d e l a p a n

916 184 10
                                    

Happy Reading and Enjoy

Jarvis memandang Danniela dari kejauhan, wanita itu sedang berbincang dan sesekali tertawa lepas dengan laki-laki yang Jarvis kenal sebagai rekan kerja Danniela. Sekalipun laki-laki itu adalah atasan Danniela, tapi mereka seumuran, seumuran juga dengannya.

Danniela masih tidak mau mengangkat telfonnya, dan Jarvis memilih menemui wanita itu dikantornya. Tapi, Mita, teman Danniela yang cukup dia kenal mengatakan kalau Danniela sudah pulang.

Ia tidak menyangka kalau ia akan menemukan Danniela disini, ditempat mereka sering menghabiskan waktu, café yang tidak jauh dari kantor Danniela. Jarvis memilih posisi duduk yang agak jauh dari posisi Danniela dan Abram, atasannya, cukup dekat dengan pintu masuk, tapi cukup jauh dari posisi Danniela.

"Mau pesan apa, Mas?" Jarvis tersentak saat seorang pelayan muda menyapanya seraya memberikan buku menu yang note yang dia gunakan untuk mencatat pesanan.

"Espresso saja, terimakasih." Jarvis mengembalikan buku menu dan membiarkan pelayan muda itu pergi. Matanya masih mengawasi Danniela jari kejauhan. Dia tidak mau menemui wanita itu secara langsung karena mereka berada ditempat umum. Apalagi ada atasan langsung Danniela, wanita itu pasti tidak akan nyaman jika Jarvis langsung menyapa, ya... karena hubungan mereka berada dalam ketidak jelasan.

Danniela tampak... bahagia? Jarvis tidak pernah melihat Danniela tertawa selepas itu sebulan belakangan. Apa Jarvis terlalu acuh pada Danniela akhir-akhir ini? Apa yang dikatakan Nata itu benar? Danniela cemburu?

Seharusnya Danniela tidak perlu cemburu, mereka sudah terikat satu sama lain, dan kemanapun Jarvis pergi, dia jelas akan kembali pada wanita itu. Apa keseriusannya untuk memiliki Danniela masih kurang?

Kepalanya terasa sakit. Kenapa disaat seperti ini ia malah direpotkan oleh hubungan asmaranya sendiri? Pekerjaan di kantor yang cukup menumpuk sudah cukup membuatnya mumet. Kalau dia tidak begitu menyayangi Danniela, ia akan mengurus ini semua setelah pekerjaannya sudah sedikit melonggar.

Espresso pesanannya datang, Jarvis hanya tersenyum kecil dan berujar terimakasih dengan suara pelan pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Aroma kopi yang khas membuat kepalanya sedikit lebih baik. Namun, baru saja Jarvis akan menyesap espresso miliknya, Danniela dan Abram tampak memanggil pelayan dan membayar pesanan mereka.

Jarvis masih duduk diam melihat kegiatan kedua orang itu, dia tidak berusaha bersembunyi, berharap ketika Danniela dan Abram keluar, mereka akan menyadari keberadaannya.

Tapi...

Jarvis menghela nafas dan segera membayar pesanannya, menyusul Danniela yang sudah keluar dari café tanpa mengetahui keberadaannya, wanita itu bahkan masih tertawa dengan Abram sambil berjalan keluar café.

"Oh... Shit!"

***

Sudah hampir dua menit Jarvis melihat mobil Abram yang terparkir didepan gerbang rumah Danniela, mereka belum terlihat akan keluar, dan karena kaca mobil milik Abram begitu gelap, Jarvis tidak dapat melihat apa yang keduanya lakukan didalam mobil.

Ah!

Danniela akhirnya keluar dari mobil dengan senyum lebar, saat menutup pintu mobil, Danniela tidak langsung masuk, mereka masih tampak mengobrol lewat jendela, hanya beberapa saat dan Jarvis tidak dapat mendengar apa yang mereka perbincangkan sampai Danniela berekspresi seperti itu.

Mobil Abram sudah menyala, dan Danniela melambaikan tangannya saat Abram meninggalkan Danniela yang masih berada diluar pagar rumahnya.

Sedekat apa hubungan mereka?

Jarvis meraih phonselnya dan berusaha menghubungi Danniela sekali lagi. Kalau memang Danniela tidak mau mengangkat telfonnya juga... Jarvis tidak tau akan mengatakan apalagi.

Ia dapat melihat Danniela melihat phonselnya dan tampak bimbang, lalu mengangkat telfonnya.

"Kamu udah dirumah?" tanya Jarvis dengan suara yang begitu tenang, dia masih memperhatikan gerak gerik Danniela dari posisinya dan Jarvis dapat melihat wanita itu menggigit kecil bibir bawahnya.

"Udah." Singkat, padat, jelas.

"Ohh syukurlah, tadi aku ke kantor tapi katanya kamu udah pulang, bawa mobil atau naik grab?" tanya Jarvis pura-pura tidak tau.

"Aku bawa mobil sendiri... udah dulu ya, Mama manggil buat makan malam." Dan sambungan tiba-tiba terputus, bahkan sebelum Jarvis menanggapi ucapan Danniela.

Ia memandangi layar phonselnya yang meredup.

Seberapa parah kerusakan hubungan mereka?

***

Jarvis menghempaskan pantatnya diatas sofa kosong. Ali, sahabat Jarvis mengerit menatap laki-laki ini. Jarvis tidak biasanya datang ke bar untuk minum. Tapi lihatlah, Jarvis sudah meneguk kasar satu gelas bir milik Ali yang baru diminum sedikit.

"Tumben," sindir Dio pada Jarvis.

"Pusing gue," keluh Jarvis pelan.

Datang ke bar tiba-tiba, minum, dan terakhir, Jarvis mengeluh. Tanda tanya besar tercipta dikepala Dio dan Ali saat melihat kelakuan Jarvis yang sedikit berbeda.

Jarvis sangat berbeda dengan Ali dan Dio yang kerap menggunakan wanita untuk kesenangan atau minum tiap akhir minggu tiba. Jarvis lebih lempeng dan setia pada wanita yang kini berstatus sebagai tunangannya, bisa dikatakan hidup Jarvis sempurna dan bahagia.

"Kenapa sama cewek lo?" tebak Dio langsung, dia menyesap Wisky pesanannya.

"Kenapa lo tau?" tanya Jarvis balik, mereka memang bersahabat, namun Jarvis tidak pernah membagikan masalah pribadinya kepada kedua pria ini.

"Nggak mungkin lo ada masalah sama kerjaan atau keluarga, sementara lo itu selalu bisa pecahin masalah di kerjaan dan keluarga lo sempurna. Satu-satunya yang bikin lo minum paling ya cewek," jawab Dio panjang.

Jarvis menghela nafas pelan.

"Nggak tau gue."

-----


Semakin dekat dengan ending, semoga kalian suka part ini. 

Love, Bella PU

I'M BR[OK]ENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang