piring dengan pisau daging di tangannya.
"Gue ajak kalian ke sini buat hibur gue. Tuh kan jadi males. Galau lagi nih, gue," rutuk Zafran membuat Bian bergidik jijik. Alay sekali temannya yang satu ini, pikirnya.
"Beneran kalian putus?" tanya Bian penasaran.
Zafran makin kesal. Ucapan adalah doa. Mereka bertanya seperti itu sama saja dengan mendoakannya putus dengan Inka, kan?
"Jangan ngaco kalian. Hubungan gue sama Inka baik-baik aja kok. Gue kan enggak sealay Gavin yang dikit-dikit posting kemesraan di medsos," sahut Zafran sekaligus menyindir Gavin terang-terangan.
"Gue begitu biar enggak dikira jomlo. Kayak yang di sebelah gue ini." Gavin berujar seraya menunjuk ke arah Bian yang sejak tadi adem ayem.
Bian melengos. "Lah, kok jadi gue yang kena, sih?" protesnya.
Suasana rumah makan kali ini cukup ramai membuat para pegawai cukup kewalahan. Termasuk Hilya yang saat ini terduduk lemas sambil menyeka peluh pada keningnya. Hilya melihat ada buku menu di atas meja, langsung saja dia manfaatkan sebagai kipas untuk meminimalisir rasa gerah yang cukup membuatnya tak nyaman. Padahal ruangan ini terdapat banyak jendela juga kipas angin yang senantiasa menyala. Untuk ruangan yang lebih mirip tema outdoor ini seharusnya tidak panas. Atau mungkin karena mau hujan?
![](https://img.wattpad.com/cover/231818639-288-k851386.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantaskah Dicinta-Nya?
Romance📿Update setiap Jumat📿 Tetap bersyukur meski perjalanan hidup tak selalu selaras dengan apa yang ia mau membuatnya selalu merasa tenang serta merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Hilya, begitu orang memanggilnya. Hidup yang kelam hampir saja me...