e m p a t

1.1K 228 10
                                    

Happy Reading and Enjoy.

Jarvis menyita semua alat komunikasi milik Nata, mulai dari phonsel sampai laptop. Ia tak membiarkan Nata melihat berita atau apapun terlebih dahulu. Biarkan Nata sendirian, menata hatinya yang kacau balau.

"Makan dulu yuk, nanti, habis makan, kamu bisa kesebelah buat istirahat." Sampai diapartemen, Nesya memaksa Jarvis untuk mengajak Nata ke apartemennya terlebih dahulu, karena wanita setengah baya itu sudah memasak.

"Mama yakin makanannya nggak beracun?" tanya Jarvis setengah bercanda untuk sedikit mencairkan suasana.

"Papamu aja nggak kenapa-napa selama ini," sungut Nesya pelan.

Nata memandangi keluarga bahagia ini. Semuanya lengkap, saling mengisi satu sama lain, dan tentu saja saling menyayangi.

Ia pernah merasakannya, dulu.

Ibunya yang menyayanginya, ayahnya yang selalu meluangkan waktu untuknya walaupun beliau sangat sibuk, dan kekasih yang selalu ada untuknya. Bahkan ketika kedua orang tuanya meninggal.

Matt adalah segalanya, dan dia sudah tiada.

"Nat..." panggilan ibu Jarvis itu membuatnya tersentak. Tatapan khawatir kembali terlihat di wajah ayu Nesya. Nata segera mengusap pelan pipinya yang terasa basah. Tanpa sadar, ia kembali menangisi Matthew.

Nata hanya tersenyum kecil dan mulai menyuapkan nasi dengan semur dagingnya perlahan, mengabaikan orang-orang yang mungkin masih menatapnya khawatir.

Semua akan baik-baik saja, Nat. Setidaknya, sampai hari ini berakhir.

***

Nata berhasil menghabiskan satu harinya tanpa mencoba bunuh diri. Ia menatap langit malam dari jendela apartemen dalam diam. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain melamun, mengingat kembali masa-masa indahnya dengan Matt.

Nata mencoba berbesar hati, menerima semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Sekalipun melelahkan, tapi Nata berhasil melewati satu harinya. Lagi.

Bertahanlah, Nat. setidaknya sampai hari esok berakhir, Ujar Dewi hatinya memberi semangat.

"Apa yang kau lakukan seharian ini?" Nata menoleh mendapati Jarvis yang sudah mengunakan pakaian santai. Seharian laki-laki itu tidak muncul diapartemennya, mungkin Jarvis sudah kembali bekerja setelah mengambil cuti untuk mengurusinya.

"Tidak ada."

Seharian ini Nata hanya duduk ditempat yang sama, memandangi jalanan dari ketinggian, dan... melamun.

"Kau tidak bosan?" Danniela muncul membawakan buah yang telah dipotong, dia menawarkan pada Jarvis dan laki-laki itu mengambilnya, lalu mengunyahnya perlahan.

Bosan? Lebih tepatnya, Nata sudah bosan hidup. Dia lelah. Tapi tidak ingin lebih merepotkan Jarvis dan keluarganya.

"Mungkin sementara aku akan ikut Tante Nesya dan Om Rivan." Nata sudah memikirkan ini. Ia tidak bisa seperti ini terus menerus. Jika ia terus berada di Jakarta, Jarvis akan terus menerus seperti ini padanya. Nata tidak bisa. Jarvis memiliki kehidupannya sendiri. Dia memiliki Danniela yang harus dijaga perasaannya. Jika ia berada di Bali, setidaknya Nata bisa bernegosiasi dengan kedua orang tua Rivan untuk membiarkannya tinggal sendiri.

"Kau yakin?" tanya Jarvis tampak tak percaya dan khawatir.

"Aku sudah berbicara dengan Tante Nesya siang tadi, beliau setuju."

"Baguslah kalau begitu, kau bisa kembali kapanpun kau mau, tentu saja setelah kau benar-benar siap. Kami akan selalu ada untukmu." Danniela langsung memotong saat Jarvis tampak akan segera menyela dan tidak setuju.

"Terimakasih sudah mengerti, La."

***

"Ma..." Saat kembali ke apartemen setelah memastikan Nata istirahat, Jarvis segera menyela obrolan ibu dan ayahnya yang tampak sedang berbincang serius.

"Kenapa sayang?" tanya Nesya lembut.

"Mama sama papa setuju Nata ikut ke Bali sementara?" tanya Jarvis seraya menghempaskan tubuhnya disamping ibunya, bergelayut pada lengan rapuh sang ibu.

"Itu yang Nata mau, nggak ada salahnya juga kan dia mencari suasana baru," jawab Rivan seraya menyesap teh buatan istrinya. Rivan bukannya tidak tau kalau putra semata wayangnya masih memiliki rasa terhadap Nata. Apalagi Nata sempat membicarakan hal ini juga siang tadi. Mungkin ini adalah hal yang tepat, membawa Nata pergi jauh dari Jarvis adalah keputusan yang tepat. Setidaknya sampai Jarvis dan Danniela benar-benar menikah.

"Benar apa kata Papa, disini dia nggak ada yang ngurus, nggak ada teman..." Nesya menggeleng menghentikan Jarvis yang hendak membantah, "Kamu sibuk, Lala juga sama. Kalau di Bali, Nata bisa nemenin mama, berkebun atau Cuma sekedar nonton," imbuh Nesya logis.

"Udah sana... anterin Lala pulang, dia pasti capek seharian habis kerja malah kesini." Neysa mendorong bahu Jarvis pelan agar anak laki-lakinya itu berhenti bereleyut padanya.

"Udah mau nikah, tapi masih suka manja-manja, heran."

***

Danniela mendesah kesal saat Jarvis terus menerus membahas Nata yang akan ikut ke Bali bersama kedua orang tuanya. Sudah hampir 15 menit perjalanan, Jarvis masih belum selesai menggerutu, sekalipun Danniela hanya membalas "Iya, hem, nggak tau..." dengan nada malas. Harusnya Jarvis mengerti kalau Danniela tidak mau membahas Nata lebih banyak lagi.

"Kenapa? bukannya bagus, Nata jadi bisa sedikit menghibur diri, setidaknya itu kemauannya. Harusnya kamu dukung karena dia udah jauh lebih baik sekarang," decak Danniela yang mulai tidak tahan.

"Bukan gitu..."

"Kamu tuh! Nata udah mau kasih respon, dia udah mau coba naik pesawat lagi, dia udah mau coba berdamai, tapi kenapa kamu malah nggak suka?" potongnya cepat. Dia sudah lelah pada Jarvis yang terus membahas wanita yang bukan siapa-siapa.

Danniela menghela nafas berkali-kali dan bersiap melepas sabuk pengamannya karena mobil telah berhenti didepan pagar rumahnya.

"La, kok kamu marah?" tanya Jarvis pelan.

"Ya habis kamu! Mau sampai kapan sih kamu peduli sama Nata?"

"Kamu kan tau kalau Nata udah aku..."

"Kamu anggap adik? Nyatanya kalian sama sekali nggak ada hubungan darah!" Danniela menghempas celakan Jarvis. Memandang laki-laki itu dengan pandangan terluka.

"Sekali-kali coba kamu pikirin perasaan aku."


I'M BR[OK]ENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang