Happy Reading and Enjoy.
Nesya menghela nafas pelan. Gadis ini, adalah gadis yang sudah ia anggap sebagai anak perempuan sendiri. Nesya sangat sedih melihat Natalia seperti ini. Ia sudah mengenal Nata disepanjang hidup gadis ini, dan melihat Nata seperti ini, membuatnya luar biasa bersalah pada kedua orang tua Nata yang tidak lain adalah sahabat suaminya.
"Nata, mau ke Bali? Kamu bisa tinggal sementara sama Om dan Tante, sampai kamu benar-benar siap kembali," tawaran Nesya berhasil membuat Nata menoleh, Nesya mampu melihat sedikit harapan, tapi sedetik kemudian harapan itu seolah kembali menghilang.
"Bali selalu jadi tempat pelarian, tapi nggak tau untuk saat ini, Bali adalah tempat yang tepat atau bukan." Nata menoleh keluar jendela, pepohonan masih Nampak dari kamar rawatnya. Dedaunan masih bergerak tertiup angin, dan petir menyambar beberapa saat kemudian.
Nata mengerit, dan terkejut mendapati dirinya sendiri tidak takut sama sekali.
"Nata, nggak papa?" tanya Tante Nesya. Nata menoleh dan mengangguk pelan, dia menarik selimutnya, merebahkan dirinya diatas ranjang. Matanya masih menatap keluar jendela, mengabadikan rintik hujan yang mulai membasahi kaca dengan indra penglihatannya.
Nesya membiarkan Nata seolah tenggelam dalam ingatannya,
Melihat Nata, ingatan Nesya kembali terlempar pada masa lalu. dia pernah mengalami kehilangan, ia pernah mengalami luka patah hati yang begitu parah, ia pernah mengalami rasa penyesalan yang luar biasa. Sekalipun tak pernah berniat bunuh diri, Nesya tau luka yang dialami Nata jauh lebih besar dari yang dirasakannya.
Saat melihat mata Nata terpejam, Nesya mengusap punggung tangan gadis itu sebelum meninggalkan Nata untuk istirahat.
***
"Dia nggak mau bicara banyak." Rivan membantu Nesya untuk duduk dikursi besi panjang didepan ruang rawat Nata. Rivan hanya mengangguk mengerti, tangannya bergerak mengusap punggung istrinya yang tampak rapuh.
Jarvis menatap wajah sedih Ibunya, dia tidak tau lagi harus berbuat apa untuk Nata. Jarvis pikir Nata akan baik-baik saja setelah melewati kesedihan ini, tapi ternyata tidak, fisiknya memang terlihat baik-baik saja, tidak dengan hatinya.
Sebulan sudah berlalu sejak Matthew dikabarkan meninggal dan 3 hari setelah itu, pihak maskapai mengabarkan kalau jasadnya sudah ditemukan dan akan segera dipulangkan.
Nesya sempat kembali pada rutinitasnya, sampai kemarin siang, Nata menghubuni Jarvis, meminta maaf dan menitipkan salam untuk semua orang. hal yang tidak pernah Nata lakukan membuat Jarvis curiga dan memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan menengok Nata. Jika sama Jarvis terlambat 5 menit saja, mungkin Nata akan ditemukan tewas bunuh diri.
"Mama sama Papa ke apartemen aja, Jarvis yang akan menemani Nata disini."
Jarvis meninggalkan kedua orang tuanya setelah mereka setuju untuk memilih istirahat terlebih dahulu di apartemennya selama di Jakarta.
Jarvis kembali masuk kedalam ruang rawat Nata, berdiri bersandar pada pintu yang baru saja tertutup dan memandangi Nata yang sudah terlelap, terbuai mimpinya. Melihat Nata jauh lebih tenang seperti ini membuat Jarvis ngeri. Nata bukan wanita yang meledak-ledak, dia lebih cenderung menyimpannya sendiri, dan pada akhirnya Nata akan berbuat nekat seperti kemarin.
Tidak dipungkiri, ia masih begitu menyayangi Nata. Mencintai wanita itu disepanjang hidupnya tak membuat rasa itu menghilang begitu saja, bahkan setelah semua hal yang terjadi. Sekalipun Nata telah memiliki Matthew didalam hatinya, dan ia yang sudah memiliki Danniela sebagai sang pamilik hati, tapi siapa yang tau kan?
Jarvis bergerak mendekati ranjang rawat Nata, memperbaiki selimut wanita itu dan jemarinya terulur pada leher Nata yang memerah, bahkan sekarang hampir keunguan karena jerat tali sialan yang Jarvis tidak tau wanita itu dapat dari mana.
"Kamu adalah wanita terkuat yang aku pernah kenal, kamu pasti bisa melewati ini semua, Nata."
***
Danniela menekan knop pintu dengan pelan. Tidak mau menganggu orang didalam sana mengingat ini sudah pukul 10 malam. Saat mengintip dari sela pintu, Danniela mendapati Jarvis yang sudah terlelap diatas sofa panjang, sementara Nata sedang memandang jendela yang tirainya tidak tertutup.
Danniela tersenyum kearah Nata yang menyadari keberadaannya.
"Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Danniela dengan suara pelan seraya menarik kursi agar ia bisa duduk disamping ranjang rawat Nata. Rona kemerahan mulai muncul dikedua pipi Nata yang tampak lebih tirus dari sebulan lalu.
"Baik, dokter mengatakan kalau besok aku sudah boleh pulang," jawaban Nata membuat senyum Danniela kembali muncul. Ini jauh lebih baik dari pada Nata yang hanya diam ketika ditanyai sesuatu.
"Lala," panggil Nata tiba-tiba.
"Ya?"
"Apa aku sesakit itu sehingga harus bertemu dengan psikiater?" pertanyaan Nata jelas membuat Danniela bungkam. Sore tadi, Jarvis memberitahunya secara singkat kalau dokter merekomendasikan Nata untuk berkonsultasi dengan psikiater.
"Untuk jaman sekarang, bertemu psikiater bukan berarti kamu sakit, Nata," terang Danniela logis. Memang kenyataannya begitu kan? Sekarang sudah banyak orang yang ke psikiater untuk sekedar berkonsultasi, bukan karena memulu orang itu sakit.
"Tapi pada kenyataannya aku sakit kan?" Nata terkekeh pelan dan terdengar kering. Danniela tidak tau harus mengatakan apa lagi. Wanita ini jelas tau kondisi dirinya sendiri, dan ini seperti pertanyaan jebakan bagi Danniela.
"Kamu nggak sakit, kamu rusak, dan harus diperbaiki." Suara Jarvis tiba-tiba memenuhi ruangan, laki-laki itu sudah terduduk diatas sofa, matanya menatap nyalang Nata yang hanya menatap Jarvis datar.
"Jarvis!" tegur Danniela. Tidak seharusnya Jarvis berkata demikian. Setidaknya, jangan membuat Nata semakin merasa kalau dirinya memang sakit.
"Nggak papa, aku emang udah rusak."
-----
Menurut kalian Jarvis mirip siapa? Nesya atau Rivan?
Dan kalian lebih setuju Nata sama Jarvis atau Nata sama laki-laki baru?
Semoga menghibur kalian yang belum tidur.
Love, Bella PU

KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BR[OK]EN
Random"Apa aku sesakit itu sehingga harus bertemu dengan psikiater?" Ini adalah tentang wanita yang merasakah kesendirian, kesepian dan kehilangan. Natalia, wanita itu memilih untuk mengakhiri hidup yang seolah tak berpihak lagi padanya. Tapi, sepertiny...