s a t u

2.5K 294 14
                                    

Happy Reading and Enjoy.

"Mau sampai kapan?" pertanyaan itu membuat Natalia atau wanita yang sering dipanggil Nata itu menoleh. Tatapan mata kosong, rambut acak-acakan dan pakaian rumah sakit lusuh membuatnya Nata seperti orang gila.

"Harusnya kamu nggak selamatkan aku." Jarvis mendudukkan pantatnya diatas beton yang sama dengan yang diduduki Nata.

"Kamu benar, harusnya aku nggak selamatkan kamu. Harusnya kamu mati seperti jiwamu yang telah lama mati." Jarvis memandang lurus kedepan, taman dibelakang rumah sakit ini sedikit sepi karena langit mendung. "Tapi aku nggak bisa membiarkan kamu mati dalam kesedihan." Imbuh Jarvis.

Akhirnya, kedua mata mereka bertemu. Jarvis tersenyum kecil pada sahabatnya. Dan meninggalkan Nata yang kembali tenggelam dalam pikirannya.

"Dia tidak baik-baik saja," wanita yang berdiri tidak jauh dari posisi Nata duduk berbisik saat Jarvis mendekat. Jarvis mengecup kening wanita itu dan merangkulnya, meninggalkan Nata kembali dalam kesendirian, kesedihan, dan kesepian.

"Dia pasti akan baik-baik saja." Jarvis ingin selalu optimis untuk kesembuhan Nata walaupun butuh waktu yang lama.

Danniela, tunangan Jarvis mengusap punggun tegap laki-laki itu. Ia tau seberapa Jarvis mengkhawatirkan Nata karena wanita sudah seperti adiknya sendiri. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana Nata hampir merengang nyawa dengan tali simpul yang mengikat lehernya dan menggantung diplafon rumah kontrakannya.

Kecelakaan Matthew memang tidak terduga, dan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengembalikan sang belahan jiwa pada Nata yang merasa kehilangan.

Jarvis tidak menyalahkan Nata yang mencoba mengakhiri hidupnya. Nata sudah bersama Matthew selama 10 tahun dan tahun ini, seharusnya mereka akan menikah, tapi memang tidak ada yang mampu membaca suratan takdir, Matthew meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat yang akan membawanya ke Jakarta dan menewaskan ratusan penumpang lainnya.

Jarvis dan Danniela memilih duduk pada lorong yang mengarah pada pintu menuju taman rumah sakit, menatap Nata dari kejauhan dalam kondisi hening.

Ia ingat ketika pertama kali bertemu dengan Nata.

Gadis polos dengan mata hitam bundar, masih berusia 3 tahun dan hanya diam menatap Jarvis yang berusia 4 tahun diatasnya. Orang tua Nata adalah teman ayahnya, salah satu klien ayahnya ketika pria setengah baya itu masih menggeluti dunia foto. Jarvis sama sekali tidak mengerti dunia ayah dan ibunya dan memilih untuk bekerja kantoran seperti orang pada umumnya.

Nata adalah cinta pertamanya, tapi wanita itu memilih untuk mengencani seorang laki-laki asal Inggris sejak sepuluh tahun yang lalu. walaupun begitu, hubungannya dengan Nata masih baik-baik saja sampai sekarang, bahkan sampai Jarvis bertemu dengan Danniela dan memilih bertunangan dengan gadis itu.

"Mama dan Papa sudah di Bandara," ucapan Danniela membuat Jarvis tersentak pelan, dia menoleh kearah wanita itu dan mengangguk.

Kemarin, setelah membawa Nata ke rumah sakit, Jarvis menghubungi Nesya dan Rivan mengingat mereka sudah menganggap Nata sebagai anaknya sendiri, bahkan jika Nata dan Matthew ke Bali untuk liburan, Nesya dan Rivan memaksa agar mereka menginap.

Wajar saja, hanya Jarvis satu-satunya anak mereka, dan kini, Jarvis memilih untuk tinggal di Jakarta karena tuntutan pekerjaan. Tentu saja hal itu membuat Nesya juga Rivan kesepian.

Saat hendak beranjak, Danniela menahan Jarvis, "Katanya nggak usah jemput, udah di taksi, kita disuruh nunggu disini," imbuh Danniela.

Saat hendak duduk kembali, Jarvis mendapati Nata yang sudah berdiri satu meter dari posisi mereka duduk.

"Nat..." Danniela beranjak dan hendak membantu Nata untuk berjalan kembali ke kamarnya, tapi gelengan Nata membuat Danniela menghentikan langkahnya.

"Aku mau sendiri, kalian pulang aja, kalian pasti capek ngurusin aku dari kemarin." Tanpa menunggu jawaban dari Jarvis maupun Danniela, Nata meninggalkan sepasang kekasih itu untuk menuju lift.

***

"Will you merry me, Natalia?" rasanya seperti tercekik, Nata melempar phonselnya yang masih memutar video dimana Matthew melamarnya 2 tahun yang lalu. Nata menangis, meraung, mencengkram erat sprei agar rasa sakitnya sedikit tergantikan. Namun tidak. Semua hal yang telah dia lakukan sama sekali tidak mampu mengobati rasa kehilangannya.

Tidak cukupkah kedua orang tuanya yang meninggal akibat kecelakaan pesawat, kini... tunangannya pun bernasib sama. Apa ia selalu membawa sial bagi orang-orang disekitarnya?

Nata tidak tau apakah Tuhan sedang mengujinya, atau memang sedang membuatnya menyerah karena tidak lagi diinginkan didunia ini. Semua pemikiran aneh berseliweran dikepalanya hingga rasanya seperti ingin meledak. Nata sepertinya mulai gila, atau memang sudah gila.

Ketukan pintu tak membuat tangis Nata berhenti, dia tidak peduli kalau orang diluar sana mulai panik karena ia memilih mengunci pintu kamar dan tidak mau diganggu oleh siapapun. Ia ingin sendiri, menikmati rasa sakitnya dalam kesendirian.

"Nata..." suara lembut dan penuh kasih itu membuat Nata tersadar. Diambang keraguan, Nata menurunkan kakinya, telapaknya menyentuh lantai yang dingin dan berjalan menuju pintu. Antara Iya dan Tidak, Nata berdiri didepan pintu, menyentuh kunci dan memutarnya. Wajah khawatir Tante Nesya yang pertama kali terlihat didepan pintu, lalu Om Rivan yang berdiri disamping Tante Nesya sama khawatirnya.

"Tante boleh masuk?" tanya Tante Nesya dengan suara yang halus.

Nata mengangguk dan membuka lebar pintu kamar rawatnya, membiarkan siapapun masuk kedalam kamar rawatnya. Di belakangnya, Nata mendengar Tante Nesya berbisik, entah pada siapa dan mengatakan apa.

Nata naik kembali keatas ranjangnya, bertepatan dengan suara pintu yang tertutup. Ia hanya melihat Tante Nesya yang masuk dan membawa tas jinjing yang entah apa isinya. Ia tidak peduli, ia tidak berminat pada apapun lagi.

"Nata mau makan? Tante beliin lasagna kesukaan kamu waktu perjalanan kesini," tawar Tante Nesya basa-basi.

Nata tersenyum kecil dan menggeleng. 

------

Repost : 22 Maret 2023

I'M BR[OK]ENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang