BAB 1

1.9K 342 165
                                        


"Dunia bagai roda yang terus berputar. Sedangkan Allah adalah pengendali. Sampai saat Dia memutuskan untuk menghentikan putaran itu, hanya ada dua kemungkinan. Surga atau neraka. Maka, berbuat baiklah selagi Allah masih beri kesempatan."



☂️☂️☂️

Keheningan cukup panjang meliputi dua perempuan beda usia yang kini tengah duduk berseberangan dalam sebuah rumah kecil nan sederhana. Ini sungguh berbeda dari empat tahun yang lalu saat perempuan itu dititipkan di pesantren. Tak ada lagi rumah besar, barang-barang mewah, serta sofa dan kasur empuk. Semua telah habis dijual.

Hilya masih terpekur di tempatnya. Tidak menyangka keadaan akan berubah sedrastis ini. Dipandanginya wajah sang ibu yang kian menua dengan sedikit keriput di ujung mata. Katanya, beberapa hari yang lalu, ia terpeleset di kamar mandi sehingga mengharuskan dirinya untuk melakukan segala sesuatu dengan duduk di kursi roda.

"Kenapa enggak bilang sama Hilya kalau Ibu sakit?"

Arum tersenyum kecil saat mendapati tatapan penuh khawatir dari putri satu-satunya itu. Ia begitu terharu dengan perubahan Hilya setelah pulang dari pesantren. "Ibu enggak apa-apa kok. Ibu cuma takut belajar kamu jadi terganggu di sana," ujarnya.

"Terus, di mana Ayah sekarang?"

Kali ini, Arum terdiam. Jika ia mengatakan yang sejujurnya pasti Hilya akan semakin kecewa. "Ayahmu lagi kerja," bohongnya.

Hilya menghela napas kasar. Ia tahu ibunya berbohong. Ayahnya yang tempramen itu pasti sedang mabuk-mabukan, seperti biasanya. Jangan heran perempuan itu tahu dari mana. Memiliki teman pondok yang berasal dari kampung yang sama tentu saja memudahkannya dalam mendapatkan informasi tentang keluarga.

"Udah, jangan dipikirin. Istirahat sana, kamu kan habis dari perjalanan jauh. Pasti capek," seloroh Arum. Ia hanya takut jika Hilya semakin banyak bertanya dan ia tidak mampu menjawabnya.

"Ya udah. Hilya ke kamar dulu ya, Bu."

Hilya masuk ke sebuah kamar yang begitu sempit. Diamatinya setiap sudut ruangan yang amat jauh berbeda dari kamarnya yang dulu. Tidak masalah, pikirnya. Yang penting masih layak untuk dijadikan tempat tinggal.

Menanamkan sikap qanaah memang cukup sulit. Apalagi, untuk kalangan muda saat ini. Dan Hilya bersyukur hatinya masih bisa menahan rasa ingin yang lebih. Jika dulu ia selalu merengek minta dibelikan barang-barang mewah, kini ia justru diajarkan untuk bersikap hemat. Ia tidak mau lagi menyusahkan kedua orang tuanya. Perempuan menjadi tulang punggung? It's not bad. Ia akan mencobanya.

Dari jendela kamar, Hilya tersenyum sambil memperhatikan anak-anak kecil yang begitu bebas bermain bola tanpa harus takut ayah mereka akan marah. Jujur saja, Hilya juga ingin merasakan itu. Ia ingat, saat pertama kali ia keluar rumah untuk bermain masak-masakan dengan beberapa temannya, ayahnya datang sambil marah-marah. Ia menarik paksa Hilya sambil memukulinya dengan rotan. Sampai di rumah, Umar langsung mengurungnya di dalam kamar. Mungkin, bagi sebagian orang hal itu tidak pantas untuk diingat. Terlalu buruk.

Hilya sedih. Sejak kecil hingga saat ini, tak pernah sekalipun Umar mengelus atau bahkan mengecup keningnya. Ia ingin sekali merasakan itu. Jika diberi kesempatan satu menit saja, Hilya akan dengan senang hati menerimanya.

Prang!

Hilya terkesiap saat mendengar kericuhan di depan. Cepat-cepat ia melangkah ke asal suara. Di sana, ia kembali menyaksikan Umar yang tengah membentak-bentak ibunya. Ia tidak bisa diam saja. Hilya bukan lagi anak kecil yang hanya diam saat ibunya diperlakukan dengan kasar.

Botol bekas minuman keras hampir saja melayang ke arah Arum kalau saja Hilya tidak cepat-cepat menghalanginya. Perempuan itu meringis merasakan bagian punggungnya yang berdenyut nyeri akibat hantaman botol itu. Ia memandang ibunya sambil tersenyum tipis. Syukurlah, Arum tidak apa-apa, pikirnya.

Pantaskah Dicinta-Nya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang