3

25.3K 2.6K 108
                                    

Seperti biasanya, Mavi membereskan rumah sendirian. Kali ini ia membawa beban di tubuhnya. Pria muda itu dengan telaten mencuci pakaian dan membersihkan lantai.

"Ah.. Kenapa aku melakukan ini." Mavi menepuk jidatnya pelan. Saat ini ia bahkan mengepel lantai dengan bersimpuh di lantai. Ia membaca beberapa artikel ibu hamil, bahwa posisi ini akan sangat bagus dilakukan untuk mencegah bayi lahir sungsang.

"Aku benar-benar gila sekarang. Susu ibu hamil? Mengepel seperti ini? Melakukan yoga?" Mavi rasanya ingin menangis saja. Perasaan sayangnya untuk sang anak dari hari ke hari semakin tumbuh membesar. Mavi bertingkah seperti wanita sekarang. Merengek, manja, dan marah-marah seorang diri. Jujur saja Mavi merasa sangat kesepian. Oleh karena itu ia bertekad melahirkan anaknya dan menjadikannya teman.

"Huh selesai. Saatnya makan malam." Mavi memegang pinggangnya dan berdiri perlahan. Sungguh rasanya sangat pegal menanggung beban seberat itu di perutnya setiap hari. Mavi berjalan hati-hati agar tidak tergelincir.

Mavi terkejut saat mendengar bunyi bel dari luar rumah. Akibatnya ia terpeleset ke belakang. Kepalanya terbentur ember dan tubuh Mavi menghantam lantai. Waktu serasa terhenti. Mavi merasakan bahwa nafasnya sekarat. Sakit luar biasa di sekujur tubuhnya membuat Mavi refleks berteriak.

"Nghh.. ARGGGHHHH KKHHH SAKIT.. KHHH.. Hiks.. ugh.." Air mata membanjiri wajah tirusnya. Nyawanya seolah dintarik paksa. Mavi setengah sadar. Matanya membeliak ke atas. Tubuhnya mengejang hebat. Darah hitam perlahan keluar dari sela paha nya. Suara gedoran pintu terdengar kuat.

"ADA APA? MAVI BUKA PINTUNYA??"

DOKK.. DOKK.. BUG.. BUG

"INI PAMAN. APA YANG TERJADI?"

Iris mata Mavi yang berubah menjadi merah darah perlahan tertutup.

"Kenapa? Di saat aku ingin membunuhmu kau melindungiku. Di saat aku menginginkanmu kau menyiksaku." Batin Mavi.

Gelap.

Mavi berjalan sempoyongan dalam sebuah lorong hitam. Kecipak air mengiringi langkahnya. Mavi melihat ke bawah. Air biru tenang tadi berubah menjadi merah gelap. Mavi membekap mulutnya hampir berteriak.

"Aku kembali untukmu.."

Mavi mencari sumber suara. Namun tidak ada siapapun di sana. Suara desingan memekakan menghampiri daun telinganya. Mavi terduduk menutup telinga. Darah keluar dari kedua telinga Mavi menetes bercampur air gelap yang di dudukinya.

"Siapa.." lirih Mavi. Kakinya terasa goyah. Mata Mavi meredup. Tak lama ia mendengar suara anak lelaki bernyanyi merdu. Sangat indah hingga membuat Mavi meneteskan air mata.

"Aku di sini. Kau milikku kan? Ya! Itu sudah pasti." Mavi melihat cahaya putih di mana seorang pria duduk di sebuah batu. Mavi memicingkan mata berusaha melihat wajahnya. Saat pria itu berbalik, cahaya silau menerpa indera penglihatannya. Sontak Mavi menutup mata. Hal terakhir yang diingatnya adalah, pria itu sangat tampan dengan setengah pinggang ke bawah berbentuk ekor berwarna biru gelap yang indah.

"Mavi? Baguslah kau sudah sadar."

Mavi mengerjapkan mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar berornamen unik.

"Mimpi?"

"Bukan mimpi. Bangunlah. Kau harus meminum obatmu." Mavi melihat ke samping. Adik dari ayahnya tersenyum padanya.

"Paman Feron? Sedang apa paman di sini?" Tanya Mavi bingung. Pamannya yang masih terlihat sangat awet muda di usianya ke 34 tahun itu menjentik bahu Mavi.

"Aku datang berkunjung. Tapi saat sampai aku mendapatimu berteriak dan pingsan di ruang tamu. Kepala mu bahkan berdarah. Untung saja tidak parah." jelas Feron.

Mon Garçon SirèneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang