Happy Reading and Enjoy.
Danniela seharusnya tidak perlu cemburu. Cincin putih yang melingkari jemarinya dan Jarvis seharusnya cukup menegaskan kalau mereka saling memiliki satu sama lain. Tapi, tak dipungkiri kalau ia tetap merasakan emosi bernama cemburu itu. Melihat bagaimana Jarvis begitu peduli pada Nata membuatnya harus menahan diri, berdiri dibelakang Jarvis yang sibuk membantu Nata beranjak dari kubangan derita.
Apakah Jarvis masih memiliki perasaan pada wanita itu?
Danniela menghela nafas pelan dan bergerak membantu Jarvis mengemas pakaian Nata yang tidak seberapa. Nata tampak berantakan, rambutnya diikat seadaanya, bahkan Nata hanya mengenakan kaos kebesaran dan celana jeging hitam sederhana. Tapi entah kenapa wanita ini tampak berbeda dengan caranya sendiri.
Nata memiliki aura yang tidak dimiliki oleh kebanyakan wanita. Nata cantik apa adaanya. Wajar saja banyak lelaki yang berusaha mendekati wanita ini, bahkan ketika sudah sangat jelas kalau hatinya dimiliki sepenuhnya oleh Matthew.
"Mama Papamu dimana?" tanya Nata saat mereka bergerak meninggalkan ruang rawat.
"Di Apartemen, sementara kamu bisa tinggal di unit sebelah unit milikku, Mama sedang membantu mempersiapkan apartemen itu agar nanti bisa langsung kamu tempati." Danniela meraba dadanya yang tertutup kemeja bunga-bunga putih. Hatinya terasa sakit. Jarvis begitu memperhatikan Natalia. Dan tidak dapat dipungkiri kalau itu sangat menganggu.
"Aku bisa tinggal dikontrakan..."
"Untuk sementara, Mama sama Papa akan menemani kamu," bantah Jarvis cepat.
Danniela menghentikan langkahnya, sementara matanya masih menatap punggung Jarvis dan Nata yang semakin menjauh. Bahkan, mereka tidak menyadari kalau Danniela semakin tertinggal.
Dengan langkah yang sangat pelan Danniela menyusul.
Bertahanlah... bisik Danniela pada hatinya yang sepertinya sudah mulai berontak karena tidak lagi kuat.
***
Jarvis menunggu Danniela yang entah kemana, Nata sudah duduk dikursi tengah dan tampak sedang melamun. Ia baru menyadari kalau tunangannya itu tidak ada setelah membantu Nata masuk kedalam mobil.
Ahh... itu dia.
"Habis dari mana?" Tanya Jarvis sambil mengambil tas tenteng yang berisikan pakaian Nata dan memasukkannya kedalam mobil.
"Mampir ke toilet sebentar." Jarvis mengangguk dan terseyum, membukakan pintu dengan untuk Danniela, membiarkan wanita itu masuk dan duduk dengan nyaman, barulah Jarvis menutup pintu mobil.
Keheningan menyelimuti, Jarvis melirik Nata yang memejamkan mata di jok belakang, sementara Danniela sedang berbalas pesan dengan seseorang. Ia menyalakan music, setidaknya suasana tidak terlalu canggung dan hening.
"Bisa antarkan aku ke kantor dulu? Ada beberapa pekerjaan yang harus ku selesaikan," tanya Danniela pada Jarvis.
Laki-laki itu mengangguk dan langsung mengubah rute perjalanan, "Ingin dijemput?" tanya Jarvis pada Danniela.
"Tidak usak, Mama dan Papa pasti ingin menghabiskan waktu denganmu dan Nata, aku bisa pulang sendiri nanti," ujar Danniela.
Jarvis kembali mengangguk dan menepikan mobilnya karena mereka sudah sampai di kantor Danniela yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit.
Danniela melepas sabuk pengamannya, membungkuk kearah Jarvis dan melayangkan kecupan singkap dipipi Jarvis yang ditumbuhi bulu tipis. Ia mengerit saat merasakan betapa kasarnya bulu Jarvis yang baru tumbuh.
"Sampai rumah cukuran ya," pinta Danniela yang tidak terlalu suka pada pria dengan banyak bulu. Ia akan selalu memperingati Jarvis kalau laki-laki itu lupa mencukur bersih jambangnya.
"Oke, hati-hati."
Danniela mengangguk dan turun.
***
"Kalian sangat cocok satu sama lain," Jarvis menatap Nata yang memejamkan mata dan bersandar lewat kaca tengah. Ia pikir Nata tidur, tapi ternyata tidak.
"Kami sudah bertunangan kalau kau lupa," ujar Jarvis sembari menggerakkan stir mobilnya, kembali ke tengah jalanan yang cukup padat.
"Jangan terlalu mempedulikanku, aku tidak ingin melukai wanita sebaik Danniela," ucapan Nata membuat Jarvis tidak mengerti.
"Apa maksudmu?"
"..."
Pernyataan Jarvis sama sekali tidak ditanggapi oleh Nata, wanita itu membuka matanya dan sesaat mata mereka bertemu lewat kaca tengah. Nata lebih dulu melengos dan menatap keluar jendela. Dia tidak buta. Nata jelas tau kalau Danniela cemburu padanya. Pada kedekatannya dengan Jarvis. Hanya saja, Jarvis terlalu tidak peka untuk mengerti perasaan wanita itu.
"Kau pikir Danniela adalah wanita yang tepat?" tiba-tiba Nata bertanya.
"Mungkin, entahlah, siapa yang tau kan?"
Siapa yang tau kan? Pertanyaan itu kembali berputar dikepala Nata. Dia kembali memejamkan matanya. Otaknya tanpa diperintah memutar sesuatu yang tidak pernah ingin Nata ingat lagi.
Matt... kau bahagia disana?
Kenapa kau tega meninggalkanku sendiri?
Seharusnya waktu itu aku ikut denganmu, agar kita bisa bersama selamanya.
Seharusnya...
Nata tak mampu lagi membentung tangisnya. Ini adalah pertama kalinya Nata menangis, meraung didepan orang lain. Bahkan saat mendapatkan kabar kalau pesawat yang membawa Matthew mengalami kecelakaanpun Nata tidak seperti ini.
Jarvis dengan segera menepikan mobilnya ketika mendapati Nata histeris dijok belakang. Bahkan wanita itu mulai menarik kasar rambutnya. Tampak tak terkontrol.
"Nat... Nat... sadar, hey!" Jarvis menepuk pipi Nata, tapi wanita itu tidak kunjung menghentikan tangisnya, raungan Nata semakin keras.
Tanpa pikir panjang, Jarvis memeluk Nata, memegang kedua tangan wanita itu agar dia berhenti menyakiti dirinya sendiri.
"Menangislah, Nat, untuk terakhir kalinya. Setelah ini kamu harus baik-baik saja." Jarvis masih memeluk Nata dengan erat, menahan tangan Nata dan membiarkan wanita ini menangis dengan begitu keras.
Jarvis tidak bisa membayangkan seberapa terlukanya Nata sampai menangis sekencang ini. Nata seolah tidak mampu lagi menahannya sendiri. Jiwanya berontak dan tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain menangis.
"Kenapa harus Matt? Kenapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BR[OK]EN
Random"Apa aku sesakit itu sehingga harus bertemu dengan psikiater?" Ini adalah tentang wanita yang merasakah kesendirian, kesepian dan kehilangan. Natalia, wanita itu memilih untuk mengakhiri hidup yang seolah tak berpihak lagi padanya. Tapi, sepertiny...