Aku mendapatkan pisaunya!
Aku benar - benar frustasi beberapa detik yang lalu, tapi sekarang aku punya pisau untuk menyelamatkannya. Pertama, aku akan memotong tali tampar yang melilit lehernya, kemudian dia akan menyelamatkanku. Dan, kami bebas.
Ku gores tali di atas kepalanya berulang - ulang, berharap tali itu akan putus secepatnya karena jika lebih lama lagi aku yang akan mati, karena aku pun terjerat tali yang lain di leherku.
Kami mulai lelah berjinjit, tapi jika membiarkan telapak kaki menyentuh kursi dengan sempurna, maka kami mati. Pergelangan tanganku diikat di bagian depan, jadi aku masih bisa bergerak, berbeda dengannya yang terikat kebelakang. Kami berjinjit di atas kursi dan tali tampar melilit leher kami dengan erat.
Yeah!! Aku berhasil memutus tali yang melilit lehernya, aku bersyukur dia selamat. Tapi tidak ku sangka, dia mendorong kursiku. Aku tidak lagi punya sesuatu untuk ku pijak, dan tali di leherku ini mencekikku dengan mudahnya.
Jadi, begini aku mati? Begini saja?
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Menyesuaikan irisku dengan cahaya sekitar. Ini kamarku, dan kejadian mengerikan tadi hanyalah mimpi. Untuk sementara ini, aku hanya bisa membuang nafas panjang dan bersyukur, karena kejadian tadi tidak nyata.
...
Seperti pagi hari yang sebelum - sebelumnya, hari ini diawali dengan sarapan bersama keluargaku. Aku punya cukup kebahagiaan disini. Setidaknya untuk saat ini.
"Prilly, bagaimana dengan tugas sekolahmu? Sudah kamu selesaikan?" Tanya lelaki tua di hadapanku, dia Ayah. Terduduk dengan tatapan tegas di sebelahnya, ada Ibu. Di meja makan persegi ini, kami berempat terbiasa makan bersama.
"Sudah, Yah"
"Ayah, Ali minta uang ya. Buat modifikasi motor Ali nih. Tapi kalo ngga boleh juga gapapa, tapi sebagai gantinya Ayah beliin Ali mobil ya, hehehe" Lelaki yang lain ini, pemilik tempat duduk di sebelahku, Ali. Dia yang mendorong kursiku, dia yang membunuhku. Di dalam mimpi.
"Oke, nanti ayah kasih, tapi kalahin ayah dulu. Nanti sore main PS sama ayah, ya?"
"Alah, biasanya juga Ali yang menang. Boleh deh" Jawab Ali enteng
"Udah, jangan banyak omong. Ayo dimakan, nanti kamu terlambat. Adikmu juga akan menunggu lama, nantinya" Ucap Ibu pada Ali sambil melirikku.
Mereka melanjutkan obrolan santainya, dan meninggalkanku dengan pikiran - pikiranku sendirian. Mungkin cukup disini saja tugasku, menjadi pendengar, atau hanya pengamat? Sambil memikirkan jawabannya, ku perhatikan sisa -sisa butiran nasi di piringku.
Barangkali ini yang dinamakan keluarga. Seperti nasi, selalu bersama, menghilang bersama di sendok yang sama , dan di kembalikan bersama di perut yang sama. Dan tentu saja, ada yang tertinggal. Tidak diharapkan. Di buang begitu saja, itulah aku.
"Pril! Ayo berangkat!" Teriak Ali tiba - tiba. Dia sudah di ambang pintu ruang makan.
Dengan sisa - sisa keterkejutanku, aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
...
Menjadi adik dari Ali bukan keuntungan mutlak buatku. Dia menyayangiku sepenuh hati, dan aku tau hal itu. Tapi tidak semuanya melakukan hal yang sama dengan Ali. Sebagai contoh, penggemarnya.
Para penggemar Ali adalah kawanan wanita yang garang. Mereka pernah membullyku, mencubit dan menjambak rambutku karena mereka fikir aku pacarnya, padahal aku hanyalah adik Ali. Terlebih lagi, aku terlahir secara bersamaan dengannya.
Kami terlahir sebagai saudara kembar tidak identik. Dia laki - laki dan aku perempuan. Dia lahir menit sebelum aku. Dia kakakku, dan aku menyayanginya. Tidak. Aku mencintainya, cinta antara laki - laki dan perempuan.
Ali telah mengklarifikasi bahwa aku adiknya, adik kembarnya. Tapi penggemarnya mengingkari kenyataan dengan alasan sebelumnya kami tidak satu SMA. Memang, aku satu sekolah dengannya hanya saat kelas 2 SMA. Ya, sekarang.
"Eh ada Ali ada Ali!!" Teriak salah seorang penggemar Ali.
"Heh, minggir lo semua" Usirku dengan nada datar
"Waduh, ada yang orang yang ngaku - ngaku adik kembarnya Ali. Jangan gara - gara status lo sebagai adik kembarnya, lo jadi gak punya sopan santun sama gue ya!"
"Mengingkari kenyataan, ha?"
"Kali ini gue biarin lolos lo! Awas aja lain kali!"
"Gue juga gak berniat..
Tiba - tiba Ali menarik tanganku melewati mereka semua, dan tak melepas genggamannya hingga ke depan kelasku. Seandainya dia bukan kakakku, aku akan memintanya menjadikanku pacarnya. Itu pun kalau aku masih punya harga diri.
"Thanks ya" ucapku sambil tersenyum
"Gak usah makasih, lo itu adek gue satu satunya yang paling gue sayang, udah kewajiban gue untuk jagain lo, okay? Tar lo selesai pelajaran jam berapa?"
Aku hanya dianggap Adik? Dia menjagaku hanya sebagai adik? Tapi aku memang adiknya. Sontak, dadaku sakit mendengarnya, bukan karena mengidap kanker payudara kok, hanya ada rasa tidak rela dengan arti 'menjaga' baginya.
"Eh!Malah bengong! Selesai pelajaran jam berapa?"
"Sori-sori. Jam 3 sore. Kenapa? Benturan ya? Lo pulang jam berapa?"
"Pas kok. Gue juga pulang jam 3. Gue kekelas ya? Dah" Ucapnya seraya meninggalkanku.
Aneh, tidak seperti biasa Ali menanyakan jadwal pulangku. Bukannya dia sudah 3 tahun mengantar jemputku di SMA ini? Mengapa harus ditanyakan lagi? Sudahlah..
"Hai, Prill" sapa Cinta dengan riangnya, dia sahabat terbaikku.
"Hai, kenapa lo sumringah banget?"
"Gue lagi deket sama cowok" jawabnya setengah berbisik
"Bukannya stok cowok lo masih banyak? Masa iya lo cari lagi, kasian yang lain tau!"
"Yang lain udah expired. Yang ini fresh banget, dan lo pasti kaget kalo tau gue dapetin dia"
"Biasa aja tuh, emang siapa?"
"Nanti aja, ya. Kalo udah jadi. Hehehe" Ucapnya cengengesan.
Dia Cinta, satu - satunya orang paling tulus didekatku. Aku memang populer disini, populer sebagai adik kembar Ali. Aku memang banyak teman, tapi mereka mendekatiku hanya agar dekat dengan Ali, mereka tidak tulus berteman denganku.
Selama ini, aku merasa tidak dianggap. Ayah dan Ibu selalu membanggakan Ali karena dia selalu mendapat prestasi akademik dan non-akademik. Bukankah aku juga pintar? Aku juga pernah mendapat penghargaan, walaupun aku mendapatkannya di lomba tujuh belasan tingkat RT.
Ali selalu mendapat apa yang dia mau, harta, kepopuleran, bahkan wanita. Sedangkan aku? Tak ada satu lelaki pun yang mendekatiku, kata Cinta aku terlalu menutup diri. Padahal aku merasa biasa saja, aku hanya tidak suka mengumbar kecantikan, itu membuatku terkesan seperti wanita murahan.
Dan untuk saat ini, dengan alasan yang belum ku ketahui, aku mempercayai Cinta. Aku tulus bersahabat dengannya.
Sebuah buku tulis terpampang tepat di depan wajahku secara tiba - tiba "Nih"
"Apa?"
Cinta memutar matanya jengah "Udah, langsung salin aja"
Ku lirik buku apa yang diberikan cinta sekilas "Emang ada pelajaran matematika?"
TUK! Cinta memukulku dengan buku matematikanya. Beginikah seorang teman? Tega.
"Apa sih yang lo kerjain di rumah? Sampai -sampai lo gak tau apa yang harus dilakukan di sekolah"
"You know, I'm actually busy all day"
"Nah! Ini yang bikin gue kesel sama lo. Kita sahabat, kan? Kenapa lo gak pernah terbuka sama gue? Dan, memangnya lo sibuk ngapain siiiih?"
"Converting Oxygen to Carbon Dioxide"
...