Dimly Lit

1K 48 1
                                    

Mereka mengolokku ketika aku berkata dengan gamblang bahwa aku jatuh cinta dengan begitu mudahnya pada seorang lelaki yang bahkan tidak ku kenal sama sekali dan aku pun baru melihatnya hari ini di halaman kampus dengan tangannya yang sibuk memeluk buku fotografi tebal yang –sepertinya- baru dia pinjam dari perpustakaan. Dia seaakan menarik mataku untuk terus meilhatnya, entah di bagian apa. Dia tidak tampan seperti Taylor Lautner, dia hanya lelaki biasa dengan penampilan biasa yang mampu membuat jantungku berdegup dengan ritme yang tidak biasa.

“Josh. Mahasiswa bagian Fotografi tingkat 3.” Massie meletakkan nampannya di  depanku sambil tersenyum lebar. “Jangan kau kira aku tidak tahu dengan gelagat matamu yang selalu mengarah pada lelaki muda itu Jade!”

Shoot! Massie selalu tau apapun tentangku. Dan aku hanya bisa bergumam mengucapkan ‘thank you’ sebelum melahap baked potato ku.

“Kau menyukainya? Serius?” tanya Massie di sela-sela menjejalkan lasagna ke dalam mulutnya. “Dia tidak terlalu menarik, Jade. Kau tahu itu kan? Austin jauh lebih menarik, dan dia pun tertarik padamu!”

“Mass, bahkan magnetpun butuh 2 kutub yang berlainan untuk saling tarik menarik.” Aku tersenyum dan memutuskan untuk meninggalkan Massie yang masih berceloteh tentang Austin dan kebodohanku dan juga opininya tentang otakku yang sudah mulai memasuki fasi keterbelakangan mental.

Aku bukan idiot, hanya sedang berdamai dengan takdir.

Sepertinya.

-o0o-

Aku berjalan cepat menuju parkiran mobil dan mungkin saja aku akan berlari cepat kalau tidak melihat siluet lelaki yang sudah dengan suksesnya membuatku tergila-gila. Bayangkan saja, ini sudah jam dua belas malam dan aku baru saja keluar dari perpustakaan. Yah, andai saja Mom tidak sekolot itu dengan mengijinkanku berada di luar rumah sampai jam tiga pagi. Tapi, entah apa yang ada dipikiranku –atau anggap saja ini inisiatif kakiku- aku melangkah mendekat padanya yang sedang sibuk menyorotkan kamera nya pada pemandangan di sekitar kampus dengan bantuan temaran lampu taman yang sebenarnya membuat suasana menjadi romantis.

Yah, seandainya aku dan dia berjalan berdua bergandengan tangan layaknya tayangan opera sabun setiap Christmas Eve.

“Belum pulang?”

Aku mengernyit bingung dan menoleh ke sekitar, mencari-cari ada orang lain disini yang bisa di tanyai oleh Josh –sepertinya itu nama yang Massie beritahu padaku- selain diriku tentu saja.

“Kau. Bukan orang lain.” Ucap Josh sambil tersenyum kecil dan menurunkan kameranya, berjaan menuju bangku terdekat. “Ada penelitian lanjutan untuk studi kasusmu? Tentang kecenderungan melakukan bunuh diri itu kan? Itu topic yang kau ambil?”

Aku mengernyit heran. “Kau tahu?”

Dia mendongak dan tersenyum ke arahku. “Duduk.” Josh menepuk bangku di sebelahnya, dan tentu saja aku mengikuti kemauannya.

Oh come on, bahkan tubuhku sudah terlalu terhipnotis dengan segala perintahnya.

“Tentu.” Dia mengangguk sembari membersihkan lensanya. “Kau tahu kan ada beberapa pria di dunia ini yang ingin se-frontal Romeo di depan Juliet?”

“Ya?” aku mengernyit bingung. sungguh! Ini hampir jam satu malam dan bukan saat yang tepat untuk mengajakku berbicara tentang hal puitis di saat daya otakku hanya tersisa lima persen.

Josh mengerling dan terkekeh pelan. “Bagaimana kalau aku mengatakan hal ini padamu?”

“Apa?”

“Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Sama persis, atau malah lebih besar.” Ucap Josh tersenyum lebar.

Tolong ingatkan aku sekali ini kalau aku benar-benar sedang jatuh cinta padanya dan tergila-gila padanya. Oh, sepertinya aku sudah kehilangan akal sehatku. Benar-benar hilang! Terlebih saat Josh mengangsurkan tangannya di hadapanku.

“Sepertinya kita harus mengikuti opera sabun setiap malam natal, Jade. Kau tahu kan, bergandengan tangan di bawah temaram lampu taman?”

Oh God. Seandainya akal sehatku benar-benar sudah tak tersisa, aku pasti lebih memilih untuk menciumnya sampai tidak bisa bernafas dari pada menggapai tangannya dan membiarkan tanganku terperangkap disana.

“Okay.”

Mungkin ini hanya permulaan. Yah, hanya permulaan sampai aku bisa merasakan bibir sensualnya di kencan berikutnya.

“Kau tidak sedang berencana menciumku di kencan kita yang pertama kan Jade?” ucap Josh sembari terkekeh kecil ke arahku.

Ups!

-o0o-

StorageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang