15. ᴛʜᴇ ʙᴇɢɪɴɴɪɴɢ ᴏꜰ ᴇᴠᴇʀʏᴛʜɪɴɢ

6.8K 897 42
                                    

Seorang pria paruh baya berdiri dengan angkuh di hadapan dua pria paruh baya lainnya, memandang dengan sombong dan menjatuhkan.

Suasana hening dan pandangan saling menuntut menjadi saksi perdebatan mereka sepuluh menit yang lalu.

Satu satunya pria paruh baya yang berdiri kini mengambil langkah untuk duduk di hadapan pria lainnya. Ia mengeluarkan beberapa dokumen dan memberi dengan senyum meremehkan.

"Maksud kau apa?! Dimana anak ku!" Pria yang masih lengkap dengan setelan tentaranya berteriak marah.

"Jangan main main dengan nyawa, Madava." Pria lainnya berbicara lebih tenang, namun tidak bisa menutupi rasa kekhawatirannya.

"Aku tidak main main, kalian yang mengulur waktu." Pria yang dipanggil Madava berucap rendah. "Cepat tanda tangani atau anak kalian taruhannya."

"Tidak, aku tidak akan pernah mau menandatangani surat ini sampai kapan pun!" Pria bermarga Artha menolak dengan keras.

"Oke kalau itu mau kalian." Pria yang sedari tadi mendominasi mengeluarkan ponsel dengan angkuh.

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Pria bernama Marva yang masih lengkap dengan setelan tentara itu menghela napas lelah. "Kejadian itu sudah dua puluh tahun berlalu, tidak bisakah kau melupakannya?! Semua murni karena kecelakaan."

Madava mengeraskan rahang, buku jarinya memuting karena terlalu kuat mencengkeram.
"Apa yang bisa dilupakan atas kejadian memilukan yang menimpa istri ku!!"

"Kita tidak sengaja melakukan itu!" Marva berteriak frustrasi.

Madava tersenyum miring. "Tidak sengaja sampai membuat istriku mati?" Wajahnya kembali datar, dan ada gurat kesedihan disana.

"Aku tidak akan pernah melupakan kejadian dimana kalian berdua memperkosa istriku dan membuatnya meninggal karena kalian membiarkannya pergi lalu–baam– istri ku tertabrak dan kalian hanya memandang tanpa bertindak apapun."

"Kau juga terlibat dalam kejadian itu kalau kau lupa." Marva memandang sengit. "Kau yang menyuruh kami untuk memperkosa istrimu karena kau marah melihat dia pergi dengan pria lain."

"Rasa cemburu menutupi hatimu kala itu, ego lebih tinggi. Jelas istrimu dulu memilih berselingkuh karena kau sangat temperamental." Lanjut Marva tersenyum dalam diam saat melihat wajah Madava yang menegang.

"Aku tidak! Kalian pembunuh! Lihat apa yang akan aku lakukan pada anak kalian jika tidak segera menandatangani surat itu segera."

Madava memencet layar ponsel dengan marah, telfon tersambung pada ponsel mahal itu dan beberapa detik setelahnya suara berat menyapa.

'Ya Dad.'

"Apa saja yang telah kalian lakukan pada kedua gadis disana?" Madava bertanya namun tatapan tak luput dari dua pria di hadapannya.

'Menyiksanya.'

"Kalian memperlakukan mereka dengan kasar?"

'Ya, seperti itu.'

"Bagaimana jika kedua gadis itu kalian perlakukan seperti mereka yang memperlakukan mommy kalian?"

'Itu lebih baik, apakah boleh?'

"Jelas sangat boleh, son. Siksa mereka hingga ke akar, sampai kedua orangtua mereka menuruti kemauan ku disini."

Kedua pria paruh baya disana kembali menegang, membuat senyum Madava mengembang senang.

"Ah, dimana kedua gadis itu, daddy ingin berbicara. Berikan ponselnya pada mereka."

Suara ricuh terdengar diseberang sana, beberapa kali terdengar seperti debuman. Tak lama suara parau seorang wanita terdengar.

'Ha-lo.'

"Sweet voice who's there?"

'Jasmin hiks.'

"Nana, sayang." Suara Artha memanggil berteriak karena ponsel dalam mode loudspeaker.

'Daddy, Nana–' Suara itu terputus dengan teriakan sakit diujung sana.

Suara berat diujung kembali mengambil alih. 'Dad, jadi?'

"Do as I say."

Sambung terputus sepihak, kini Madava kembali memandang angkuh kedua pria dihadapannya.

"Have you heard? Masih tidak mau menandatangani?"

"Surat itu hanya menguntungkan kau, tidak dengan kami dan masa depan anak kami!" Artha melempar surat itu pada Madava.

"Itu memang tujuanku."

"Madava, dulu kita sangat dekat sampai tidak bisa dipisahkan, then why is it now like this?" Marva berujar pelan, sarat kesedihan terlihat jelas.

"That was then, not now." Madava berdiri dari duduknya. "Pikirkan kembali, I will give your time."

Madava keluar dari ruangan itu dengan tenang, menyisakan kedua pria yang kini saling memandang. Sarat akan kesedihan, kekhawatiran, penyesalan menjadi satu.
Langkah apapun yang mereka ambil seakan tidak berdampak apapun, tetap akan membuat mereka jatuh, terutama anak gadis keduanya.

Semua hanya penyesalan di masa lalu yang berdampak hingga kini dan membuatnya semakin rumit saat kejadian itu di buka kembali.


🥀🥀🥀


Chanisa berteriak marah saat melihat Jasmin dijambak kembali dengan wanita yang mengaku menjadi kembaran Rena.

Sebulan sudah mereka terkurung di kamar dan entah di negara mana mereka sekarang berada.

Saat pertama membuka mata, Chanisa dan Jasmin sudah berada di kamar. Belum pulih dengan kesadaran, mareka sudah dipaksa untuk menerima informasi yang sangat memusingkan.

Semua begitu rumit, wanita yang mengaku sebagai kembaran Rena, Jeno dan Mark adalah kakanya Rena, serta Rena yang selama ini hanya berpura pura baik. Semua begitu sulit dicerna otak.

"Na, lo gapapa?" Chanisa bertanya dengan lirih, ia mencoba bangkit dari kasur untuk menghampiri Jasmin, namun segera ditahan Yesha.

Mereka berdua memang ditempatkan di satu kamar yang sama. Tidak seperti yang dibayangkan akan terkurung di ruangan gelap yang pengap dengan badan diikat, mereka menerima ruangan yang layak.

Tapi tidak dengan perlakuan yang layak, ada saja perlakuan kasar yang mereka dapat dari Yesha. Jika mereka membuat ulah atau tidak menurut, tidak segan Mark dan Jeno menyiksa mereka.

Jasmin menggeleng dengan lemah, menatap Chanisa untuk tidak berbuat hal aneh.

"Kalian akan terus kayak gini sampai kedua orangtua kalian nandatangani surat perjanjian. Berdoa aja semoga orangtua kalian mau." Yesha berucap angkuh.

"Gue mulai muak liat kalian yang terus terusan nangis, manggil satu sama lain. You start boring bitch." Yesha keluar dari kamar, meninggalkan dua wanita dan dua pria di dalamnya.


"Lep-pas hiks...." Jasmin menarik tangannya dari cengkeraman Jeno dengan sisa tenaganya.

"Jangan terus membantah dan memberontak. You know the consequences." Mark melepas cengkeraman pada pipi Chanisa dengan kasar.

Setelah itu pintu tertutup dan terkunci dari luar bersama kedua pria itu menghilang di balik pintu.

Chanisa dengan cepat menghampiri Jasmin, memeluk sahabatnya itu dengan sayang. Tangisan keduanya selalu mengiringi ruang kamar setiap kali kejadian usai.

~~~

Struggle ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang